Rabu, 27 Juni 2012

WANITA ISLAM DALAM KELUARGA DAN KARIR

Kartini di masanya telah menorehkan gagasan cemerlang untuk kebangkitan kaum perempuan di lingkungan keratonnya. Sartika secara lebih konkrit telah membangun kiprah nyata melalui pendirian sekolah-sekolah untuk kaum perempuan di Bandung. Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Meutia secara nyata turut angkat senjata bahu membahu dengan Teuku Umar melawan kolonialisme di Aceh. Nama-nama itu hanya bagian kecil yang telah kita kenal atas kiprah wanita dalam kehidupan sosial. Lebih jauh di masa Nabi, Khadijah, Aisyah mereka adalah diantara Ummul Mukminin yang turut serta menegakkan syiar Islam di periode awal.


Dewasa ini, kita juga disuguhi fenomena sosial di mana wanita telah memerankan kedudukan sedemikian rupa pada setiap sektor pekerjaan. Wanita tidak sedikit memimpin suatu perusahaan. Wanita juga memimpin satu pemerintahan. Wanita juga menjadi juru penerang agama. Bahkan wanita juga berani menyeberang ke Negara yang jauh untk bekerja. Namun demikian, masih juga menjadi perbincangan mengenai peran wanita yang sesungguhnya. Misalnya Nurul Arifin, berpendapat, meski jumlah perempuan di parlemen meningkat 18 persen dari periode sebelumnya yang hanya 11 persen, namun peran mereka belum signifikan. (Kompas, 21 April 2011). Pendapat ini menimbulkan kesan seakan wanita memiliki keterbatsan akses tertentu atau memang masih terselimuti oleh bias-bias gender dalam kiprahnya. Bias ini juga terutama berkonotasi dengan pemaknaan peran wanita menurut keyakinan terminologi agama. Pertanyaan dasarnya adalah sesungguhnya bagaimana pandangan Agama Islam tentang peran wanita dalam keluarga dan berkarir?


Pandangan Islam tentang Wanita 
Pembahasan wanita terkait langsung dengan pria. Dalam Islam diajarkan adanya persamaan antar manusia, baik antara pria dan wanita maupun antar bangsa, suku dan keturunan dalam pandangan manusia, perbedaan yang meninggikan atau merendahkan manusia sesungguhnya hanya nilai pengabdian dan ketakwaan kepada Allah SWT. Kejadian manusia berpasangan antara pria dan wanita merupakan bukti nyata akan adanya rahmat Allah SWT.  Sebagaimana firman-Nya, dalam surat an-Nisa, ayat 1 :

“Hai sekalian umat manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan dari padanya Allah menciptakan istrinya. Dan dari keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan wanita yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.[1]

Pelajaran yang diperoleh dari ayat ini adalah manusia bertakwa kepada-Nya, yang memelihara munusia dan melimpahkan nikmat karunia-Nya. Nabi Adam dan istrinya hawa diciptakan Allah SWT sebagai manusia pertama. Dan kemudian berkembangbiaklah mereka dimuka bumi ini.tampak jelas, Islam mengajarkan kepada manusia bahwa Tuhan menciptakan dari unsur itu.
Dari aspek asal kejadian ternyata wanita dan pria adalah setara; meski dari keadaan fisik dan mental tetap ada perbedaan. Selain itu, Allah memerintahkan kepada manusia untuk bertakwa kepada-Nya dan sering kali mempergunakan nama-Nya dalam berdoa untuk memperoleh kebutuhannya; dan memelihara silaturahami antara keluarga atas dasar kabaikan dan kebijakan tetapi tidak berbuat sebaliknya.
Islam,  dengan  ideologinya yang tegas, jelas dan menyeluruh, melukiskan gambaran yang memuji tentang kaum wanita. Ia menyebut mereka sebagai pembangun dan pendidik manusia dan kemanusiaan. Islam sangat menghargai kaum wanita, tetapi basis sistem nilainya jauh berbeda dari sistem nilai barat maupun timur. Jika kaum wanita barat dewasa ini, karena aliensi kultural, menderita pelbagai gangguan moral dan intelektual serta meratapi keluarga-kelurga mereka yang berantakan, maka Islam –dengan  menegaskan pentingnya membentuk keluarga dan membina hubungan yang sehat dengan orang lain dan keluarga pada takaran lebih tinggi dalam masyarakat– akan membimbing kafilah umat manusia menuju kedamaian jiwa.[2]
Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian sangat besar dan kedudukan terhormat kepada wanita. Dalam surat al-Hujurat, ayat 13 :
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan wanita dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”[3]

Sejalan dengan ayat sebelumnya, terdapat kejelasan bahwa manusia diciptakan-Nya berbagai-bagai bangsa dan bersuku-suku bangsa, berbeda-beda ras dan warna kulit bukan untuk saling mencemooh (antar bangsa maju dan terbelakang; antara si kaya dan si miskin; orang berpangkat dan buruhnya). Dan merusak satu sama lain, tetapi agar saling mengenal dan saling menolong, Allah tidak menyukai orang-orang yang memperlihatkan kesombongan dengan keturunannya, kepangkatan atau kekayaannya. Karena dalam pandangan Islam, kemuliaan manusia tidak diukur dengan keturunan dan kekayaannya, melainkan yang paling mulia disisi Allah hanyalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya.
Dengan tegas Islam mengajarkan dalam Al Quran, menolak pandangan-pandangan masyarakat yang membedakan (lelaki dan wanita) dengan menyatakan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya, baik yang pria maupun yang wanita. Dalam kaitan itu, Allah menjelaskan bahwa ia memuliakan anak Adam dengan raut muka yang indah, diberikan akal dan potongan tubuh yang serasi agar dapat menerima petunjuk sehingga mampu berfikir rasional dan objektif dalam memahami makna hidup dan mencari kebutuhan hidupnya. Demikian pula kemampuan mengelola kekayaan alam serta menciptakan berbagai peralatan sebagaimana tercantum dalam surat al Isra’ ayat 70 :
Dan sesungguhnya kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka dari daratan dan lautan (untuk memudahkan mencari kehidupan) kami beri mereka rizki yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk-makhluk yang kami ciptakan.”[4]   

Demikian Allah secara lugas dan tegas menyatakan bahwa manusia (baik pria maupun wanita) dimuliakan dan bahkan lebih dari itu juga diberikan kemampuan menciptakan dan memanfaatkan alat angkutan berupa kendaraan bermotor, kapal udara, dan kapal laut sebagai alat pengangkut kebutuhan hidup  mereka dari suatu negeri ke negeri yang lain. Dalam konteks ayat ini dapat dipahami bahwa kalimat anak-anak Adam meliputi laki-laki dan wanita, demikian pula penghormatan kepada mereka meliputi anak-anak Adam seluruhnya.
Pemahaman demikian dipertegas lagi dalam Q.S. Ali Imran ayat 195 sebagai berikut:
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau wanita, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."[5]

Dari ayat di atas, diperoleh penjelasan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan setiap amal seseorang yang taat kepadaNya. Pada bagian sebelumnya dijelaskan bahwa jika seseorang [baik laki-laki maupun wanita] bekerja dengan tekun dan disiplin atas dasar niat ikhlas beramal, maka allah akan mengabulkan setiap permohonan mereka. Jadi, dalam hal ini tampak jelas Allah tidak membeda-bedakan hasil suatu pekerjaan atas dasar perbedaan jenis kelamin.
Adapun  jika ditemukan suatu pandangan yang terkesan merendahkan suatu kedudukan antara laki-laki dan wanita, sesungguhnya yang demikian itu merupakan bias pandangan yang berkembang di masyarakat, sama sekali bukan berasal dari ajaran Islam yang luhur. Dalam hal ini bahkan al Quran seringkali menegaskan bahwa Allah tidak membeda-bedakan setiap amal baik laki-laki meupun wanita seperti juga dapat ditemukan lagi dalam Q.S. al Ahzab ayat 35 selain yang telah dikutip sebelumnya:

Sesungguhnya laki-laki dan wanita yang muslim, laki-laki dan wanita yang mukmin, laki-laki dan wanita yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan wanita yang benar, laki-laki dan wanita yang sabar, laki-laki dan wanita yang khusyuk, laki-laki dan wanita yang bersedekah, laki-laki dan wanita yang berpuasa, laki-laki dan wanita yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan wanita yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.[6]

Wanita Islam dalam Keluarga
Peranan merupakan aspek dinamis dari status. Jadi peranan wanita dalam keluarga merupakan aspek dinamis dari status wanita dalam keluarga itu sendiri. Dalam Pandangan Islam, Status seorang wanita dalam keluarga diakui sebagi istri dari suami dan seorang ibu dari anak-anak mereka. Demikian pula halnya dalam konteks keindonesiaan, sudah terlihat dan diakui sejak lama.
Memahami status wanita dalam  keluarga harus dihubungkan dengan  pria sebagai suami mereka yang secara multidimensional mengandung banyak berbagai pengertian. Sementara itu jika dihubungkan dengan masyarakat, dapat ditentukan oleh hak dan kewajiban  serta sistem nilai yang berlaku setempat.[7] Jika ditinjau secara lebih realistis, status wanita dapat ditinjau dari aspek kesempatan kerja dan prospek sosial sebagai apa adanya. Dari pemahaman itu dapat dikatakan bahwa status wanita merupakan kedudukan seorang wanita dalam rumahtangganya yang ditentukan atas dasar pengakuan orang lain  disekitarnya terhadap segala potensi yang ia miliki. Jadi peranan wanita dalam keluarga adalah tindakan dinamis yang ia tunjukkan sebagaimana seharusnya yang ia lakukan sesuai dengan status yang ia sandang sesuai dengan kapasitasnya.
Peranan seseorang mengikuti arus status yang ia sandang. Status seseorang dapat berubah karena adanya beberapa faktor yang menjadi saluran untuk terjadinya gerak sosial vertikal, baik melalui aktifitas di organisasi sosial, kelembagaan agama, politik, ekonomi, dan organisasi profesi lainnya. Keadaan itu dapat terjadi bagi pria dan wanita di perkotaan maupun pedesaan. Status sosial seseorang dapat di bedakan menjadi kedudukan yang diperoleh sejak lahir berdasarkan keturunan (ascribed status). Seseorang yang mendapat status sosial tertentu menurut kelahirannya juga akan memperoleh status sosial yang lain melalui prestasi pribadinya. Beralihnya kedudukan seseorang dalam masyarakat sangat dimungkinkan jika sistem pelapisan sosialnya terbuka.[8] Dalam sistem sosial terbuka, pada dasarnya setiap pribadi memiliki kesempatan untuk berusaha dengan kemampuan dan kecakapannya guna meningkatkan kedudukan. Tetapi berbeda dengan mereka yang tidak bekerja dan berusaha, meski semula memiliki kedudukan yang tinggi suatu ketika dapat jatuh atau turun ke yang lebih rendah. Dalam kehidupan masyarakat yang terbuka ada peluang yang lebih besar bagi setiap orang (wanita; pria) untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuannya untuk kepentingan pribadi, keluarga pembangunan bangsa, dan pengembangan bangsa.
Banyak contoh yang menunjukkan, beralihnya kedudukan seseorang (pria maupun wanita) ke arah yang menarik disebabkan pendidikan yang lebih tinggi, pemilikan ekonomi, keanggotaan dalam asosiasi atau organisasi. Pendidikan berpengaruh positif terhadap kedudukan sehingga seseorang dapat lebih mudah memperoleh peluang kerja dan pendapatan yang lebih besar. Selain itu, juga dapat memperoleh kedudukan tertentu pada strata sosial yang lebih tinggi lengkap dengan fasilitasnya. Kedudukan yang meningkat itu memberi peluang bagi mereka untuk dapat bergaul dengan elit politik ekonomi maupun pemerintahan. Dengan kata lain, pendidikan bagi wanita dapat meningkatkan status sosialnya. Terlebih lagi jika didukung oleh kemampuan, penguasaan ilmu pengetahuan, bahasa asing dan teknologi. Secara profesional wanita yang berpendidikan tinggi memiliki kemampuan untuk meningkatkan aspirasi dan harapan dan penghasilan yang besar sehingga dapat hidup lebih layak dan terhormat dalam masyarakat.   
Islam menghubungkan pertumbuhan kualitas anak dengan pertumbuhan kualitas dan status moral keluarga serta orang tua; dan benar-benar mengingatkan orang tua, disebabkan anak-anak dididik oleh orang tua mereka, dan karena itu juga, dipengaruhi oleh mereka. Islam tidak mengesampingkan kaum wanita dari pekerjaan kemasyarakatan, ia memperingatkan kaum wanita agar mematuhi hukum-hukum dan aturan-aturan yang ada untuk menghindarkan anak-anaknya dari pelbagai kerusakan dan kejahatan. Sekalipun Islam telah menetapkan kaum pria sebagai pencari nafkah dalam keluarga, ia masih memandang positif pekerjaan yang dilakukan kaum wanita.
Dalam konteks itu, Islam memberikan status dan peran utama bagi wanita bukan sebagai pemasok keuangan dan bertanggung Jawab terhadap keluarga. Tetapi Islam mengajarkan kewajiban itu dibebankan kepada kaum laki-laki, baik sebagai suami atau sebagai saudara dalam keturunan. Firman Allah:
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah melebihkan dari sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...” (Q.S An-Nisa : 34).[9]

 Hal ini dikuatkan dalam surat at-Thalaq:7,
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.[10]

Peran utama yang diinginkan dalam Islam adalah mengurus rumah tangganya. Lebih-lebih lagi mengurus dan mendidik anak-anaknya. Di dalam surat al-Baqarah  ayat 233 Allah berfirman:
“Dan itu, ibulah yang menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan...”[11]
Arti penyusuan di sini bukanlah sekedar  memberikan air susu itu, tetapi memberikan pula kepuasan rohani, pemeliharaan, pendidikan dan sebagainya. Sebagaimana diakui oleh para ahli betapa eratnya hubungan emosional dan fisik antara ibu dan anak yang dilahirkannya.

Pandangan Islam tentang pekerjaan wanita dan wanita pekerja.
Dalam Al Quran kaum wanita dan pria dibicarakan secara bersama-sama oleh Allah. Dan kaum wanita juga dipandang bertanggung Jawab sama seperti kaum pria dalam mematuhi hukum-hukum agama. Sudah barang tentu, ada beberapa perintah yang dikhususkan bagi kaum pria, dan sebagian lagi dikhususkan  bagi kaum wanita. Ini disebabkan oleh watak dan karakteristik batiniyah masing-masing. Dalam sebagian besar ayat menjanjikan ketakwaan dan harapan, hukuman dan ganjaran, kaum pria dan wanita diperlakukan secara sama. Inilah salah satu alasan agama menghargai kaum wanita, yaitu dengan memandang mereka sebagai penanggung Jawab pula. Bukan hanya untuk kaum pria saja Allah menurunkan perintah-perintah-Nya, namun kaum wanita juga berkewajiban berbuat sesuai dengan perintah-perintah ini, dan harus pula mampu bertanggung Jawab atas segala perbuatan dan kekurangan mereka.[12]
Pekerjaan kaum wanita yang lebih penting adalah mendidik anak-anak yang sehat sesuai dengan ajaran-ajaran agama dan ilmu. Ini tidak berarti melarang kaum wanita melakukan pekerjaan-pekerjaan sosial diluar rumah. Islam tidak membatasi jenis pekerjaan tertentu yang harus dipilih oleh seorang wanita. Bahkan menurut Turkamani, dalam Islam, kaum wanita tidak bertanggung Jawab mencari nafkah bagi keluarga. Malahan, mereka boleh meminta bayaran atas pekerjaan yang dilakukan dirumah, atau boleh menolak bekerja bila tidak dibayar.[13]
Tidak ada keraguan atau persoalan tentang kaum wanita yang bekerja. Yang disoroti oleh agama adalah jenis dan metode pekerjaan yang dilakukannya. Beberapa pekerjaan tertentu hanya khusus diperuntukkan bagi kaum wanita saja. Kaum wanita dan pria–karena kekuatan fisik dan kualitas-kualitas mental mereka—memiliki kemampuan untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu, dan masing-masing menginginkan suatu pekerjaan yang cocok dengan kondisi-kondisi mereka sendiri. Seorang wanita yang berhati suci dan penuh kasih tidak pantas mematikan perasaan-perasaan ini dengan pekerjaan-pekerjaan yang membosankan dipabrik-pabrik. Perasaan-perasaan suci ini harus digunakan untuk membuat hangat lingkungan keluarga dan menentramkannya. Sekalipun mereka menghadapi pelbagai kesulitan dan kesukaran, mereka masih memiliki kekuatan untuk menanggungnya. Tak ada yang lebih membahagiakan dan menyegarkan seorang pria dan anak-anak selain menghabiskan waktu mereka bersama-sama dengan keluarga.
Adanya faktor-faktor kepercayaan, keyakinan, kasih sayang, kebaikan dan kesetiaan antara pasangan suami-isteri dan  keluarga merupakan faktor-faktor yang menambah kebahagiaan dalam diri individu, dan akan menyiapkan bagi mereka sebuah kehidupan yang sehat. Jika keluarga-keluarga menikmati hubungan yang  sehat, maka masyarakat yang terbentuk dari keluarga-keluarga ini tentu akan sehat juga.
 “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. an Nisaa : 32)[14]

Dengan  menganalisis ayat dan penuturan Al-Quran ini dapat disimpulkan, bahwa kaum wanita berhak atas pemilikan dan pekerjaan sebagaimana halnya kaum pria. Hak ini termasuk di antara hak-hak yang diperoleh kaum wanita di dalam agama. Menurut agama, setiap orang berhak untuk bekerja dan memperoleh keuntungan. Pada dasarnya,  Islam menentang tindakan menyia-nyiakan waktu, dan menganjurkan agar kita membagi waktu ke dalam jam-jam kerja, ibadah dan istirahat.
Jika pekerjaan kaum wanita tidak sampai mengabaikan kesejahteraan anak dan keluarga, serta tidak menimbulkan kejahatan dan hancurnya kesehatan mereka, maka mereka diizinkan bekerja di luar rumah sesuai dengan kekuatan fisik dan waktu yang tersedia. Namun demikian, Turkamani[15] menekankan tiga hal yang dianggapnya tidak boleh oleh Islam wanita untuk mengerjakannya, yaitu (1) Hakim, (2) Pejuang garis depan dalam jihad  (perang suci); (3) Faqih.
Pertama-tama, menurut Turkamani dikatakannya bahwa kehakiman adalah tugas keagamaan, bukan pekerjaan sebagaimana yang diketahui orang. Siapa saja yang terkena kewajiban untuk mengadili berhak melakukan hal itu, namun wanita tidak diperbolehkan. Barangkali alasannya adalah kelembutan dan kehalusan hati, simpati dan kasih sayang yang dimiliki wanita. Kadang-kadang, perasaan emosionalnya bisa mengganggu dan mencegahnya melakukan apa yang benar menurut agama. Namun tentu saja, kaum wanita bisa menjadi saksi bagi sebuah pengambilan keputusan dan kesaksian mereka akan diterima, dan dua orang wanita sebagai saksi sama dengan kesaksian seorang pria. Betapapun juga, watak wanita itu sendiri mencegahnya dari melakukan peran ini.
Selanjutnya menurut Turkamani Jihad garis depan adalah jihad yang dilakukan oleh kaum muslimim sesuai dengan perintah para Imam a.s. atau para pemimpin yang adil pada masanya dengan tujuan membela, mempertahankan, dan melindungi dasar-dasar agama. Inilah perjuangan melawan orang-orang kafir dan para penyembah berhala yang berusaha membatasi, menyelewengkan, dan menindas agama Islam. Dalam jihad kecil, hanya kaum pria saja yang diizinkan turut berpartisipasi dalam medan perang. Dalam peperangan defensif, yang dikenal sebagai jihad defensif, atau jihad besar, yakni partisipasi aktif  kaum muslimin menghadapi berbagai serangan orang-orang kafir, musyrik dan orang-orang atheis atas pemerintahan Islam, baik kaum pria maupun wanita mempunyai hak untuk ikut serta dalam pertahanan dan pembelaan tersebut.
Kapan pun ada musuh menyerbu negara mereka, kaum wanita juga dibutuhkan untuk membela dan mempertahankan dengan segala cara dan kekuatan mereka, dan dalam jihad ini tak perlu ada izin dari pemimpin masyarakat, sebab hal itu- menurut pertimbangan akal sehat- adalah sesuatu yang harus dilakukan untuk membela kehormatan, martabat, dan agama seseorang serta mencegah musuh berkuasa.
Di antara hal-hal yang tidak menjadi tangggung Jawab kaum wanita adalah masalah kepemimpinan agama. Berdasarkan ini, tanggung Jawab untuk menjadi seorang pemimpin agama atau seorang faqih atau kepemimpinan sentral tidak dibebankan diatas pundak kaum wanita. Jadi, menurut Islam, kaum wanita dapat berpartisipasi secara sehat dalam segala jenis pekerjaan selain dari yang dibicarakan diatas, dan sesungguhnya hal ini juga menghilangkan tanggung Jawab berat bukannya sekedar larangan atas jenis pekerjaan seperti itu, demikian Turkamani.[16]
Islam, setelah mengangkat tinggi kemuliaan manusia menawarkan sejenis pekerjaan yang cocok dengan mereka secara mental maupun fisik- pekerjaan yang tidak membahayakannya lantaran sifatnya yang keras dan kondisi-kondisi lainnya. Karena itu, walaupun pekerjaan diberikan untuk semua orang, namun tetap berada dalam prinsip-prinsip Islam. Eropa, sebagaimana diketahui, bertindak berlawanan dengan ini. pekerjaan kaum wanita di pabrik-pabrik dan kantor-kantor sebagai sekretaris, operator, dan sebagainya, bukan saja tidak memotivasi dunia barat kearah kerja keras, tetapi justru meningkatkan laju kerusakan di sana.
Islam membolehkan kepada lelaki dan wanita untuk bekerja memperbaiki rezeki, mensejahterakan hidupnya, sesuai dengan misi khalifah yang diembannya. Firman Allah:
 “Dan jangalah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain, karena bagi laki-laki ada bagian dari apa-apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanitapun ada bagian dari apa yang mereka usahakan...”(Q.S. An-Nisa, 4-32).[17]

Dijelaskan dalam ayat tersebut, bahwa kedua jenis itu sama-sama berhak untuk melakukan pekerjaan yang mendatangkan manfaat dan atau rezeki sesuai usaha masing-masing, namun, diingatkan bahwa pekerjaan dan hasil pekerjaan itu tidak menjadikan dan menimbulkan persaingan negatif/kedengkian diantara mereka (lihat juga Q.S al-Imran:195). Memang Islam menempatkan wanita bukan lah hanya sekedar berputar-putar dalam urusan rumah, suami, dan anak saja. Tetapi wanita diperbolehkan untuk keluar rumah,bekerja mencari rizki bila itu diperlukan. Namun pekerjaan yang dilakukan oleh wanita harus sesuai dengan kondisinya sebagai kaum hawa, Islam tidak melarang semua pekerjaan patut dan boleh dilakukan wanita muslimah, ada batas dan ketentuannya.
 Islam telah telah menempatkan wanita dalam posisi demikian mulia dan dilindungi. Karena itu pekerjaan yang dilakukan oleh wanita benar-benar harus menjamin kemuliaan dan kebahagiaan serta tidak bertolak belakang dengan fitrah dan kodratnya sebagai makhluk yang berbeda dengan pria, baik dari aspek biologis maupun psikologis. Islam juga tidak membatasi wanita untuk tidak memiliki harta dan menggunakannya serta mengolah harta yang dimilikinya sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Hartanya dilindungi hukum dan keluarganya. Siapapun tidak boleh mengganggu harta milikinya. Suaminya wajib membiayai dan menanggung hidupnya selama ia menjadi istrinya. Kaum wanita wajib dibelanjai oleh pihak keluarga lelaki sampai batas tertentu. Dengan kata lain, Islam sangat memuliakan wanita dan melindungi hak-haknya. Mengatur hubungan yang penuh dengan tanggung Jawab antara pria dan wanita.
Derlena May  (1987) dalam Nurdin mengungkapkan, wanita itu memiliki peran-peran yang menimbulkan seperangkat hak dan kewajiban khusus. Seluruh hak dan kewajiban ini disebutkan secara terinci di dalam peraturan-peraturan syariah, hukum yang diwahyukan yang berasal dari prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran yang disebutkan dalam Al-Quran dan diperjelas dalam sunah Nabi. Oleh karena  adanya peran wanita Muslimah itu, maka dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu peran yang dimainkan sebagai anggota umat manusia, peran yang dimainkan sebagai anggota keluarga,  dan perannya sebagai anggota masyarakat.[18]
Dari beberapa uraian di atas, maka dapat dipahami dan diperoleh kejelasan bahwa wanita yang berperan sebagai pekerja di berbagai kegiatan usaha tidaklah dilarang dalam Islam. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang  usaha (positif) baik di dalam maupun di luar rumah. Baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain; di lembaga pemerintah atau swasta, selama pekerjaan itu dilakukan dalam suasana terhormat, sopan serta dapat menjaga agamanya serta menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap dirinya dan keluarganya. Dengan kata lain, Islam tidak melarang wanita memainkan peranannya yakni bekerja, sepanjang pekerjaan itu membutuhkannya dan atau mereka membutuhkan pekerjaan tersebut, dan selam ia tidak mengabaikan peran-peran lain, yang musti ia mainkan; seperti sebagai umat manusia, sebagai anggota keluarga dan sebagai anggota masyarakat. Disamping statusnya sebagai istri yang berkewajiban mengurus dan melayani suaminya serta mengurus dan mendidik anak-anaknya .

Persyaratan-persyaratan Pekerjaan bagi Kaum Wanita dalam Islam
Seperti telah disebutkan, kaum wanita memiliki hak yang sama dengan kaum pria untuk berperan aktif dalam berbagai aktivitas ekonomi di masyarakat mereka. Berikut ini adalah beberapa faktor utama yang menyangkut berbagai pekerjaan bagi kaum wanita :
  1. Kesejahteraan masyarakat. Kaum wanita harus mempelajari lebih dulu akibat-akibat yang mungkin timbul dari pekerjaan tertentu yang berpengaruh pada masyarakat. Apakah pekerjaan itu akan berdampak negatif atau positif? Apakah pekerjaan itu akan memperbaiki kesejahteraan masyarakat, atau justru akan menimbulkan kehancuran moral?
  2. Kesejahteraan keluarga. Karena keluarga dipandang sebagai pondasi kehidupan sosial, maka ia harus selalu sehat dan sejahtera. Jika pekerjaan seorang wanita atau seorang ibu menghancurkan kesehatan dan keharmonisan keluarga serta melemahkan hubungan kasih sayang di antara anggota-anggotanya, maka kaum wanita tidak sepantasnya menyibukkan diri dengan pekerjaan itu.
  3. Kesejahteraan individu. Jumlah pekerjaan harus dipertimbangkan sesuai dengan sejauh mana pengaruhnya bagi mereka. Apakah pekerjaan itu akan mengangkat statusnya dan membantu pertumbuhan mentalnya? Apakah pergaulan dalam lingkungan pekerjaannya menimbulkan kesenjangan dalam pergaulannya dengan anggota-anggota keluarga lainnya? Apakah pekerjaan itu cocok dengan kondisinya atau tidak?
  4. Kemungkinan-kemungkinan dan kekuatan. Dalam menawarkan berbagai pekerjaan kepada orang lain, harus diperhatikan pula siapa yang lebih sesuai dan cocok dengan suatu pekerjaan tertentu. Siapa yang akan membuahkan hasil lebih tinggi, dan siapa yang memiliki kemampuan lebih tinggi? Siapa yang memiliki kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan itu?[19]
Pada umumnya, jika hal-hal di atas diperhatikan, maka hampir setiap pekerjaan apapun bisa diberikan kepada seorang wanita. Hal-hal ini bukanlah hambatan bagi pekerjaannya, melainkan suatu bantuan dan manfaat bagi masyarakat. Jika makna persamaan berarti pembagian tanggung Jawab, dan kaum wanita diharapkan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan  berat seperti kaum pria, maka ini bukan lagi persamaan. Posisi wanita jauh lebih tinggi. Melakukan pekerjaan-pekerjaan tak realistis mengakibatkan timbulnya kehancuran fitrah alami kaum wanita. Harus diingat, bahwa keikutsertaan kaum wanita  dalam aktifitas-aktifitas politik sangatlah penting, bagaimanapun kaum wanita berjumlah  hampir separuh jumlah populasi setiap Negara, dan dapat mengubah nasib sebuah masyarakat menjadi lebih baik atau lebih jelek, begantung pada sejauh mana kesadaran dan partisipasi politik mereka.[20]
Keberanian kaum wanita muslim tidak terbatas pada zaman kini saja. Lembaran-lembaran sejarah mencatat peristiwa-peristiwa heroik wanita-wanita Muslim yang berkepribadian agung. Partisipasi aktif mereka dalam berbagai gerakan politik-keagamaan pada zaman mereka, adalah pelajaran bagi kaum wanita diseluruh dunia, yang mendorong mereka untuk menemukan identitas mereka yang hilang. Satu contoh dari sejarah permulaan Islam adalah Nusaibah yang tinggal di kota Madinah. Dia adalah seorang wanita Anshar. Dia menikah dan mempunyai dua anak laki-laki bernama Amarah dan Abdullah. Namanya pertama kali muncul dalam sejarah, pada Bai’at Aqabah. Disini, orang-orang yang baru masuk Islam menjabat tangan Rasulullah Muhammad Saw. Untuk memberikan Bai’at. Selama upacara ini, enam puluh orang pria dan wanita Anshar memeluk Islam. Nabi Muhammad Saw. –yang sangat menghormati kaum wanita—memasukkan tangannya di sebuah bejana berisi air, kemudian memberikannya kepada kaum wanita, yang selanjutnya melakukan hal serupa. Dibantu oleh orang-orang ini. Suami Nusaibah mencapai kesyahidan dalam perang Badar. [21]    




[1]Fauzie Nurdin, Wanita Islam dan Transformasi Sosial Keagamaan, (Yogyakarta : Gama Media, 2009), hlm. 31; Muhammad Rasyid Ridha, Panggilan Islam terhadap Wanita, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1994), hlm. 3; Depag RI, Al Quran dan Terjemahnya, (Semarang CV. Toha Putra, 1989), hlm. 114. 
[2]Syeed Amir Ali, The Spirit of Islam, (terj. HB Yassin “ Api Islam”, Jakarta : PT Pembangunan, 1967), hlm. 87-122. 
[3]Nurdin, op. cit., hlm. 33; Depag RI, op. cit., hlm. 847. 
[4]Nurdin, ibid., hlm. 35; Depag RI. op. cit., hlm. 435. 
[5]Depag RI, op. cit., hlm. 110. 
[6]Depag RI, ibid., hlm. 673.
[7]Kare Svalastoga, Differensiasi Sosial, (Jakarta : Bina Aksara, 1989), hlm. 20-25; Cholil Mansyur, op. cit., hlm. 135-136.
[8]Jusman Iskandar, Teori Sosial, (Bandung : Puspaga, 2003), hlm. 239.
[9]Nurdin, op. cit., hlm. 53; Depag RI, op. cit., hlm. 123.
[10]Depag RI. ibid., hlm. 946.
[11]Ibid., hlm. 57. 
[12]M. Atho Mudzhar, ‘Kepemimpinan Wanita dalam Perspektif Agama dan Sejarah Islam’ dalam Nursyahbani Katjasungkana, Potret Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm.  24-27. 
[13] Turkamani, op .cit., hlm. 42. 
[14]Ibid., hlm. 44; Depag RI, op. cit., hlm. 122. 
[15]Turkamani, op. cit., hlm. 45-46. 
[16]Ibid. 
[17]Depag RI, loc. cit. 
[18]Nurdin, op. cit., hlm. 48.
 [19]Turkamani, op. cit., hlm. 46-47. 
[20]Affan Gafar, ‘Peran Wanita dari Segi Politik’, dalam Nursyahbani Katjasungkana, op.cit., hlm. 8-13. 
[21]Turkamani, op.cit. h. 48.

Tidak ada komentar: