Selasa, 23 April 2013

IDENTITAS ULIL AMRI

oleh Firman Nugraha

Pendahuluan
Pemimpin dan kepemimpinan menjadi isu penting kaitannya dengan dinamika kemasyarakatan. Kepemimpinan merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin dalam memimpin suatu kelompok, baik terorganisasi maupun  tidak. Peranannya sangat penting, mengingat pemimpin adalah sentral figur dalam kelompok tersebut. Pemimpin menjadi barometer keberhasilan kelompok dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemberian motivasi, pengawasan sehingga tercapainya tujuan-tujuan bersama dalam kelompok tersebut. Dengan demikian, kepemimpinan yang baik dapat meningkatkan kemampuan bawahan untuk menunjukan kualitas kerja secara maksimal, sehingga pencapaian tujuan dapat dilakukan secara efesien dan efektif.
Secara sosiologis, para pemimpin memiliki tugas pokok untuk memberikan kerangka acuan yang jelas dalam setiap tindakan kelompok dan anggota kelompok, sehingga memunculkan skala prioritas dalam setiap tindakan. Kemudian bertugas untuk mengawasi jalannya setiap pilihan tindakan agar tidak terjadi penyelewengan serta ia menjadi duta ke luar wilayah kelompoknya.
Umat islam—sebagai bagian dari dinamika masyarakat—seperti lainnya memerlukan sosok pemimpin. Term pemimpin dalam al Quran salah satunya disebutkan dengan term ulu al amri. Untuk memahami makna Ulil Amri ini, perlu dilakukan upaya pencarian makna yang dikehendaki oleh al Quran (kerja tafsir).

Ulil Amri dalam Al Quran
  1. Ulil Amri: Definisi Konseptual
Dalam al-Qur'an dapat dijumpai istilah-istilah yang serupa dengan ulu al-amri. Misalnya, dalam al-Qur'an surat al-Qashash/28:76, ada istilah ulu al-quwah, orang yang memiliki kekuatan; uli al-aydi, dalam al-Qur'an surat Shad/38:45, orang yang memiliki kekuatan yang dilambangkan dengan tangan yang kuat; atau ulu ba's-in, dalam al-Qur'an surat Bani Isra'il/17:5 dan al-Qur'an surat al-Fath/48:16. Dalam al-Qur'an surat al-Ahqaf/46:35, disebut ulu al-'azm-i, yaitu orang-orang yang keputusan ada ditangannya atau orang yang memiliki keunggulan, yaitu beberapa nabi dan rasul yang terkemuka, Nuh, Ibrahim, Musa, 'Isa, dan Muhammad[1]. Istilah Ulil Amri oleh Nazwar Syamsu, diterjemahkan-nya menjadi functionaries, orang yang mengemban tugas, atau diserahi menjalankan fungsi tertentu dalam suatu organisasi.[2]
Hal yang menarik memahami Ulil Amri ini adalah keragaman pengertian yang terkandung dalam kata amr. Istilah yang mempunyai akar kata yang sama dengan amr dan berinduk kepada kata a-m-r, dalam al-Qur'an berulang sebanyak 257 kali. Sedang kata amr sendiri disebut sebanyak 176 kali dengan berbagai arti, menurut konteks ayatnya. Kata amr bisa diterjemah-kan dengan perintah (sebagai perintah Tuhan), urusan (manusia atau Tuhan), perkara, sesuatu, keputusan (oleh Tuhan atau ma­nusia), kepastian (yang ditentukan oleh Tuhan), bahkan juga bisa diartikan sebagai tugas, misi, kewajiban, dan kepemimpinan. Dalam bahasa Inggris, diterjemahkan ke dalam beberapa pengertian seperti a command commandment, bidding, task, matter, affair, dan a thing.[3]
Namun sebenarnya, istilah Ulil Amri, hanya terdapat di dua tempat saja, yaitu dalam al-Qur'an surat an-Nisaa’/4:59 dan 83. Dan yang terutama mendapat pusat perhatian adalah al-Qur'an s. an-Nisaa’/4:59 yang Terjemahnya sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[4]
           
Sabab Nuzul
Imam Jalaluddin As Suyuthi dengan mengutip hadits Bukhari bab at tafsir (4584) bahwa Ibnu Abbas berkata ’Ayat ini turun kepada Abdullah bin Hudzafah bin Qais ketika dia diutus oleh Rasulullah bersama satu pasukan.’
Sementara itu dari Ad Dawudi berkata, “Ini adalah suatu kesalahan—maksudnya kebohongan yang dinisbatkan kepada ibnu Abbas. Karena sesungguhnya Abdullah bin Hudzaifah memimpin serombongan pasukan. Dia marah dan memulai peperangan dengan berkata. ‘Serang!’ Sebagian dari pasukannya tidak mau melakukannya dan sebagian lain lagi ingin melaksanakannya.”
Ad Dawudi berkata lagi, ’Jika ayat ini turun sebelum peristiwa ini, bagaimana mungkin ia mengkhususkan ketaatan kepada Abdullah bin Hudzaifah bin Qais dan tidak kepada yang lain? Dan jika ayat ini turun setelah peristiwa itu, seharusnya hanya dikatakan kepada mereka, ‘Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam kebaikan,’ dan bukan ‘Mengapa kalian tidak menaatinya?’ ’
            Al Hafidz Ibnu Hajar mejawab pertanyan ini, bahwa maksud dari kisah ayat, ’Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu….’ adalah mereka berselisih dalam menunaikan perintah untuk taat dan tidak melaksanakan perintah itu karena menghindari api peperangan. Jadi, ayat ini sesuai jika turun pada mereka untuk memberitahukan mereka apa yang hendaknya mereka lakukan ketika berselisih, yaitu mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada Allah dan Rasulullah saw..
            Selain mengutip pendapat yang senada di atas, As Suyuthi juga mengutip pendapat Ibnu Jarir yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa yang terjadi pada Ammar bin Yasir bersama Khalid bin Walid. Ketika ituKhalid adalah Gubernur. pada suatu hari Ammar mengupah seseorang tanpa perintah Khalid, maka keduanyapun berselisih, lalu turunlah ayat ke 59 surat an Nisaa ini.[5]
            Namun demikian dari dua penjelasan yang disampaikan As Suyuthi tersebut, tampaknya yang paling mendekati konteks sosio historis turunnya ayat ini ialah yang diriwayatkan pertama melalui Bukhari.

Tafsir Mufrodat
Pendapat ulama berbeda-beda tentang makna kata ulu al amr. Dari segi bahasa, uli adalah bentuk jamak dari waliy yang berarti pemilik atau yang mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa mereka itu banyak, sedang kata al-amr adalah perintah atau urusan.[6] Dengan demikian, uli al-amr adalah orang. orang yang berwewenang mengurus urusan kaum muslimin. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan. Siapakan mereka? Ada yang berpendapat bahwa mereka adalah para penguasa/pemerintah. Ada juga yang menyatakan bahwa mereka adalah ulama, dan pendapat ketiga menyatakan bahwa mereka adalah yang mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesinya.
'Ali[7] menyebut bahwa al-amr atau "urusan" (ia menerjemahkannya dengan istilah "perkara") itu bisa bermacam-macam dan dapat ditangkap dengan pengertian "bidang," seperti bidang milker, keduniawian (politik), atau keagamaan. Tentang soal-soal politik (keduniawian) ada patokan sebuah Hadits nabi: "Mereka yang diserahi pemerintahan, jangan sekali-kali dilawan, kecuali jika terang-terangan melihat mereka menjalankan kekafiran yang kamu mempunyai tanda bukti dari Allah." 'Ali menyebut kasus pengiriman sekitar seratus orang sahabat nabi untuk berhijrah ke Abesinia, sebuah kerajaan Kristen. Di situ umat Islam diwajibkan tunduk kepada undang-undang yang berlaku. Namun, "apabila orang disuruh men-durhakai Allah, ia tidak boleh mendengar dan bertaat kepada pihak yang berkuasa," seperti kata nabi.
Di satu pihak, 'Ali menyebut bidang-bidang kehidupan kemasyarakatan yang menimbulkan kekuasaan. Di lain pihak, ia memfokuskan hubungan antara seseorang dengan penguasa. Ulil Amri, adalah pemegang kekuasaan, pemegang komando, pemegang keputusan atas perkara, pemegang otoritas, kepada siapa kaum Muslim harus taat, kecuali untuk mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Dapat kita tafsirkan bahwa titik sentral ayat itu adalah soal ketaatan kepada Ulil Amri, karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya bukan merupakan persoalan, sebab sudah menjadi diktum kebenaran yang tidak dipersoalkan oleh kaum yang beriman. Masalahnya timbul, ketika kaum Muslim dihadapkan pada penguasa kafir, penguasa yang beragama lain, atau penguasa yang tidak adil.
Perlu dicatat bahwa kata al-amr berbentuk makrifat acau difinite. Ini menjadikan banyak ulama membatasi wewenang pemilik kekuasaan itu hanya pada persoalan-persoalan kemasyarakatan, bukan persoalan akidah atau keagamaan murni. Selanjutnya, karena Allah memerintahkan umat Islam taat kepada mereka, maka ini berarti bahwa ketaatan tersebut bersumber dari ajaran agama, karena perintah Allah adalah perintah agama. Di sisi lain, bentuk jamak pada kata uli dipahami oleh sementara ulama dalam arti mereka adalah kelompok tertentu, yakni satu badan atau lembaga yang berwewenang menetapkan dan membatalkan sesuatu —katakanlah— misalnya dalam hal pengangkatan kepala negara, pembentukan undang-undang dan hukum, atau yang dinamai  ahlu al-halli wa al-'aqd. Mereka terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat, para ulama, petani, buruh, wartawan, dan kalangan profesi lainnya serta angkatan bersenjata.[8] Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh pengarang tafsir al-Manar, yakni Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, juga oleh al-Maraghi.
Berkenaan dengan hal ini Quraish Shihab berpendapat, bentuk jamak itu tidak mudah dipahami dalam arti badan atau lembaga yang beranggotakan sekian banyak orang, tetapi bisa saja mereka terdiri dari orang perorang, yang masing-masing memiliki wewenang yang sah untuk memerintah dalam bidang masing-masing. Katakanlah seorang polisi lalu lintas (polantas) yang mendapat tugas dan pelimpahan wewenang dari atasannya untuk mengatur lalu lintas. Ketika menjalankan tugas tersebut, dia berfungsi sebagai salah seorang Ulil Amri.[9]
Wewenang yang diperoleh, baik sebagai badan maupun perorangan, bisa bersumber dari masyarakat yang akan diatur urusan mereka —katakanlah melalui pemilihan umum— dan bisa juga melalui Pemerintah yang sah, yang menunjuk kelompok orang atau orang tertentu untuk menangani satu urusan. Bahkan bisa juga —menurut Thahir Ibn 'Asyur— karena adanya pada orang-orang tertentu sifat-sifat dan kriteria terpuji, sehingga mereka menjadi teladan dan rujukan masyarakat dalam bidangnya. Ulama dan cendekiawan yang jujur adalah orang-orang yang memiliki otoritas di bidangnya. Bagi mereka, tidak perlu ada penunjukan dari siapa pun, karena ilmu dan kejujuran tidak memerlukannya. Masyarakat sendiri dengan meneladani dan merujuk kepada mereka dan berdasarkan pengalaman masyarakat selama ini, yang langsung memberi wewenang tersebut secara faktual, walau tidak tertulis.[10]

  1. Ciri Ulil Amri
Menurut KH. Munawar Cholil,[11] "Ulil Amri" yang wajib ditaati oleh segenap umat pada tiap-tiap masa itu bukanlah para hakim dan bukan pula para ulama ahli ijtihad saja, sekalipun mereka termasuk juga di dalamnya; tetapi yang dikehendaki dengan "Ulil Amri" itu ahlul halli wal 'aqdi daripada kaum muslimin yang terdiri dari beberapa puluh orang yang mempunyai keahlian atau mempunyai keistimewaan dalam ilmu pengetahuan.
Apabila ahl al-halli wa al- 'aqdli, sebagai salah satu dari Ulil Amri, adalah mereka yang berurusan dengan soal "keduniaan" atau kemashlahatan umum, yang dasarnya adalah keahlian dan kewibawaan (dengan ukuran-ukuran obyektif), maka mereka itu tidak harus seorang Muslim. Memang K.H. Moenawar Chalil masih menambahkan keterangan "dan pada kaum Mu’min," tetapi hal itu dikatakan sebagai seyogyanya. Tetapi, kalau tidak semuanya dapat diambil dan kaum Muslim sendiri, maka dan pemeluk agama lain juga bisa. Secara tidak langsung K.H. Moenawar Chalil mengatakan: Karena soal-soal yang dihajatkan oleh umat, urusan yang menjadi kepentingan masyarakat dan hal-hal yang mengenai kemashlahatan umum itu, bukan hanya urusan kehakiman, urusan yang mengenai hukum fiqh dan soal-soal yang berkenaan dengan politik saja, tetapi sewaktu demi sewaktu adalah berbagai macam soal dan urusan, menurut keadaan yang terjadi pada tiap-tiap masa, yang masing-masing menghajatkan pikiran dan pandangan pada orang yang ahli. [12]
Dari kesimpulan itu dapat diketahui bahwa K.H. Moenawar Chalil bermaksud untuk menyempurnakan pengertian mengenai Ulil Amri secara lebih luas, yang tersimpul dalam apa yang disebut ahl al-halli wa al-'aqdli dari kalangan kaum Muslim. Dari kesimpulan baru ini, maka ada tiga kelompok Ulil Amri, yaitu: (1) Para penguasa politik, (2) Para ulama dan ahli hukum syara', dan (3) Segenap ahl al-halli wa al- 'aqdli, yang terdiri dari ahli ilmu pengetahuan umum.
Kriterianya bukanlah iman (seagama) melainkan keahlian, walaupun kriteria iman bisa pula dipakai. Sungguhpun demikian, berbagai kriteria lain yang berasal dari ajaran al-Qur'an yang sifatnya non imani, dapat pula diterapkan dalam menyeleksi ahl al-halli wa al- 'aqdli, misalnya nilai amanah, darma, atau keadilan. Ayat yang menjadi fokus pem-bahasan ini perlu dikaitkan dengan ayat sebelumnya (munasabah ayat) yang berkata:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.

Memang banyak pula para ulama yang menetapkan kritena keadilan kepada Ulil Amri. Dalam perkembangan teori politik, di kalangan Sunni berkembang suatu pendapat tentang perlunya kekuasaan yang beda sama sekali. "Juga kata-kata: "Enam puluh tahun bersama pemimpin yang jahat, lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin."[13] Karena itu demi keamanan dan kestabilan, kaum Muslim wajib taat kepada Ulil Amri, walaupun mereka itu bukan dari kalangan agama sendiri, guna mendukung keamanan dan stabilitas. Namun ketaatan itu tentu ada batasannya yaitu sepanjang mereka tidak disuruh kufur kepada Allah. Dan sekalipun ketaatan kepada kekuasaan itu merupakan kewajiban, namun setiap Muslim memiliki hak untuk tidak taat penguasa yang zhalim.
Tetapi yang menjadi fokus gagasan 'Abduh dan Rasyid Ridla' bukan soal kezaliman dan keadilan, melainkan soal ruang lingkup otoritas Ulil Amri. Rasyid Ridla' umpamanya dia memasukkan mereka yang menjadi otoritas di bidang-bidang kesehatan, perniagaan dan kerajinan. Arah pandangan itu lebih tegas lagi ketika ia meminta perhatian tentang peranan para pemimpin surat kabar, para pengarang, dan pemimpin buruh.

  1. Sikap Umat terhadap Ulil Amri
Ayat ini dan ayat-ayat sesudahnya—dalam perspektif munasabah ayat—masih berhubungan erat dengan ayat-ayat yang lalu, mulai dari ayat yang memerintahkan untuk beribadah kepada Allah, tidak mempersekutukan-Nya serta berbakti kepada orang tua, menganjurkan berinfak dan lain-lain. Perintah-perintah itu, mendorong manusia untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, anggotanya tolong menolong dan bantu membantu, taat kepada Allah dan Rasul, serta tunduk kepada Ulil Amri, menyelesaikan perselisihan berdasarkan nilai-nilai yang diajarkan al-Qur'an dan Sunnah, dan Iain-lain yang terlihat dengan jelas pada ayat ini dan ayat-ayat mendatang, sampai pada perintah berjuang di jalan Allah. Demikian hubungan ayat-ayat ini secara umum.
Secara khusus dapat dikatakan bahwa setelah ayat yang lalu memerintahkan untuk menetapkan hukum dengan adil, maka ayat di atas memerintahkan kaum mukminin agar menaati putusan hukum dari siapa pun yang berwewenang menetapkan hukum. Secara berurut dinyatakan-Nya; Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dalam perintah-perintah-Nya yang tercantum dalam al-Qur'an dan taatilah Rasul-Nya, yakni Muhammad saw. dalam segala macam perintahnya, baik peiintah melakukan sesuatu, maupun petintah untuk tidak melakukannya, sebagaimana tercantum dalam sunnahnya yang sahih, dan perkenankan juga perintah Ulil Amri, yakni yang berwewenang menangani urusan-urusan kamu, selama mereka merupakan bagian di antara kamu  wahai orang-orang mukmin, dan selama perintahnya tidak bertentangan dengan perintah Allah atau perintah Rasul-Nya. Maka jika kamu tarik menarik, yakni berbeda pendapat tentang sesuatu karena kamu tidak menemukan secara tegas petunjuk Allah dalam al-Qur'an dan tidak juga petunjuk Rasul dalam sunnah yang shahih, maka kembalikanlah ia kepada nilai-nilai dan jiwa firman Allah yang tercantum dalam al-Qur'an, serta nilai-nilai dan jiwa tuntunan Rasul saw. yang kamu temukan dalam sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman secara mantap dan bersinambung kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu, yakni sumber hukum ini adalah baik lagi sempurna, sedang selainnya buruk — atau memiliki kekurangan, dan di samping itu, ia juga lebih baik akibatnya, baik untuk kehidupan dunia kamu maupun kehidupan akhirat kelak.[14]
M. Quraish Shihab menerangkan bahwa apabila perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya digabung dengan menyebut hanya sekali perintah taat, maka hal itu mengisyaratkan bahwa ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan yang diperintahkan Allah swt, baik yang diperintahkan-Nya secara langsung dalam al-Qur'an, maupun perintah-Nya yang dijelaskan oleh Rasul melalui hadits-hadits beliau. Perintah taat kepada Rasul saw. di sini menyangkut hal-hal yang bersumber dari Allah swt., bukan yang beliau perintahkan secara langsung. Adapun bila perintah taat diulangi seperti pada QS. an-Nisa'/4: 59 di atas, maka di situ Rasul saw. memiliki wewenang serta hak untuk ditaati walaupun tidak ada dasarnya dari al-Qur'an. Itu sebabnya perintah taat kepada Ulil Amri tidak disertai dengan kata taatilah karena mereka tidak memiliki hak untuk ditaati bila ketaatan kepada mereka bertentangan dengan ketaatan kepada Allah swt. atau Rasul saw.[15]
Perintah taat kepada Rasul saw. adalah perintah tanpa syarat, menunjukkan bahwa tidak ada perintah Rasul yang salah atau keliru ada juga yang bertentangan dengan perintah Allah swt., karena jika maka tentu kewajiban taat kepada beliau tidak sejalan dengan taat kepada Allah, dan tentu juga ada di antara perintah beliau yang keliru.
Sementara itu M. Dawam Rahardjo mengutip dari 'Ali, menyatakan bahwa ayat ini menggariskan tiga aturan tentang hal yang berhubungan dengan kesejahteraan umat Islam, teristimewa dengan urusan pemerintahan: (1) Taat kepada Allah dan utusan, (2) Taat kepada yang memegang kekuasaan di antara kaum Muslim, (3) Mengembalikan kepada Allah dan utusan-Nya jika terjadi perselisihan dengan pihak yang berkuasa. Kata Ulil Amri, berarti "orang yang memegang kekuasaan." Ini mempunyai arti yang luas, sehingga perkara apa saja yang bertalian dengan kehidupan manusia, mempunyai Ulil Amri sendiri-sendiri.[16]
Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi fokus perhatian Muhammad 'Ali sebenarnya berkisar kepada soal "ketaatan." Dengan begitu ayat di atas disimak untuk menjawab pertanyaan, kepada siapa seorang Muslim itu harus taat? Hal itu didasarkan kepada asumsi ajaran Islam bahwa taat kepada otoritas itu adalah wajib hukumnya. Ketaatan adalah suatu prinsip yang mengatur hubungan antara seseorang dengan otoritas atau orang yang berkuasa.
Kalau pada ayat 58 ditekankan kewajiban menunaikan amanah, antara lain dalam bentuk menegakkan keadilan, maka berdampingan dengan itu, dalam ayat 59 ditetapkan kewajiban atas masyarakat untuk taat kepada Ulil Amri, walaupun - sekali lagi — harus digarisbawahi penegasan Rasul saw. bahwa: la tha'ata li makhluqin ft ma'shiyati al-kbaliq tidak dibenarkan taat kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq. Tetapi, bila ketaatan kepada Ulil Amri tidak mengandung atau mengakibatkan kedurhakaan, maka mereka wajib ditaati, walaupun perintah tersebut tidak berkenan di hati yang diperintah. Dalam konteks ini, Nabi saw. bersabda: "Seorang muslim wajib memperkenankan dan taat menyangkut apa saja (yang diperintahkan oleh Ulil Amri) suka atau tidak suka. Tetapi bila ia diperintahkan berbuat maksiat, maka ketika itu tidak boleh memperkenankan, tidak juga taat"[17] .
Apabila ayat 59 surat al-Nisaa/4 di atas dikaitkan dengan satu ayat lain yang memuat istilah Ulil Amri, yaitu ayat 83 surat yang sama, maka inti dari makna surat itu adalah ’disiplin warga masyarakat’ dan penyerahan masalah kepada ’ahlinya’ dan bukannya tentang hak untuk berbeda pendapat atau menentang suatu otoritas, dengan alasan tertentu, misalnya memandang yang berkuasa itu zhalim. Hal mi berkaitan dengan perilaku tidak berbudaya dan kecenderungan bertindak sendiri, tanpa organisasi dan tanpa pemimpin. Dengan perkataan lain, ayat itu berkaitan sikap untuk menghapus anarki. Hal ini sangat kentara dalam Q.S. An. Nisaa: 83:

Terjemah
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan Ulil Amri). kalau tidaklah Karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (Depag RI. 1989: 132-133)

            Sabab Nuzul
Muslim (dalam Kitabithalaq, No. 2704) meriwayatkan bahwa Umar Ibnul Khaththab berkata, “Ketika Nabi saw. tidak mendatangi istri-istrinya, saya masuk ke dalam masjid. Disana saya mendapati orang-orang mengetuk-ngetukkan jari-jari mereka pada kerikil-kerikil di lantai masjid. Dan mereka berkata, ’Rasulullah saw. telah menceraikan istri-istrinya.’ Maka saya segera bangkit seraya berdiri di pintu masjid, lalu saya berseru dengan lantang, ’Beliau tidak menceraikan istri-istrinya!.” lalu turunlah firman Allah ayat ke 83 suat an Nisaa ini. ”[18]
Dalam konteks ayat di atas, Ulil Amri, adalah mereka yang dapat mengambil keputusan mengenai suatu urusan dengan sebaik-baiknya, karena mengetahui masalah dan menyelidiki duduk perkara suatu masalah.
Hubungannya dengan soal disiplin dan kepercayaan kepada pimpinan, akan nyata jika dibaca pada ayat sebelumnya, yaitu ayat 80 dan 81 yang berbunyi:
Barangsiapa yang menaati Rasul, maka sesungguhnya la telah menaati Allah. Dan barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutus kamu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. Dan mereka (orang yang munafik) mengatakan: ("kewajiban kami hanyalah) taat." Tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu, sebagian dari mereka mengatur siasat di malam hari dan (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi.[19]

Ayat 80 merujuk pada soal ketaatan kepada rasul, sebagai seorang pemimpin. Mereka yang taat kepada rasul berarti taat kepada Allah. Jadi sebenarnya taat kepada Allah itu identik dengan taat kepada rasul, karena rasul adalah pemilik otoritas dalam penyampaian wahyu Illahi. Di sini rasul juga berperan sebagai pemelihara kepentingan umat. karena itu ia wajib ditaati.
Masalahnya adalah bagaimana jika sudah tidak ada lagi rasul? Di sini umat sudah diberi warisan pegangan yang memimpin dalam hidup, yaitu al-Qur'an sebagai manifestasi kepemimpinan Allah, dan al-Sunnah sebagai manifestasi kepemimpinan Rasul. Sehingga yang tinggal aktual hanyalah Ulil Amri. Maka menjadi kewajiban para Ulil Amri, dalam hal ini bisa ditafsir sebagai ahl al-halli wa al- 'aqdli, untuk menyerap tuntutan Al Qur’an dan al-Sunnah ke dalam corak kepemimpinan mereka. Tetapi adalah kewajiban masyarakat untuk taat kepada pimpinan, tentu saja pimpinan yang telah melaksanakan perintah yang lain, yaitu wa syawir hum fi al-amr-i (Q. s. Alu Imran/3:159), melaksanakan musyawarah. Atau dengan menunjuk kepada al-Qur'an surat al-Thalaq/65:6, ada istilah ta'mir yang kini berkembang menjadi istilah mu'tamar. Baik dalam pemilihan pemimpin, maupun dalam melakukan fungsi legislatif, al Quran memerintahkan musyawarah dalam lembaga mu'tamar.
Soal ketaatan kepada pimpinan, selain kepada orang maupun gagasannya (idea), juga menyangkut soal jika terjadi perselisihan atau perbedaan pendapat. Ada tiga cara menyelesaikan masalah, Pertama, mengembalikan kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (Sunnah). Jika masalahnya sedemikan sulit, detail atau teknis memerlukan ijtihad, maka cara kedua adalah menyerahkan nelakukan konsultasi dengan Ulil Amri. Dan cara ketiga adalah melakukan musyawarah atau mu'tamar.
Berdasarkan hal itu, tampaknya ada perbedaan dalam interpretasi mengenai musyawarah dalam kaitannya dengan ketaatan. Pertama, adalah musyawarah antara umat dan pimpinan. Kedua, musyawarah di antara umat sendiri. Dan ketiga, musyawarah di antara ahl al-halli wa al- 'aqdli. Ketiga-tiganya tentulah harus berpedoman kepada al-Qur'an dan Sunnah Nabi Dan jika tidak dijumpai (karena keterbatasan kemampuan melakukan penafsiran umpamanya) dalam al-Qur'an maupun Sunnah, maka yang harus dilakukan adalah ijtihad atau mengonsultasikan masalahnya kepada Ulil Amri maupun ahl al-halli wa al- 'aqdli yang telah terbentuk dan melembaga dalam masyarakat.

Penutup
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kontekstualisais Ulil Amri disarikan dalam beberapa hal berikut:
1.       Ulil Amri (dalam Q.S. 4: 59) adalah mereka yang memiliki otoritas keahlian di bidang masing-masing, dan otoritas ini terpengaruhi oleh muatan iman (agama) termasuk bidang-bidang tertentu (sosial kemasyarakatan maupun ilmu alam).
2.        Merujuk kepada Q.S. 4: 58, ada kualifikasi lain yang harus dipenuhi seorang Ulil Amri, yaitu amanah dan adil. hal ini semakin menegaskan bahwa seorang pemimpin selain harus seorang ahli, juga memiliki integritas moral yang positif ditandai dengan kejujuran dan keadilannya.
3.       Seorang pemimpin (dalam Q.S. 4: 83) memiliki kewenangan untuk memutus suatu perkara berdasarkan keahliannya tersebut, dan sebagai umat yang dipimpin wajib untuk menaati keputusan tersebut sebagai bentuk kedisiplinan. Wujud ketaatan dan teknis pemutusan suatu perkara dapat dilakukan melalui musyawarah, sebagaimana ditemukan dalam munasabah ayat tersebut pada Q.S. Alu Imran ayat 159 dan Q.S. Ath Thalaq ayat 6.

D.    Daftar Pustaka
Abu Zayd, Nasr Hamd. 2001 Mafhûm an Nash Dirâsah fi ‘Ulûm Alqurân (terj. Khoiron Nahdliyyin)  Yogyakarta: LKiS.
Al Farmawi, Abdul Hayy. 2002. Metode Tafsir Maudhu’i. (terj. Rosihon Anwar) Bandung: Pustaka Setia.
Al Qattan, Manna Khalil. 2001. Studi Ilmu Al Quran (Terj. Mudzakir AS.) Bogor: Litera Antar Nusa.
Ali, Abdullah Yusuf. 1988. The Holly Quran, text, translation and commentary. New York: The Tabrike Tarsile Quran.
As Suyuthi, Jalaludin. 2008. Sebab turunnya ayat alQuran . Jakarta: Gema Insani Press.
Chalil, Munawar KH. 1984. Ulil Amr. Semarang: CV. Ramadani.
Depag RI. 1989. Al Quran dan Terjemahannya. Semarang: CV. Toha Putra.
Faiz, Fakhrudin. 2003. Hermeneutika Qurani antara teks, konteks dan kontekstualisasi. Yogyakarta: Qalam.
Kassis, Hanna E. 1983.  A Concordance of the Quran.
Rahardjo, M. Dawam. 1996. Ensiklopedi Al Quran, Tafsir Sosial berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Jakarta: Paramadina.
Shihab, M. Quraish. 2007. Tafsir Al misbah—Pesan kesan dan Keserasian Al Quran. Vol. 2. Cet. VIII.  Jakarta Lentera Hati.
Syamsu, Nazwar, 1980. Kamus Al Quran: Al Quran Indonsesia Inggris, berisi petunjuk surat dan ayat. Jakarta: Ghalia Indonesia.


[1]  Dawam Rahardjo, 2002: 466
[2]  Nazwar Syamsu, 1980.
[3]  Hanna E. Kassis, 1983.
[4]  Depag RI. 1989: 128
[5]  Jalaludin As Suyuthi, 2008: 173-174.
[6]  M. Quraish Shihab, 2007: 484.
[7]  Abdullah Yusuf  ‘Ali, 1988.
[8]  Muhammad Quraish Shihab, Loc. Cit: 484
[9]  ibid
[10] ibid
[11]  K.H. Moenawar Cholil, 1984.
[12]  Ibid.
[13]  Suatu ungkapan yang terkenal dari Ibnu Taymiah.
[14]  Muhammad Quraish Shihab, Op. Cit.: 483
[15]  Ibid.
[16]  Dawam Rahardjo, Loc. Cit. 468.
[17] HR. Bukhari dan Muslim melalui Ibn'Umar.
[18] Jalaludin As Suyuthi, Op. Cit: 181-182
[19] Depag RI. Op. Cit.: 131-132

Tidak ada komentar: