Senin, 16 Maret 2009

FUNGSI MASJID


oleh Firman Nugraha

Pendahuluan
Keberadaan masjid sebagai suatu institusi peribadatan dalam suatu komunitas muslim merupakan keniscayaan. Namun demikian, keberadaanya belum menampakan suatu fungsi dan perannya yang signifikan dalam pembinaan umat Islam. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kasus masyarakat, bahwa tak jarang masalah- masalah penyakit masyarakat lahir dan besar dari lingkungan yang di dalamnya terdapat sebuah masjid. Dalam perjalanan sejarah Islam, masjid menjadi pusat kegiatan umat Islam, baik dalam aspek pemeberdayaan nilai-niali ibadah mahdloh (mikro) maupun hal-hal yang berhubungan dengan ibadah sosial (ghayr mahdloh— makro). Bahan ajar ini berupaya menampilkan suatu watak masjid yang memuat fungsi dasarnya dalam proses pembinaan umat.


Suatu kesadaran religius telah menjadikan masjid sebagai symbol kebanggaan umat untuk suatu wilayah, dan menjadi symbol perhatian dan penghargaan untuk agama Islam. Namun demikian dalam analisa selanjutnya ditunjukan bahwa keberadaanya belum menyentuh seluruh aspek kehidupan umat Islam pada umumnya. Jadi sederhanannya, masjid baru berperan sebagai tempat peribadatan ritual formal belaka. Semestinya seperti yang ditunjukan dari pemaknaan kata masjid sendiri sebagai tempat berserah diri, tunduk kepada Allah, maka disitu tersimpan makna yang lebih luas lagi, untuk seluruh kegiatan yang mengandung ketundukan kepadaNya maka disitulah tempatnya.

Berangkat dari pemahaman demikian, maka keberadaan masjid dapat menjadi ukuran idealitas suatu masyarakat yang berperadaban dengan menjadikan masjid sebagai sumber inspirasi dan pusat aktivitas baik sosial maupun ritual.[1] Sementara itu, deskripsi yang diberikan Rukmana memperlihatkan suatu realita yang paradoks di tengah mesyarakat kita. Bahwa keberadaan masjid sejatinya masih belum mampu menyentuh aspek kebutuhan umat yang lebih luas lagi. Maka ironis jika di sekitar masjid harus bertebaran kehidupan yang jauh dari nilai ke-Illahiah-an.[2]
Permasalahan inilah yang akan menjadi pembahasan utama dalam tulisan sederhana ini yaitu merekontruksi peran dan fungsi masjid sebagai tempat pembinaan dan pelayanan umat pada umumnya. Untuk itu, maka penting merujuk kembali ke sejarah pembentukan masjid yang pertama di masa nabi dulu, untuk dihadirkan kembali mengenai spiritnya agar masjid masa kini mewarisi semangat kerasulan di generasi awal.
B. Rekonstruksi Peran Dan Fungsi Masjid Dalam Pembinaan Umat
1. Menelisik bangunan makna Masjid
Masjid adalah institusi yang inheren dengan masyarakat Islam. Keberadaannya dapat menjadi ciri bahwa disitu tinggal komunitas muslim. Masjid, pada umumnya terlepas dari keragaman bentuk dan ukuran besar atau kecilnya menjadi kebutuhan yang mutlak bagi umat Islam sebagai tempat untuk menemukan kembali suasana religius yang menjadi simbol keterikatan warga muslim tersebut satu sama lainnya.
Penamaan masjid itu sendiri sebagai suatu institusi dalam pranata religius Islam diambil dari bahsa aslinya (Arab) yaitu dari sajada-sujud yang berarti patuh taat serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim.[3] Dan masjid dimaknai sebagai tempat bersujud. Maka dalam pengertian ini sejalan dengan penjelasan Allah dalam alQuran tidaklah ada aktivitas lain yang semestinya dilakukan selain mengandung unsur kepatuhan dan ketaatan kepadaNya.[4]
Di Indonesia, penamaan masjid juga menggunakan istilah-istilah lokal yang lebih akrab dengan pemahaman masyarakat daerah. Di Sunda, misalnya, akrab dengan sebutan masigit, atau tajug. Di beberapa daerah lain dikenal dengan langgar, musholla, atau surau. Keragaman penamaan ini tidaklah mengurangi kedudukannya sebagai institusi peribadatan.[5] Pembangunan masjid yang pertama, dalam maksud masjid sebagai wahana berkumpulnya umat Islam generasi awal untuk menyelesaikan segenap permasalahan, tidak terlepas dari peristiwa penting dalam titik balik sejarah umat Islam, yaitu hijrah.[6] Hijrah rasul beserta umat Islam ke Madinah untuk menghindari dari kondisi yang tidak mendukung saat itu terhadap dakwah Islam membawa implikasi yang luas bagi kehidupan agama Islam ini selanjutnya. Di antara implikasi itu ialah berdirinya institusi Islam yang menjadi pusat kegiatan umat yaitu Nabawi. Sebelum mendirikan bangunan-bangunan lain Nabawi inilah yang pertama kali didirikan nabi. Di masjid ini, nabi,menyelesaikan segenap persoalan umat dewasa itu baik untuk persoalan horizontal maupun vertikal. Termasuk di dalamnya menyangkut kebijakan-kebijakan politik dan militer untuk membela agama Allah.
2. Unsur-unsur Masjid dan Kelengkapan Masjid
Pada prinsipnya, konsep masjid terbangun dari beberapa unsur antara lain:
a. Mengacu kepada suatu objek, tempat atau bangunan yang secara khusus dinamakan demikian.
b. Adanya komunitas masyarakat yang menggunakan tempat, objek, atau bangunan tersebut untuk kegiatan keagamaan (Islam).
c. Adanya kegiatan keagamaan.
Adapun kelengkapan masjid untuk mampu memenuhi kebutuhan umat, idealnya sebagimana yang diungkapkan oleh Rukmana ialah:
Ruang ibadah (utama)
Ruang ibadah adalah ruangan inti sebagai tempat melaksanaan ibadah ritual formal (sholat) keberadaan ruangan ini harus memadai dengan jumlah jemaah yang dibina.
Sarana Publik (Penunjang)
Untuk menunjang pengoptimalan pelayanan terhadap umat (jemaah) perlu dibangun untuk umum antara lain:
1. Areal parkir yang luas.
2. Tempat wudlu dan WC terpisah untuk pria dan wanita
3. Meeting room sebagai ruang serba guna.
4. Ruang khusus wanita
5. Perpustakaan
6. Ruang poliklinik
7. Ruang untuk aktifitas belajar
8. Penitipan barang
Sarana Penunjang Kerja Pegawai
Untuk melancarkan kerja para pengeloa masjid perlu dilengkapi dengan beberapa fasilitas kerja antara lain:
1. Ruang kantor
2. Satu perangkat komputer.
3. Tiga set meja kerja.
4. Ruang tamu
5. Satu set kursi tamu.
6. Lemari arsip
7. Lemari kayu
8. Papan informasi
9. Radio karaoke
10. Pesawat telepon sebagai sarana komunikasi.
11. Kendaraan
Sarana Pelengkap public
1. Peminjaman alat ibadah
2. Kotak amal
3. Mading
2. Klasifikasi Masjid
Berdasarkan hubungan keberadaan masjid dengan lingkungannya, menurut Fachrurozy dapat dikategorikan ke dalam beberapa level. Diantaranya ialah, masjid di pedesaan, masjid kampus, masjid di pusat kota, masjid di perkantoran, masjid di tempat perbelanjaan dan masjid wisata. Keragaman level masjid ini tidak terlepas dari kondisi masyarakat muslim sendiri yang kian dinamis.[7]
Masjid Jami’
Masjid jami atau masjid di pedesaan mencerminkan kehidupan masyarakat pedesaan yang homogen. Secara harfiah, jami’ artinya berkumpul, maka dari makna ini merujuk kepada keadaan masyarakat desa yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan keagamaan. Masjid jami’ ini, selain bercirikan dari karakter masyarakat yang demikian, juga dilihat dari kepengurusannya yang belum baik, serta pendanaan yang relatif tidak stabil.
Masjid Wisata
Masjid wisata adalah masjid yang dengan sengaja dibangun untuk kepentingan itu, atau dibangun di daerah wisata. Keduanya berbeda. Jika dari awal masjid tersebut diproyeksikan untuk menjadi pusat kunjungan wisata, maka keberadaanya menjadi pioner dalam pengembangan pola jemaah yang dibinanya. Contoh model masjid wisata ini ialah masjid At Ta’awun di Puncak.
Ciri umum masjid dengan konsep ini ialah kondisi jemaah yang heterogen dan tidak terukur, namun dari aspek pembiayaan kegiatan relatif stabil dan mudah diperoleh, kemudian dari kepengurusan masjid relatif stabil dan teratur karena tentu dikelola dengan baik.
Masjid Instansi
Masjid instansi adalah masjid yang ada di lokasi perkantoran, ide awal pembangunan masjid model ini ialah untuk memfasilitasi para karyawan dalam melaksanakan ibadah formal. Ciri lainnya adalah dari aspek kepengurusan relatif stabil, namun masih diwarnai perilaku birokrasi. Dari aspek pendanaan relatif mudah diperoleh.
Masjid Pusat Kota
Masjid di pusat kota (kaum) merupakan mejid utama dalam penyangga aspek-aspek spiritual dan sosial masyarakat yang ada di sekitarnya. Konsep masjid kaum ini, jika melihat pada perjalanan sejarah Islam lokal, juga merupakan symbol pemerintahan dan keberagamaan. Masjid model ini biasanya dibangun berdekatan dengan pusat pemerintahan, contoh kongkritnya ialah masjid besar atau masjid raya.
Masjid Kampus
Sebagaimana halnya masjid instansi, demikian pula dengan masjid kampus. Didirikan untuk memfasilitasi kepentingan para siswa/mahasiswa muslim dalam melaksanakan kegiatan ibadah formalnya.
3. Rekontruksi Fungsi-fungsi Masjid
Mengenai fungsi masjid, kita dapat merujuknya kepada sumber otoritas ajaran yakni al Quran dan amal rasul, yang menunjukan bagaimana sesungguhnya pola penggunaan masjid itu. Dari sumber pertama, yang diungkapkan dalam QS. An Nuur ayat 36-37 berikut:
Artinya : 36. Bertasbih kepada Allah di masjid- masjid yang Telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang,
37. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.
Dari kutipan ayat di atas, secara tegas dinyatakan bahwa masjid merupakan tempat untuk memuliakan Nama Allah dengan berdzikir, shalat, serta menunaikan zakat. Kegiatan ini lebih merujuk kepada suatu konsep kegiatan ibadah secara vertical (mahdloh). Namun jika mengingat bahwa masjid merupakan rumah Allah, dan pemiliknya adalah Allah terlepas dari bentuk dan pendiriannya, maka sesungguhnya segenap aktivitas manusia yang pada prinsipnya adalah ibadah dimulai dari masjid, dan juga bermuara kepada masjid, serta akhirnya juga kembalinya ke masjid. Prinsip ini merupakan hakikat dari bahwa sesungguhnya manusia adalah hamba-Nya.
Artinya : 18. Dan Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. (QS. Jin [72] :18).
Adapun dari amal rasul kita mendapatkan bahwa di masanya, masjid selain sebagai tempat untuk menunaikan ibadah mahdloh seperti diungkapkan ayat diatas, juga merupakan pusat kegiatan umat pada umumnya, baik itu menyangkut ibadah formal juga muamalah (horizontal). Harun Nasution (2000: 248). menjelaskan bahwa di masa awal perjalanan sejarah Islam, masjid oleh Nabi Muhammad dan umat Islam digunakan untuk melakukan ibadah shalat, tempat tinggal ahl al shuffah, juga tempat tinggal Nabi Muhammad dan keluarga.Dan seiring perkembangan umat Islam, maka fungsi masjid di Madina bertambah sebagai tempat Nabi Muhammad mengatur strategi dalam ketatanegaraan dan pemerintahan, menyampaikan pidato-pidato, juga memutuskan perkara peradilan. Sementara itu Quraish Shihab (2000: 462) merinci fungsi-fungsi masjid di masa Nabi Muhammad sebagai berikut:
1. Tempat ibadah (shalat, zikir).
2. Tempat konsultasi dan komunikasi persoalan ekonomi, sosial dan budaya.
3. Tempat melangsungkan kegiatan pendidikan umat.
4. Tempat melakukan santunan terhadap fakir miskin (sosial).
5. Tempat latihan militer serta mempersiapkan perlengkapannya.
6. Tempat pengobatan korban peperangan.
7. Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa.
8. Aula dan tempat menerima tamu.
9. Tempat menawan tahanan, dan
10. Pusat penerangan dan pembelaan agama.
Berangkat dari aneka pendapat serta rujukan formal di atas, maka fungsi masjid pada umumnya meliputi:
Fungsi Ibadah
Fungsi ini merupakan fungsi dasar masjid. Sebab sebagaimana yang diamanatkan dalam kutipanayat sebelumnya (Q.S. an Nuur: 36-37) masjid tempat mengingat Allah. Fungsi dasar ini menjadikan masjid sebagai tempat untuk melakukan ritual formal keagamaan, seperti shalat lima waktu, shalat jumat, termasuk melaksanakan shalat tarawih dan ied.
Fungsi Sosial
Bermula dari pelaksanaan shalat berjamaah, penunaian zakat, maka disitulah benih pembentukan komunitas Islam yang kuat terbentuk. Dan, salah satu hikmah dari berjamaah memang untuk menghubungkan antar pribadi muslim dengan lainnya sehingga tertanam rasa keterikatan yang kuat berdasarkan prinsip tawhid, bukan atas nama simbol golongan atau lainnya.
Dengan demikian maka berarti pula bahwa masjid menjadi basis pembentukan umatan wahidah dalam konteks tawhid (Islam). Konsep fungsi masjid yang demikian telah dicontohkan oleh rasulullah dalam membentuk masyarakat muslim Madinah. Rasul memulainya dari Quba dan menjadikannya sebagai pusat kunjungan umat Islam saat itu, apalagi rasul tinggal di salahsatu kamar yang ada di Quba.
Suatu harapan baru, di tengah-tengah kondisi masyarakat yang semakin kompetitif dan plural, untuk membangun masyarakat yang ideal dengan berbasis kemasjidan. Dan itu berarti merupakan tantangan ulang untuk merekonstruksi fungsi sosial kemasyarakatannya ini agar lebih akrab dalam wawasan jemaah.
Fungsi Ekonomi
Masyarakat tanpa aktivitas adalah masyarakat yang mati. Salah satu aktifitas terpentingnya ialah dalam tataran muamalah (ekonomi). Ketika masjid menjadi basis pembentukan umat yang tumbuh dan berkembang dengan konsep tawhid, maka setiap aktifitas menjadi bagian integral dalam wacana rekonstruksi peran dan fungsi masjid ini. Termasuk di dalamnya ialah menjadikan masjid sebagai pusat pembinaan perekonomian masyarakat.
Namun demikian, terdapat tantangan mitos, bahwa masjid semata-mata untuk melakukan ibadah ritual formal, dan itu berarti menutup kemungkinan konsep bentuk ibadah secara makro (ghayr mahdloh). Namun demikian, sebagai promoter perubahan masyarakat menuju konsep masyarakat yang bertawhid, apakah akan mematikan konsep tersebut dengan mitos belaka? Bahwa kemungkinan yang terjadi adalah kekeliruan dalam memahami dan menafsirkan teks-teks yang telah dianggap mapan dan tidak boleh dirubah atau berubah. Kekeliruan ini niscaya menjauhkan identitas muslim dari pranata pemersatunya. Dan akhirnya menjadikan mereka terkotak-kotak pada golongan atau kepentingan tertentu.
Maka menempatkan kembali masjid sebagai basis pertumbuhan budaya dan aktifitas sosial yang bertawhid adalah mutlak.
Fungsi Pendidikan
Fungsi pendidikan dari masjid setidaknya dapat dipetakan ke dalam dua tipe. Pertama melalui pembiasaan. Pembiasaan dari aktifitas ritual formal yang dilakukan secara berjamaah dan konsisten dengan ketentuan-ketentuannya baik dari aspek waktu maupun ketentuan hukumnya, itulah pendidikan dasar yang ditanamkan dalam pembentukan umat yang bertawhid. Kedua, sejatinya masjid memang dapat dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan ajaran Islam dari para ulama.
Fakta sejarah menunjukan bahwa di masa keemasan Islam, pusat-pusat pendidikan adalah masjid, seperti Bait Al Hikmah di masa al Mamun, atau bahkan universitas Islam tertua yang masih eksis hingga sekarang semenjak bani Fatimiyah yaitu al Azhar, mulanya adalah sebuah masjid.
Fungsi Dakwah
Fungsi dakwah bagi masjid memiliki relevansi dengan fungsi pendidikan. Namun demikian fungsi dakwah ini lebih luas lagi meliputi segenap aktifitas keberagamaan baik melalui transmisi, transformasi dan internalisasi ajaran untuk membentuk masyarakat yang bersendikan ajaran Islam. Pemahaman ini berangkat dari pengertian dakwah itu sendiri yang secara filosofis berarti segenap upaya (bi ahsani qawl dan bi ahsani amal—ucapan dan tindakan) untuk memanusiakan manusia seutuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip keIslaman. Dalam sejarah Islam, nabi menjadikan Quba sebagai basis dakwahnya. Dari situ sementara terus melakukan pembinaan internal umat beliau juga mulai mengutus shabatnya untuk menyebarkan risalah Islam ke seluruh pelosok bumi.
4. Prasyarat Mendudukan Kembali Fungsi Masjid Seutuhnya
Dipahami bahwa tidak mudah untuk mendudukan kembali fungsi-fungsi masjid tersebut secara utuh dan menampung kepentingan pertumbuhan masyarakat yang dinami namun masih dalam koridor kaidah keIslaman. Tantangan ini terutama karena telah dibungkusnya konsep- konsep mengenainya dengan mitos-mitos.
Analisis Masalah Umum Dalam Pengelolaan Masjid
Tampaknya sudah menjadi suatu fenomena yang biasa, bahwa dalam proses pembangunan masjid senantiasa melibatkan sikap emosional yang dalam baik atas nama agama maupun atas nama peradaban. Masjid dibangun dengan seindah mungkin mewakili konsepsi ide pembangunnya. Meskipun untuk itu harus mengumpulkan dan secara ’kasar’ dalam term Fachrurozy.[8] Kasar maksudnya ialah ketika kondisi sosio ekonomi umat yang membangunnya sebetulnya tidak sanggup untuk mendirikan masjid dengan gaya yang terlalu megah, namun demikian ia beranggapan bahwa kewajiban mendirikan masjid adalah kewajiban komunal, akhirnya melahirkan ide untuk mengais rezeki recehan’ di pinggir jalan. Ini sama sekali tidak baik. Namun lebih tidak baik lagi ketika proses memakmurannya terlantar, karena mitos-mitos yang membelenggunya, atau karena tendensi kecendrungan golongan.
Untuk kasus kecendrungan golongan, misalnya jika dalam suatu komunitas masyarakat terdiri dari beberapa suplemen organisasi keIslaman, dan ia dianggap sebagai ’pemilik’ masjid tersebut, maka anggota komunitas masyarakat lainnya akan enggan untuk turut terlibat dalam proses ta’mir masjid. Sedangkan dari aspek mitos-mitos antara lain: mitos pertama, dengan adanya term masjid adalah bayt ul Lah, maka dengan demikian Allah pemegang otoritas untuk menjaga dan memeliharanya sedangkan manusia hanya mendirikannya. Tentu saja konsep ini keliru. Sebab term rumah Allah bukan menjadi secara otomatis berarti demikian, namun lebih menunjukan bahwa tidak boleh adanya klaim, kepemilikian atas nama golongan tertentu sebab sebagaimana dalam salah satu fungsinya yaitu untuk merekat kehidupan bermasyarakat dengan sendi dasar tawhid.
Mitos kedua adalah adanya larangan melakukan aktifitas lain di luar konsep ibadah (ritual formal). Konsep demikian amat banyak berkembang dalam lapisan masyarakat Islam tertentu. Namun demikian, seperti dikemukakan dalam pembahasan awal, bahwa aktifitas lain yaitu ibadah secara makro (ghayr mahdloh) merupakan bagian dari konsep ketundukan dan kepatuhan (sujud) kepadaNya. Mitos ketiga, bahwa aktifitas pengelolaan masjid tidak memberikan keuntungan secara material. Sebetulnya tidak demikian, lihat misalnya aktifitas pengelolaan secara profesional di masjid Raya, Istiqlal, atau MERCI dan At Ta’awun. Untuk tipe masjid demikian bagi para pengelolanya diseleksi secara selektif dan menggunakan asas-asas manajemen modern dan mereka dibayar dengan layak. Sebab mereka adalah para karyawan yang digaji dari pendapatan masjid. Pendapatan secara material juga diperoleh dengan memfungsikan masjid pada fungsi ekonominya.
Analisis Potensi Umat
Jika melihat dari aspek kuantitas, maka sejatinya itu adalah sesuatu yang potensial untuk membangun umat ini dengan lebih baik lagi terutama dengan berbasis kemasjidan. Kemudian setelah melakukan analisa umum di atas, maka diketahui bahwa semangat untuk back to masjid sesungguhnya masih besar. Dan itu, adalah potensi umat. Kemudian ditinjau dari aspek perekonomian umat Islam, tidaklah semuanya berada di bawah garis kemisikinan (poverty line) hanya yang mesti dilakukan adalah memberikan dan menanamkan keyakinan pentingnya untuk menyadari bahwa di antara harta mereka terdapat hak orang lain.
Kemudian ditinjau dari segi pendidikan, maka sudah layak untuk mulai mengelola masjid dengan baik dan profesional. Para sarjana di bidang keagamaan dan manajemen pada umat Islam amatlah banyak dan itu adalah potensi umat.
Struktur Pengelolaan Masjid
Sebagaimana dimaklumi, bahwa tuntutan era modern adalah kerja yang tersetruktur dan memiliki konsep manajerial yang jelas. Dengan demikian, begitu pula halnya dalam upaya merekonstruksi fungsi masjid seutuhnya maka aspek pengelolaannya mesti menerapkan onsep manajemen yang benar. Dan itu berarti memiliki struktur yang jelas dan masing-masing bidang bertanggungjawab untuk memenuhi tugas pokok dan fungsinya dengan baik.
Pandangan ini dalam penilaian Fachrurozy adalah suatu konsep masjid yang merdeka. Merdeka dari persoalan-persoalan klasik dalam penanganan pengelolaan masjid yang mampu melaksanakan imaratul masajid. Menjadikan masjid yang demikian, menurut Qordhowy, memerlukan tahap-tahap sebagai berikut:
a. Perencanaan yang matang
b. Mempersiapkan sumberdaya insani yang berkualitas dan menempatkannya secara tepat.
c. Memfungsikan asset sebaik-baiknya
d. Koordinasi dengan sektor produksi.
e. Mengembangkan kekayaan finansial.

C. Kesimpulan
Dari paparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa masjid pada hakikatnya adalah objek yang mengacu pada konsep ketundukan dan kepatuhan kepada Allah Swt. Dengan demikian segala aktifitas (dalam lingkup agama) jika mengandung muatan tersebut adalah boleh. Dan ini berarti menolak sebagaian asumsi yang menyatakan bahwa asjid semata-mata merupakan sarana ibadah dalam tatara mashdloh belaka.
Fungsi masjid secara prinsip adalah tempat ibadah baik secara mikro (madloh) maupun makro (ghayr mahdloh). Dari konsep ini pula maka fungsi masjid dikembangkan meliputi, fungsi dakwah, pendidikan, ibadah, sosial, dan ekonomi. Adapun dintinjau dari hubungannya dengan lingkungan, masjid diklasifikasikan ke beberapa level, yaitu masjid jami’, masjid di pusat perkotaan, masjid wisata, masjid kampus dan masjid instansi.
Untuk menempatkan kembali fungsi masjid yang demikian, maka perlu adanya wawasan pemahaman mengenai kondisi umat dengan segala tantangan dan problematikanya, kemudian memiliki data analisa potensi umat untuk mampu mengambil strategi yang tepat dalam pengelolaan yang terstruktur.

Sumber Rujukan
M. Quraish shihab, 2001. Wawasan Al Quran, Bandung: Mizan.
Faruqi, Ismail R., dan Lamya. 1998. Atlas Budaya Islam (terjemahan dari The Cultural Atlas of Islam). Bandung: Mizan.
Harahap, Sopyan Syapri. 2001. Manajemen Masjid. Yogyakarta: Dhana Bhakti Prima Yasa.
M.E. Ayub. 1996. Manajemen Masjid Petunjuk Praktis Bagi Pengurus. Jakarta: Gema Insani Press.
Moch. Fakhrurozy dan Bahrun Rifa’i. 2005. Manajemen Masjid. Bandung: Benang Merah Press.
Nana Rukmana. 2002. Masjid dan Dakwah. Jakarta: AlMawardi Prima.
Nasution, Harun. 2000. Islam Rasional. Bandung: Mizan.
Sidi Gazalba. 1994. Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Alhusna.
Supardi dan Teuku Amarudin. 2001. Manajemen Masjid dalam Pembangunan: Optimalisasi Peran dan Fungsi Masjid. Yogyakarta: UII Press.

[1] Sidi Gazalba ³ Mesjid pusat kebudayaan umat Islam´ Jakarta: Pustaka Alhusna.
[2] Menyikapi hal ini tampaknya pemerintah Daerah Jawa Barat melalui pemerintahan Kota Bandung dan Kab. Sumedang berinisiatif mendirikan mesjid Raya Ciromed dan Nyalindung di Sumedang dan mesjid At Taubah di lokasi Saritem. Masing- masing daerah tersebut sebelumnya merupakan basis G-Spot, sebagai titik hitam dalam kehidupan masyarakat muslim. Dengan didirkannya mesjid diharapkan mampu memberikan iklim positif dan akan mengubah warna citra daerah tersebut .
[3] Quraish Shihab, Wawasan Al Quran, Bandung: Mizan, 2001. Hlm. 459.
[4] QS. Al Jinn [72]: 18 yang artinya ³Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, karena itu janganlah menyembah selain Allah sesuatupun´ dari penjelasan inipula dapat dipahami bahwa kepemilikan masjid itu ketika selesai didirikan secara otomatis menjadi milik Allah karena itu maka masjid sering pula disebut sebagai rumah Allah (Bayt u llah).
[5] Penamaan tersebut memang lebih bersifat melokal. Namun demikian dalam analisis bahasa terdapat perbedaan pemaknaan juga antara masing-masing pembagian nama tersebut. Di sunda misalnya, masigit itu lebih diperuntukan masjid dengan ukuran yang besar dan biasa dipakai solat jumat, sedangkan tajug untuk mesjid ukuran kecil dan tidak pernah untuk melaksanakan solat jumat.
Adapaun dengan istilah surau, nama ini biasanya lekat dalam kultur Sumatra (Minang) yang dalam makna asalnya merupakan suatu bangunan khusus dari suatu komunitas (saparuik) suku sebagai kepemilikan bersama, tempat para pemuda dan lelaki dewasa untuk aktivitas keagamaan dan sosial. Dengan masuknya Islam, pranata kultural ini lebih melekat dengan konsep mesjid. Boleh jadi ini merupakan buah dari akultuarsi yang positif antara islam dengan adat lokal. Sedangkan yang dimaksud dengan langgar, yaitu merupakan institusi keagamaan yang lebih lekat dengan keluarga, jadi lebih kecil lagi, jika di Sunda mungkin identik dengan tajug.
Sedangkan penamaan dengan mushola diambil dari realitas bahwa mesid pada umumnya adalah tempat sholat.
[6] Hijrah umat islam, dalam sejarah dicatat terjadi dua kali. Pertama hijrah ke Ethiopia dengan meminta perlindungan ke Negus (raja) yang saat itu pemeluk Nasrani dari tekanan kafir Quraisy. Pada hijrah pertama ini hanya beberapa orang yang hijrah dan nabi sendiri masih tetap tinggal di Mekkah. Sedangkan hijrah kedua yaitu ke Yatsrib (Madinah) dengan melalui tahapan-tahapan musyawarah dan persiapan yang matang. Hijrah kedua ini terjadi ketika tekanan kaum Kafir Quraisy semakin kuat setelah tiadanya dua tokoh pelindung yang kuat dalam klan Quraisy yaitu sang paman Abi Thalib dan istri beliau Khadijah.
[7] Bachrun Rifa’i dan Moch. Fachrurozy, Manajemen Masjid. Bandung: Benang Merah Press 2005. Mengenai stratifikasi seperti ini dapat dilihat juga dalam analisis Nana Rukmana dalam ³ Mesjid dan Dakwah´.
[8] Op. Cit Hlm. 15

1 komentar:

DKM Al Mubarak Pangranggo mengatakan...

assamualaikum wr wb pk ust ngiring copas deui.htr nhn