Moch. Fachrurozy
Abstract
There are two paradigms we can found
when discussing about leadership; those are transactional and transformational
leadership. This paper is to examine the contribution of transformational
leadership to commitment and its concomitants of involvement, loyalty, and
satisfaction. I also consider the mechanisms underlying the process. Although
transformational leadership clearly affects the performance of work groups and
organizations, the strongest effects of transformational leadership seem to be
on followers’ attitudes and their commitment to the leader and the
organization. Moreover, it may be that it is the extraordinary commitment of
followers of transformational leaders that underlies the exceptional
performance of many groups led by transformational leaders.
Kata Kunci: Kepemimpinan
Transformasional, Kharismatik, Komitmen, Loyalitas, Kepuasan
A.
Pendahuluan
Paradigma
baru mengenai kepemimpinan mendapat perhatian yang semakin luas. Banyak
kalangan berupaya untuk mengkonseptualisasikan paradigma kepemimpinan dengan
berbagai macam pendekatan. Salah satu identifikasi yang menarik dilakukan oleh James
MacGregor Burns (1978) yang mengkonseptualisasikan kepemimpinan kedalam dua konsep yakni
kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional. Burns menguraikan bahwa
pemimpin transaksional adalah para mereka yang memimpin melalui pertukaran
peran sosial. Seorang politisi misalnya, memimpin dengan “mempertukarkan sesuatu
dengan hal lain, misalnya pekerjaan dengan hak pilih, atau subsidi dengan
kontribusi seseorang dalam kampanye”. Dengan cara yang sama pula, para pemimpin
transaksional dalam ranah bisnis menawarkan sejumlah imbalan finansial (dalam
bentuk bonus, misalnya) atas produktivitas dan sebaliknya.
Di
sisi lain, para pemimpin yang tergolong pada kategori pemimpin transformasional
adalah mereka yang menstimulasi dan menginspirasi bawahannya untuk memperoleh
hasil dan proses yang luar biasa dan mengembangkan kapasitas kepemimpinan
dirinya sendiri. Pemimpin transformasional membantu pengikutnya berkembang
dengan merespon kebutuhan individual pengikutnya dengan cara memberdayakan
mereka sejalan dengan tujuan organisasi. Dalam konteks ini, telah banyak bukti
memperlihatkan bahwa kepemimpinan transformasional dapat menggerakkan pengikut
pada kinerja yang diharapkan, sehingga mampu mencapai level kepuasan dan
komitmen mereka pada organisasi.
B. Kepemimpinan
Transformasional: Paradigma Baru Kepemimpinan
Sejauh
ini literatur yang memperbincangkan kepemimpinan, terlebih dalam organisasi
profit, lebih cenderung tergolong pada kategori kepemimpinan transaksional
dimana setiap perilaku pemimpin diarahkan untuk peningkatan produktivitas dan
sebagai konsekuensinya, motivasi yang dibangun di tingkat pengikut pun lebih
terfokus pada hal-hal yang bersifat material. Pola-pola reward and
punishment, bonus, upah lembur dan semacamnya merupakan manifestasi nyata
dari pola kepemimpinan transaksional.
Perbedaan
kedua paradigma ini tentu amat menarik, terlebih dalam konteks organisasi hari
ini yang kian kompleks. Tidak hanya dari aspek lingkungan yang mengalami
perubahan, tetapi juga komponen organisasi itu sendiri, seperti pengelola,
anggota dan bagian-bagian lain dalam organisasi memiliki motivasi lain di luar
motivasi yang semata-mata bersifat material. Paradigma kepemimpinan
transaksional pada akhirnya dianggap tidak humanis karena hanya mementingkan
pertukaran yang pada titik tertentu hanya melahirkan “manusia-manusia industri”
yang tidak jauh berbeda dengan robot. Dalam konteks inilah, paradigma
kepemimpinan transformasional mendapat peluang untuk dilirik, bahkan dijadikan alternatif
utama bagi organisasi yang menghendaki perubahan signifikan tidak hanya dalam
aspek produktivitas, tetapi juga komitmen, loyalitas dan kepuasan pengikut.
Bass
dan Riggio melihat bahwa kepemimpinan transformasional lebih menekankan pada
motivasi intrinsik dan perkembangan positif dari bawahan. Selain itu, keduanya
juga memandang bahwa kepemimpinan transformasional merepresentasikan pandangan
kepemimpinan yang lebih menarik dibanding kepemimpinan transaksional yang
mementingkan proses pertukaran peran-peran sosial. Mungkin juga, menurut
keduanya, hal itu disebabkan kepemimpinan transformasional lebih memungkinkan
untuk diaplikasikan dalam organisasi dewasa ini yang semakin kompleks dimana
para pengikut tidak hanya menginginkan pemimpin yang dapat menginspirasi dalam
membantu mereka melalui lingkungan tertentu tetapi juga mereka menginginkan
“aroma” tantangan apakah mereka memiliki loyalitas atau tidak, apakah mereka
memperlihatkan kinerja yang baik atau tidak (Bass dan Riggio, 2006: xi).
Sesungguhnya
banyak ilmuwan yang telah lama mengakui bahwa kepemimpinan lebih dari sekadar
pertukaran sosial antara pemimpin dan pengikut. Sebagaimana diungkapkan Levinson
(1980: 497-508), jika
kepemimpinan dibatasi pada perilaku seorang pemimpin yang memberi hadiah ketika
bawahannya berhasil dan memberikan hukuman jika gagal, maka kepemimpinan
semacam itu akan membuat bawahan merasa seperti seekor keledai. Kepemimpinan
semestinya juga ditujukan untuk menciptakan komitmen dan keterlibatan yang
sesungguhnya dari pengikut atau bawahan secara sukarela. Hal inilah yang
dilakukan oleh kepemimpinan transformasional. Pemimpin transformasional memotivasi
bawahan untuk melakukan sesuatu untuk memperlihatkan kemampuan terbaik mereka.
Pemimpin
transformasional juga cenderung memiliki komitmen untuk memuaskan para
pengikutnya. Lebih dari itu, pemimpin transformasional memberdayakan dan memperhatikan
kebutuhan pribadi dan perkembangan personal bawahan, dan membantu mereka
mengembangkan potensi kepemimpinan yang mereka miliki. Kepemimpinan
transformasional menyempurnakan paradigma pada kepemimpinan transaksional yang
menekankan pada pertukaran peran sosial diantara pemimpin, rekan dan pengikut.
Pertukaran ini didasarkan pada apa yang dikatakan pemimpin mengenai apa yang
dapat mereka peroleh jika mampu melakukan tugas dengan baik dan sebaliknya.
Dengan
begitu, pola kepemimpinan transformasional meningkatkan kepemimpinan pada
tingkat yang lebih tinggi. Ia melibatkan proses menginspirasi bawahan untuk
berkomitmen pada visi dan tujuan organisasi, menantang mereka untuk menjadi problem
solver yang inovatif, dan mengembangkan kapasitas kepemimpinan para
pengikut melalui pelatihan, mentoring, dan dukungan lainnya. Secara sepintas,
kepemimpinan transformasional hampir mirip dengan kepemimpinan kharismatik, namun
kharisma hanya merupakan bagian kecil dari kepemimpinan transformasional. Perhatian
pada teori kepemimpinan transformasional dan kharismatik melibatkan banyak hal
yang merujuk pada sisi gelap kharisma—bahwa pemimpin kharismatik menggunakan
kemampuan mereka secara egois dan bahkan sewenang-wenang.
Istilah
kharismatik ini pertamakali diaplikasikan sebagai sifat kepemimpinan oleh Max
Weber (1864–1920), seorang sosiolog Jerman. Ia memposisikan tiga bentuk
otoritas dalam masyarakat yakni; tradisional, legal-rasional dan kharismatik.
Kharismatik itu sendiri digunakan Weber untuk menjelaskan kepemimpinan yang
didasarkan pada persepsi kolektif masyarakat yang diberikan kepada seseorang (Goethals, Sorenson, Burns, 2004 :163). Dalam konteks ini, pemimpin yang
menjalankan pola kharismatik memiliki peluang untuk bertindak sewenang-wenang
karena ia mendapatkan semacam legitimasi kolektif dari bawahan mereka. Sebut
saja misalnya Adolf Hitler, Musollini, Pol Pot, Joseph Stalin dan beberapa
pemimpin lain yang memiliki karakter kharismatik yang demikian kuat. Bernard M.
Bass (2006 : 5) menyebut jenis kepemimpinan mereka sebagai pseudo-transformational
atau transformasional palsu .
C. Karakteristik Umum Kepemimpinan
Transformasional
Kepemimpinan
transformasional melakukan lebih dari sekadar pertukaran dan kesepakatan kerja.
Lebih dari itu, mereka bertujuan mencapai hasil yang jauh lebih baik dengan
menerapkan beberapa karakteristik kepemimpinan. Dalam beberapa hal, komponen
atau karakteristik kepemimpinan transformasional dianggap indikator yang dapat
digunakan untuk memahami konsep dan melakukan pengukuran efektivitas
kepemimpinan transformasional. Secara konseptual, kepemimpinan ini bercorak kharismatik
dimana pemimpin menginspirasi pengikutnya dengan tantangan dan pendekatan
persuasif, memberikan makna dan pemahaman atas tugas-tugas bawahan dalam
organisasi.
Lebih
dari itu, secara intelektual kepemimpinan adalah juga melakukan stimulasi,
meningkatkan kemampuan bawahan atau pengikutnya. Dengan demikian, pada akhirnya
kepemimpinan akan berujung pada bagaimana memberikan bimbingan, dukungan,
dampingan dan pelatihan bagi para pengikut atau bawahannya. Bass dan Riggio
menyebutkan beberapa karakteristik yang dapat diidentifikasi sebagai
kepemimpinan transformasional, yakni sebagai berikut:
1.
Idealized Influence (pengaruh yang
diidealkan)
Para
pemimpin transformasional menggunakan cara yang memungkinkan mereka dianggap
sebagai model bagi para pengikut mereka. Dalam praktik sehari-hari, hal ini
sejalan dengan konsep “keteladanan.” Pemimpin adalah sosok yang dihargai,
dihormati dan dipercaya. Para bawahannya mengidentifikasikan diri mereka dengan
karakter pemimpin mereka dan berusaha mengikuti jejaknya; pemimpin dianggap
sebagai sosok yang memiliki kemampuan luar biasa, ketekunan dan pengaruh yang
kuat (Bass dan Riggio, 2006: xi).
Perlu
diingatkan dalam hal ini bahwa dalam term manajemen pada umumnya, istilah
pengaruh sering disandarkan pada power yang mengimplikasikan pada
tindakan fisik-material, bukan influence yang lebih mengimplikasikan
aspek mental seorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Oleh
karenanya, ada dua aspek dalam idealized influence, yakni perilaku
pemimpin dan elemen yang diatributkan pada pemimpin oleh pengikut dan
rekan-rekannya. Dengan kata lain, pemimpin yang memiliki pengaruh yang
diidealkan adalah mereka yang bersedia mengambil resiko dan konsisten, bukan
arbitrer, apalagi otoriter yang menggunakan otoritasnya dengan sewenang-wenang.
Mereka dapat memperhitungkan apa yang harus dilakukan, dan mempraktikkan
standar etika dan moral yang tinggi. Dengan kata lain, pemimpin menjadi model
yang layak diikuti, diteladani dan dijadikan standar perilaku bagi para
bawahannya. Meski terdengar agak normatif, para teoritisi tetap meyakini bahwa
pengaruh ini menduduki peran paling penting bagi seorang pemimpin yang
menghendaki organisasi yang efektif.
- Inspirational Motivation (Motivasi yang Inspiratif)
Secara mendasar, motivasi merupakan pengejawantahan lain dari
komunikasi organisasi sebab memiliki tujuan akhir yang sama, yakni munculnya
tindakan positif untuk kelangsungan organisasi dalam mencapai tujuan. Namun
demikian, motivasi sering dipandang sebagai sesuatu yang lebih praktis dan
berkait erat secara langsung dengan faktor-faktor psikologis setiap individu
dalam organisasi.Para pemimpin besar telah membuktikan bahwa pemberian motivasi
menjadi salah satu faktor yang menentukan kesuksesan pencapaian tujuan sebuah
organisasi. Seorang jenderal perang, jika tidak mampu memberikan motivasi
kepada pasukannya, mungkin akan sulit dalam mengendalikan situasi. Begitu pula
seorang pemimpin secara umum. Kehebatannya memimpin terkadang ditentukan oleh
kemampuannya dalam memberikan motivasi kepada bawahannya.
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian-bagian awal bahwa inti
dari proses kepemimpinan adalah bagaimana menggunakan pengaruh terhadap orang
lain. Dalam praktiknya, pengaruh ini ditransformasikan sedemikian rupa sesuai
dengan situasi dan kondisi organisasi sehingga melahirkan motivasi. Motivasi,
dengan demikian, merupakan wujud paling ideal dari hasil penggunaan pengaruh
seorang pemimpin.
Secara bahasa, motivasi berasal dari kata Latin, “mavere” yang berarti dorongan atau daya
penggerak. Motivasi ini hanya diberikan kepada manusia, khususnya kepada
bawahan atau pengikut dalam sekumpulan manusia (Hasibuan, 1996: 220).
Motivasi mempersoalkan cara untuk mendorong gairah seseorang untuk melakukan
suatu pekerjaan. Misalnya, seorang ayah yang memberikan hadiah kepada anaknya
merupakan bentuk motivasi agar anaknya belajar lebih giat lagi. Ketika si anak
memperoleh prestasi lebih baik, si ayah pun kemudian memberikan lebih banyak
dan seterusnya. Namun demikian, pemberian motivasi memang tidak selalu
diwujudkan melalui penghargaan material, tetapi juga dalam bentuk lain.
Secara konseptual, dapatlah kiranya diperoleh pemahaman bahwa
motivasi menyangkut alasan-alasan mengapa orang mencurahkan tenaga untuk
melakukan sesuatu pekerjaan (Pace dan Faules, terj. Deddy Mulyana:113). Misalnya, kenapa seseorang memiliki semangat
untuk menuntut ilmu sampai pada jenjang yang paling tinggi, atau, kenapa orang
membanting tulang untuk mencari nafkah, atau, mengapa anak-anak usia sekolah
harus belajar, atau, seseorang berusaha melakukan suatu pekerjaan
sebaik-baiknya, dan seterusnya.
Secara praktis, motivasi dapat dipahami sebagai kesediaan untuk
mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan-tujuan tertentu. Dengan
demikian, dalam konteks kepemimpinan, seorang pemimpin dituntut memiliki
kepekaan dan kemampuan untuk membe-rikan motivasi kepada orang-orang yang
dipimpinnya dalam organisasi yakni dengan cara melakukan sesuatu sehingga masing-masing
individu dapat memenuhi kebutuhannya masing-masing. Dengan kata lain, seorang
pemimpin harus mampu “menyulap” tujuan organisasi sekaligus sebagai kebutuhan
individu-individu yang dipimpinnya (Robbins, 2001: 166).
Untuk memahaminya secara praktis, tampaknya patut dipertimbangkan
pernyataan Nick Thornely yang
mengungkapkan bahwa, “motivation
produces movement... it is the movement which enables us to distinguish between
the "quick" and the "dead.” (Redmond, WA: Microsoft
Corporation, 2005, Encarta Encyclopedia 2006 [DVD]) Secara bebas, kalimat ini dapat diartikan sebagai, “motivasi menghasilkan gerakan (perilaku)…
yakni perilaku yang memungkinkan kita untuk membedakan antara “si cepat” dan “si mati” (pecundang).” Maksud ungkapan ini sederhana, ironi dan memiliki makna yang
sangat mendalam. Thornely mengilustrasikan organisasi sebagai gelanggang perang
yang hanya berisi tentang orang-orang yang cepat dan tepat dalam bertindak.
Namun kecepatan dan ketepatan tindakan ini tidak akan terwujud jika seandainya
mereka tidak memiliki motivasi yang cukup. Dengan begitu, motivasi adalah upaya
untuk mempertahankan semangat untuk melakukan sesuatu agar dapat bertahan dalam
waktu yang lebih lama.
Para
pemimpin transformasional memiliki kemampuan memotivasi dan menginspirasi
mereka yang berada di sekelilingnya dengan memberikan pemahaman dan tantangan
pada pekerjaan bawahan mereka. Semangat tim dapat meningkat dengan tajam yang
diperlihatkan dengan antusiasme dan optimisme yang tinggi. Pemimpin memperoleh
keterlibatan pengikut mereka secara atraktif; mereka memciptakan ekspektasi
komunikasi yang jernih yang diinginkan oleh bawahan dan juga mempraktikkan
komitmen pada tujuan dan visi bersama.
- Intellectual Stimulation (Stimulasi Intelektual)
Para
pemimpin transformasional melakukan stimulasi pada pengikut mereka agar lebih
inovatif dan kreatif dengan meminta pendapat, menggambarkan masalah, dan
melakukan pendekatan baru terhadap masalah yang dihadapi
(Bernard, 2006: 7). Mereka
tidak melakukan kritik di muka umum terhadap bawahannya. Gagasan-gagasan baru
dan solusi kreatif atas masalah diperoleh dari bawahan yang dilibatkan dalam
proses penyelesaian masalah. Dengan cara ini, para bawahan memiliki keberanian
untuk mencoba pendekatan-pendekatan baru.
Dengan
kata lain, pemimpin transformasional tidak memposisikan bawahan sebagai objek
kepemimpinan, tetapi juga sebagai subjek yang memiliki potensi kepemimpinan
yang oleh karenanya ia lebih membuka peluang setiap bawahan untuk mengembangkan
berbagai pendekatan baru dalam pencapai tujuan organisasi. Keuntungan yang
diperoleh dari perilaku ini bukan hanya secara organisasional, tetapi juga,
secara individu setiap bawahan akan merasa bahwa kebutuhan affiliasi (need
for affiliation) yang mereka miliki akan terpenuhi dan hal ini akan berhubungan
dengan komitmen yang mereka berikan.
- Individualized Consideration (Pertimbangan Individual)
Pada
umumnya, tugas-tugas manajemen dalam organisasi dipukul rata karena didasarkan
pada job description yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada titik ini,
manajemen hampir tidak lagi peduli kondisi kemampuan dan persoalan-persoalan
lain yang dihadapi individu. Bertolak dari kenyataan ini, kepemimpinan
transformasional justru melihat perbedaan-perbedaan yang dimiliki bawahan
semestinya melahirkan treatment yang berbeda pula.
Pemimpin
transformasional menaruh perhatian khusus pada kebutuhan prestasi masing-masing
bawahannya dan meningkatkannya dengan memfungsikan diri sebagai pelatih atau mentor.
Para bawahan dan kolega dikembangkan untuk memperoleh potensi tertinggi mereka
(Bernard, 2006: 7). Pemimpin
benar-benar menerima perbedaan individual, misalnya beberapa karyawan mendapat dorongan
lebih besar, yang lain memiliki otonom lebih tinggi, sebagiannya dengan standar
yang lebih kuat, dan seterusnya. Aktivitas komunikasi dilakukan secara dua arah,
dan “management by walking around” dipraktikkan. Interaksi dengan para
bawahan dilakukan secara personal, misalnya, pemimpin mengingat betul
percakapan terakhir mereka, merupakan salah satu bukti bahwa pemimpin memperhatikan
pada individu bawahan, dan melihat individu sebagai keseluruhan bukan hanya
sebagai pekerja). Tugas-tugas
yang didelegasikan dimonitor untuk melihat apakah bawahan butuh arahan atau
dukungan tambahan untuk mencapai kemajuan yang diharapkan; secara ideal, bawahan
tidak akan merasa bahwa sesungguhnya pemimpin sedang memeriksa hasil pekerjaan
mereka. Dengan
kata lain, skala pertimbangan individual adalah, “The leader spends time
teaching and coaching.” Pemimpin banyak menghabiskan waktu untuk membimbing
dan melatih.
D. Kepemimpinan Transformasional
dalam Meningkatkan Komitmen dan Loyalitas
Meskipun kepemimpinan
transformasional jelas-jelas berpengaruh pada kinerja organisasi atau kelompok
kerja, pengaruh yang paling kuat dari kepemimpinan transformasional tampaknya
lebih jelas terlihat pada sikap bawahan dan komitmen mereka pada pemimpin dan
organisasi. Dalam sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Rai dan Sinha (Rai, S., & Sinha, A.
K., 2000 : 33–42) pada sebanyak 261
manajer tingkat menengah beberapa bank di India, skor manajer pada kepemimpinan
transformasional memperlihatkan angka signifikan berkaitan dengan komitmen
pekerja mereka. Selain itu, komitmen kuat dari bawahan ini tampaknya
diterjemahkan kedalam kinerja finansial yang lebih baik di cabang-cabang
mereka. Hasil yang sama ditemukan pula ketika penelitian dilakukan pada
departemen-departemen di 70 universitas. Departemen yang mempraktikkan
kepemimpinan transformasional terbukti lebih komitmen dan memperoleh kepuasan
yang lebih banyak dari anggotanya (Brown, F. W. & Moshavi,
2002 :79–94).
Hal ini memperlihatkan
bahwa kepemimpinan transformasional bukan hanya soal mengarahkan bawahan agar
dapat melakukan pekerjaan secara lebih baik. Lebih jauh dari itu, kepemimpinan
transformasional sangat mementingkan komitmen dan kepuasan kerja yang diyakini
banyak berkaitan dengan kualitas kerja bawahan untuk kepentingan organisasi
secara menyeluruh. Dalam
hal ini, masing-masing komponen kepemimpinan transformasional dapat membangun
komitmen bawahan dengan cara yang bervariasi. Idealized influence, dimana
bawahan meneladani pemimpin atau mengidentifikasi dirinya dengan pemimpin
secara emosional—membawa pada identifikasi pada tujuan, kepentingan, dan
nilai-nilai yang diyakini oleh pemimpin. Pemimpin berperan sebagai model pada
bawahannya, dan orang yang konsisten dengan nilai-nilai yang dianutnya, dapat
dengan mudah membangun komitmen pada nilai-nilai, tujuan atau standar perilaku
kelompok atau organisasi. Para pemimpin menggunakan motivasi inspiratif untuk
membangun komitmen emosional atas sebuah misi atau tujuan tertentu. Nilai-nilai,
keyakinan dan tanggungjawab seluruhnya didorong oleh pemimpin transformasional.
Pemimpin inspiratif bekerja dengan menggerakkan para pengikutnya untuk
memperhatikan nilai-nilai moral agar senantiasa dilibatkan dalam pelaksanaan
tugas-tugas mereka sebagai bagian dari organisasi dan profesi mereka. Oleh
karena komitmen memiliki segi yang bermacam-macam misalnya karir, ideologi, dan
organisasional, sejumlah kalangan beranggapakan bahwa komitmen pada organisasi
dapat muncul dalam berbagai bentuk. Allen dan Mayer (1990 :
1–18.) membedakan komitmen
afektif atau emosional para pekerja pada organisasi dengan komitmen yang
berkesinambungan yang sejalan dengan komitmen normatif dimana para pekerja
memiliki keinginan untuk tetap berada dalam organisasi tersebut.
Meskipun
sangat jelas bahwa kepemimpinan transformasional membantu membangun komitmen dan
loyalitas bawahan, namun prosesnya tetap saja merupakan sesuatu hal yang tidak
mudah. Peran kharisma dalam memahami proses ini tetap memiliki peran penting. Dalam kehidupan
organisasi secara umum, banyak dijelaskan bahwa mekanisme dinamika yang ada
dalam kepemimpinan transformasional, khususnya yang mencakup komponen idealized
influence, inspirational motivation, intellectual stimulation dan
individualized consideration. Secara umum setiap manusia menghendaki
sesuatu yang praktis dan ingin mencapai tujuan, mencari imbalan dan menghindari
sanksi. Namun kita juga mengekspresikan perasaan, nilai-nilai estetis, dan
konsep-diri untuk mengakui dan memperkokoh sikap, keyakinan dan nilai-nilai
yang kita yakini. Kita dimotivasi untuk menjaga dan meningkatkan self-esteem (harga
diri) dan kompetensi kita untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Pemahaman kita pada masa
lalu, masa kini dan masa depan dan kesesuaian diantara perilaku dan konsep-diri
kita. Konsep-diri kita merupakan gabungan dari identitas kita sebagai anggota
kebangsaan, kelompok sosial, dan jenis kelamin, beberapa diantaranya lebih penting
dari yang lainnya. Keyakinan dapat memotivasi kita sebagaimana perhitungan
rasional kita atas sesuatu. Apresiasi akan sifat manusia ini memungkinkan untuk
memahami perbedaan pengaruh dari kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan
transaksional pada pembangunan komitmen. Dengan menekankan aspek simbolik dan
ekspresif dalam pelaksanaan tugas dan tujuan dan nilai-nilai penting yang
terlibat di dalamnya, pemimpin transformasional membuat semacam statement moral.
Sebaliknya, pemimpin transaksional menekankan pada keuntungan untuk memuaskan
kepentingan diri bawahan. Dalam kepemimpinan transformasional, partisipasi
dalam upaya pencapaian tujuan menjadi ekspresi anggota dan identitas secara
kolektif. Menonjolnya identitas ini meningkat dalam konsep-diri bawahan, yakni
peningkatan komitmen. Harga-diri bawahan diperkuat oleh kepemimpinan transformasional
melalui ekspresi kepercayaan diri di tingkat bawahan.
Dengan mengartikulasikan
visi atau misi, pemimpin transformasional meningkatkan nilai-nilai intrinsik dari
pencapaian tujuan. Melampaui spesifikasi tujuan para pemimpin transaksional, pemimpin
transformasional menghadirkan nilai-nilai dalam tujuannya. Pencapaian tujuan
menjadi lebih bermakna dan konsisten dengan konsep-diri para bawahan. Namun
harus diingat bahwa kepemimpinan transformasional ini ada yang bersifat otentik
dan tidak otentik. Konsep pemimpin otentik dan tidak otentik (pseudo-transformational)
telah dikemukakan secara singkat pada bagian awal tulisan ini. Pemimpin transformasional
yang otentik adalah mereka yang menjaga komitmen, keterlibatan dan loyalitas
bawahan dengan didasarkan dari kekuatan dan harga-diri.
Sementara itu pemimpin
yang pseudo-transformasional adalah mereka yang menggunakan kekuasaan
mereka untuk memberikan imbalan dan hukuman dalam rangka mendominasi bawahan
mereka. Mereka cenderung memperlihatkan sikap otoriter, memperkaya diri, dan
mengeksloitasi bawahan mereka. Manipulasi, ancaman dan janji-janji digunakan
untuk mencapai tujuan mereka. Mungkin saja bawahan memperlihatkan komitmen,
namun komitmen yang mereka perlihatkan sesungguhnya bersifat publik, bukan
pribadi. Komitmen, keterlibatan dan loyalitas didasarkan ketergantungan pada
pemimpin, yang merupakan hasil dari rasa takut akan hukuman atau hilangnya
peluang untuk mendapatkan imbalan. Pemimpin transformasional otentik seperti Mahatma
Gandhi atau Martin Luther King, Jr., menyerukan secara ideologis akan masa
depan yang lebih baik bagi para pengikut mereka tanpa menyakiti orang lain. Mereka
berbicara mengenai persaudaraan yang universal. Para pemimpin semacam ini
bertujuan untuk mengembangkan pengikut mereka dan menstimulasi mereka secara
intelektual. Mereka adalah pemimpin yang otentik—benar menurut mereka sendiri
dan orang lain.
Berbeda dengan komitmen
bawahan pada pemimpin transformasional ini, komitmen pada pemimpin pseudo-transformasional
mungkin hanya berlangsung sekejap bagi sebagian bawahan, selanjutnya komitmen
mereka hanya didasarkan pada rasa takut dan janji yang diberikan pemimpin atau
sebagai konsekuensi yang dikondisikan. Lebih jauh, ketika komitmen merupakan konsekuensi
dari kekuasaan pemimpin yang bersifat koersif, ia dapat menyebabkan
pertentangan, pengunduran diri, dan tindakan lain di luar batas
(Bernard [b] 1960). Dalam mencapai internalisasi
dan komitmen di tingkat bawahan, pemimpin transformasional yang otentik
membantu perubahan konsep-diri mereka dan bawahannya untuk kepentingan bersama.
Hal ini merupakan bukti bahwa kombinasi kharismatik dan pertimbangan individual
yang dijalankan oleh pemimpin transformasional membuat konsep-diri para
pengikut mereka lebih siap diakses.
E. Kepemimpinan
Transformasional dan Kepuasan Bawahan
Pemimpin
transformasional memiliki bawahan yang memiliki kepuasan yang lebih tinggi
daripada mereka yang bukan pemimpin transformasional. Hubungan yang tercipta
antara kepemimpinan transformasional dengan kepuasan bawahan tampaknya sangat
substansial sebagaimana mestinya. Pemimpin yang inspiratif dan menunjukkan
komitmen pada organisasi, yang memberikan tantangan kepada bawahan mereka untuk
berpikir, dan mereka yang memperlihatkan perhatian sebaik-baiknya pada mereka semestinya
memiliki bawahan yang lebih puas.
Meskipun
teori kepemimpinan transformasional cenderung memfokuskan pada pemimpin dan
bukan pada hubungan dengan para pengikutnya, namun para pengikut cenderung
memiliki tingkat kepuasan yang tinggi dan hal ini membuktikan hubungan yang
positif. Kontribusi utama teori ini adalah pentingnya proses emosional
sebagaimana proses rasional dalam kepemimpinan. Kontribusi lain ialah penekanan
pada pemberdayaan bawahan, yakni sebuah proses membagi kekuatan yang
memungkinkan para bawahan untuk mengembangkan potensi kepemimpinan mereka
sendiri. Pemberdayaan ini mengubah sifat hubungan pemimpin-bawahan (Goethals, Sorenson, Burns, 2004 :831).
Secara mendasar, dapat dikemukakan bahwa beberapa hal
yang menyebabkan kepuasan bawahan ini antara lain adanya; trust (kepercayaan),
dan emotional (emosi). Para pemimpin transformasional memperoleh kepercayaan
bawahan dengan menjaga integritas dan dedikasi mereka, dengan bertindak adil
dalam memperlakukan bawahan atau pengikut mereka dan dengan menunjukkan
keyakinan mereka pada bawahan dengan memberdayakan mereka. Hal ini sesuai
dengan saran bahwa salah satu cara yang dijalankan kepemimpinan kharismatik dan
transformasional adalah dengan mempraktikkan dedikasi mereka dan membangun
kepercayaan bawahan mereka melalui perilaku pengorbanan diri (Conger
& Kanungo, 1998). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa peran kepuasan bawahan dengan pemimpin dan kepercayaan yang
dijalankan pemimpin dapat memediasi pengaruh kepemimpinan transformasional dalam
perilaku organisasional yang dijelaskan sebagai keterikatan bawahan dengan
perilaku membantu, mengekspresikan loyalitas pada organisasi, bersungguh-sungguh,
dan memperlakukan orang lain dengan adil.
Selain kepercayaan, kepemimpinan
juga mengandalkan proses emosional secara intrinsik, dimana para pemimpin
memperlihatkan emosi untuk membangkitkan reaksi emosional bawahan. Hal ini
semestinya menjadi tindakan yang benar bagi pemimpin transformasional dan kharismatik,
yang menggunakan motivasi inspiratif untuk mendorong para pengikutnya. Para
pemimpin diasumsikan dapat mempengaruhi iklim efektif secara keseluruhan dari
kelompok dan tingkatan kepuasan kerja.
Para
pemimpin transformasional secara tipikal memperlihatkan tujuan mereka lebih
jauh dari pencapaian tugas-tugas organisasi atau tujuan-tujuan yang terikat
oleh ruang dan waktu. Ketika mereka mengalami kesuksesan, tujuan itu data
bertahan lebih lama. John F. Kennedy memang menjadi korban penembakan, namun
visinya tentang relasi ras di Amerika Serikat diimplementasikan oleh
penggantinya. Demikian juga dengan Martin Luther King Jr. yang dibunuh, semua pengikutnya
bergerak untuk mewujudkan apa yang telah dimulainya (Denning, 2007 : 60-61). Dengan kata lain,
kepuasan yang diperoleh bawahan bukan hanya dimanfestasikan dalam bentuk
material, tetapi juga hal-hal yang bersifat non-material, seperti kepercayaan
dan emosi yang secara umum dipraktikkan dalam kepemimpinan transformasional
yang lebih berorientasi pada perubahan cara kerja organisasi melebihi
pertukaran peran-peran sosial sebagaimana yang dipraktikkan dalam kepemimpinan
transaksional.
F. Penutup
Komitmen,
loyalitas dan kepuasan merupakan isu utama dalam pengelolaan organisasi. Ia
menjadi wilayah strategis seseorang dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinan.
Bahkan secara matematis, mungkin dapat dirumuskan bahwa kepemimpinan efektif
dapat ditandai dengan tiga aspek tersebut. Kaitannya dengan tiga isu
penting di atas, ada dua paradigma kepemimpinan yang dapat dikembangkan dalam
organisasi, yakni paradigma kepemimpinan transaksional dan transformasional.
Kepemimpinan transaksional adalah paradigma yang paling sering kita temui dalam
kehidupan organisasi di manapun, khususnya organisasi yang bersifat profit,
sebab salah satu karakter paradigma ini adalah bahwa kepemimpinan dipahami
sebagai proses pertukaran peran sosial sehingga kepemimpinan model ini
mengimplikasikan konsekuensi reward and punishment dan sebagainya.
Sementara
itu pada paradigma kepemimpinan transformasional, kepemimpinan lebih dari
sekadar pertukaran peran tetapi sebuah proses menstimulasi dan menginspirasi
bawahannya untuk memperoleh hasil dan proses yang luar biasa dan mengembangkan kapasitas
kepemimpinan dirinya sendiri. Dengan kata lain, pemimpin transformasional
membantu pengikutnya berkembang dengan merespon kebutuhan individual
pengikutnya dengan cara memberdayakan mereka sejalan dengan tujuan organisasi.Hal
ini tentu memiliki implikasi kuat pada proses pembangunan komitmen, loyalitas
dan kepuasan bawahan. Bukan berarti bahwa kepemimpinan transaksional sama
sekali tidak menghasilkan ketiga hal ini, namun komitmen, loyalitas dan
kepuasan bawahan lebih bersifat organisasional atau bersifat ekstrinsik.
Sementara
itu, kepemimpinan transformasional lebih membangun komitmen, loyalitas dan
kepuasan dengan pendekatan individual dan intrinsik melalui motivasi yang yang
ditumbuhkan dari dalam diri bawahan sendiri. Oleh karena itulah kepemimpinan
transformasional bekerja dengan empat hal, yakni (a) Idealized Influence
dimana pemimpin menjadi model ideal atau teladan bagi bawahan, baik secara
normatif maupun profesional, (b) Inspirational Motivation, dimana
pemimpin memberikan motivasi yang tidak hanya bersifat material tetapi juga
mental yang memiliki cakupan lebih luas, (c) Intellectual Stimulation,
yakni rangsangan pemimpin atas bawahan untuk mengembangkan dan meningkatkan
potensi kepemimpinan mereka sendiri, dan (d) Individualized Consideration
yakni menjalankan kepemimpinan dengan melihat berbagai pertimbangan yang
bersifat individual bawahan.
Tampaknya
paradigma ini layak dipertimbangan sebagai salah satu alternatif dalam kondisi
saat ini dimana kita tengah mengalami krisis kepemimpinan, atau krisis
kepercayaan terhadap pemimpin. Dengan paradigma ini, seorang pemimpin tidak
lagi memandang bawahan sebagai objek yang dapat diperlakukan sewenang-wenang,
sebab pada kenyataannya kerja organisasi membutuhkan pekerja dengan komitmen
dan loyalitas dan kepuasan kerja yang kuat agar dapat mencapai tujuan
organisasi dengan baik.[]
Daftar Pustaka
Allen, N. J., & Meyer, J. P., 1990, “The Measurement and
Antecedents of Affective, Continuance, and Normative Commitment to the
Organization,” dalam Journal of Occupational Psychology
Bernard M. Bass, 1960, Leadership, Psychology, and
Organizational Behavior. New York: Harper & Row
Bernard M. Bass dan Ronald E.
Riggio, 2006, Transformational Leadership, Second Edition, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Inc.
Brown, F. W., & Moshavi, D., 2002, “Herding Academic Cats:
Faculty Reactions to Transformational and Contingent Reward Leadership by
Department Chairs” dalam Journal of Leadership Studies, Volume 8
Conger, J. A., & Kanungo, R. N., 1998, Charismatic Leadership
in Organizations, California: SAGE Publications
George R. Goethals, Georgia J. Sorenson, James MacGregor Burns
(ed.), 2004, Encyclopedia of Leadership, Vol. I, California: SAGE
Publications
_________________, 2004, Encyclopedia of Leadership, Vol.
II, California: SAGE Publications
H. Levinson, 1980, “Power, Leadership, and the Management of
Stress,” dalam Professional Psychology, Volume 11
Jack Foster, 2005, Ideaship,
Bandung: Kaifa
James M. Burns, 1978, Leadership, New York: Harper & Row
Kark, R., & Shamir, B. 2002, “The Dual Effect of
Transformational Leadership: Priming Relational and Collective Selves and
Further Effects on Followers” dalam B. J. Avolio & F. J. Yammarino (ed.), Transformational
and Charismatic Leadership: The Road Ahead, Oxford: JAI/Elsevier
Malayu S.P. Hasibuan, 1996, Manajemen: Dasar, Pengertian dan Masalah, cetakan ke-2, Jakarta:
PT. Toko Gunung Agung
Microsoft Encarta Encyclopedia 2006 [DVD]., 2005, Redmond, WA:
Microsoft Corporation
R. Wayne Pace dan Don F. Faules, t.th., Komunikasi Organisasi, terj. Deddy
Mulyana, Bandung: Remaja Rosdakarya
Rai, S., & Sinha, A. K. 2000, “Transformational Leadership,
Organizational Commitment, and Facilitating Climate,” dalam Psychological
Studies
S. C. Sarkesian, 1981, “Moral and Ethical Foundations of Military
Professionalism,” dalam J. Brown & M. Collins (ed.), Military Ethics and
Professionalism: A Collection of Essays, Washington: National Defense
University Press
Stephen Denning, 2007, The Secret Language of Leadership: How
Leaders Inspire Action through Narrative, San Fransisco: Jossey-Bass
Stephen P. Robbins, 2001, Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, Aplikasi, Jakarta: Prenhallindo
Winardi, 2000, Kepemimpinan
dalam Manajemen, Jakarta: Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar