Senin, 18 Oktober 2010

FUNGSI MESJID RAYA CIROMED SUMEDANG DALAM PERUBAHAN SOSIAL

oleh Firman Nugraha

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Merujuk Max Weber (1864 – 1920), agama berjasa melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia. Pernyataan Weber ini dalam konteks Islam sangat relevan. Islam semenjak di syi’arkan oleh Nabi Muhammad mendapat pengakuan yang mendunia telah mampu membawa perubahan dalam konteks sosial umat manusia dalam sejarah peradabannya. Dalam hal ini misalnya Michael Hart menempatkan Muhammad sebagai sosok nomor satu dalam tokoh yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia.


Islam memulai perubahan itu dari perjalanan keyakinan, yang secara historis dilembagakan melalui Masjid. Keberadaan Masjid bagi umat Islam adalah keniscayaan. Pada masa Rasulullah saw., keberadaan masjid memiliki beragam fungsi. Selain dipakai sebagai tempat ibadah ritual seperti shalat fardlu berjamaah, tarawih, dzikir dan berdoa, masjid pun digunakan sebagai majelis ilmu, musyawarah, peradilan, mengatur strategi perang, merawat korban perang dan menerima tamu-tamu kenegaraan. Jadi setidaknya masjid memiliki fungsi ganda yang seyogianya dipadukan, yakni fungsi ritual keagamaan dan fungsi sosial kemasyarakatan.

Demikian pentingnya fungsi masjid dalam penataan kehidupan umat Islam, sehingga dalam sejarah hijrah diungkapkan, bahwa sesampainya Rasulullah saw. dan rombongan di Madinah, maka yang pertama kali dilakukan adalah mencari lahan untuk membangun masjid. Setelah mendapatkan tempat yang layak, dengan cara gotong royong mereka membangun masjid dalam bentuk yang sangat sederhana, yaitu tiang dan atapnya dari pohon dan pelepah korma dengan berlantaikan tanah. Sekalipun demikian, fungsi masjid cukup dominan dalam pengembangan syiar dakwah Islam pada masa itu, hingga dapat menjangkau seluruh pelosok Jazirah Arabia. Berkenaan dengan ini, Muhammad Al-Ghazally mengatakan, bahwa masjid menjadi asas pembangunan masyarakat baru di Madinah yang berfungsi untuk memperkokoh hubungan umat Islam dengan Tuhannya.

Dengan demikian, kehidupan yang hendak dibangun oleh Islam adalah yang bersendikan nilai-nilai masjid. Artinya kehidupan yang bersendikan Tauhidullah dan bernafaskan ibadah hanya kepada Allah SWT. Kehidupan umat Islam yang tidak lepas dari keimanan dan ketakwaan. Kehidupan yang dapat memadukan aspek ukhrawi dan duniawi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tampak jelas bahwa Masjid dalam satu perannya merupakan agen dari perubahan sosial. Berangkat dari itu pula maka penulis tertarik untuk mengkaji keberadaan Masjid dalam hal ini Mesjid Raya Ciromed Sumedang (MERCI) dan kontribusinya pada perubahan sosial bagi masyatakat sekitarnya.

B. Perumusan Masalah
Bagaimanakah fungsi MERCI dalam perubahan sosial masyarakat Ciromed Kecamatan Tanjungsari Sumedang?

C. Tujuan Penulisan
Kajian ini betujuan untuk mengetahui fungsi MERCI dalam perubahan sosial masyarakat Ciromed Kecamatan Tanjungsari Sumedang.

D. Manfaat Kajian
Hasil Kajian ini diharapkan bermanfaat pada:
1. Akademis
Secara akademis diharapkan menambah wawasan kelimuan pada bidang keMasjidan dan sosial yang semakin berkembang.
2. Kelembagaan
Secara kelembagaan diharapkan menjadi bahan pemikiran untuk memantapkan progran dan desain kediklatan yang mampu mencetak pembina kemasjidan berwawasan sosiologis.

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
A. Landasan Teori
1. Masjid
a. Pengertian Masjid
Masjid adalah institusi yang inheren dengan masyarakat Islam. Keberadaannya dapat menjadi ciri bahwa disitu tinggal komunitas muslim. Masjid, pada umumnya terlepas dari keragaman bentuk dan ukuran besar atau kecilnya menjadi kebutuhan yang mutlak bagi umat Islam sebagai tempat untuk menemukan kembali suasana religius yang menjadi simbol keterikatan warga muslim tersebut satu sama lainnya.
Penamaan Masjid itu sendiri sebagai suatu institusi dalam pranata religius Islam diambil dari bahsa aslinya (Arab) yaitu dari sajada-sujud yang berarti patuh taat serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim. Dan Masjid dimaknai sebagai tempat bersujud. Pemaknaan ini sejalan dengan fungsi utama Masjid sebagai tempat bersujud (yaitu dalam sholat) yang dilakukan oleh umat Islam.

Sementara itu Al Faruqi menegaskan bahwa Masjid bagaimanapun ukurannya, ornamennya, termasuk di manapun lokasinya secara fungsi sama saja yaitu untuk beribadah. Dan dari aspek kepemilikannya, begitu Masjid tersebut didirikannya maka sekaligus bukan milik manusia, sebagaimana makna harfiahnya sebagai ”rumah Allah” bukan saja dianggap benar dalam makna kiasnya melainkan juga dari aspek hukum. Maka dalam pengertian ini sejalan dengan penjelasan Allah dalam al Quran tidaklah ada aktivitas lain yang semestinya dilakukan selain mengandung unsur kepatuhan dan ketaatan kepadaNya.

Di Indonesia, penamaan Masjid juga menggunakan istilah-istilah lokal yang lebih akrab dengan pemahaman masyarakat daerah. Di Sunda, misalnya, akrab dengan sebutan masigit, atau tajug. Di beberapa daerah lain dikenal dengan langgar, musholla, atau surau. Keragaman penamaan ini tidaklah mengurangi kedudukannya sebagai institusi peribadatan. Pembangunan Masjid yang pertama, dalam maksud Masjid sebagai wahana berkumpulnya umat Islam generasi awal untuk menyelesaikan segenap permasalahan, tidak terlepas dari peristiwa penting dalam titik balik sejarah umat Islam, yaitu hijrah. Hijrah rasul beserta umat Islam ke Madinah untuk menghindari dari kondisi yang tidak mendukung saat itu terhadap dakwah Islam membawa implikasi yang luas bagi kehidupan agama Islam ini selanjutnya. Di antara implikasi itu ialah berdirinya institusi Islam yang menjadi pusat kegiatan umat yaitu Nabawi. Sebelum mendirikan bangunan-bangunan lain Nabawi inilah yang pertama kali didirikan nabi. Di Masjid ini, nabi menyelesaikan segenap persoalan umat dewasa itu baik untuk persoalan horizontal maupun vertikal. Termasuk di dalamnya menyangkut kebijakan-kebijakan politik dan militer untuk membela agama Allah.

b. Klasifikasi Masjid
Berdasarkan hubungan keberadaan Masjid dengan lingkungannya, menurut Fachrurozy dapat dikategorikan ke dalam beberapa level. Diantaranya ialah, Masjid di pedesaan, Masjid kampus, Masjid di pusat kota, Masjid di perkantoran, Masjid di tempat perbelanjaan dan Masjid wisata. Keragaman level Masjid ini tidak terlepas dari kondisi masyarakat muslim sendiri yang kian dinamis.
1) Masjid Jami’
Masjid jami’ atau Masjid di pedesaan mencerminkan kehidupan masyarakat pedesaan yang homogen. Secara harfiah, jami’ artinya berkumpul, maka dari makna ini merujuk kepada keadaan masyarakat desa yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan keagamaan. Masjid jami’ ini, selain bercirikan dari karakter masyarakat yang demikian, juga dilihat dari kepengurusannya yang belum baik, serta pendanaan yang relatif tidak stabil.

2) Masjid Wisata
Masjid wisata adalah Masjid yang dengan sengaja dibangun untuk kepentingan itu, atau dibangun di daerah wisata. Keduanya berbeda. Jika dari awal Masjid tersebut diproyeksikan untuk menjadi pusat kunjungan wisata, maka keberadaanya menjadi pioner dalam pengembangan pola jemaah yang dibinanya. Contoh model Masjid wisata ini ialah Masjid At Ta’awun di Puncak. Ciri umum Masjid dengan konsep ini ialah kondisi jemaah yang heterogen dan tidak terukur, namun dari aspek pembiayaan kegiatan relatif stabil dan mudah diperoleh, kemudian dari kepengurusan Masjid relatif stabil dan teratur karena tentu dikelola dengan baik.

3) Masjid Instansi
Masjid instansi adalah Masjid yang ada di lokasi perkantoran, ide awal pembangunan Masjid model ini ialah untuk memfasilitasi para karyawan dalam melaksanakan ibadah formal. Ciri lainnya adalah dari aspek kepengurusan relatif stabil, namun masih diwarnai perilaku birokrasi. Dari aspek pendanaan relatif mudah diperoleh.

4) Masjid Pusat Kota
Masjid di pusat kota (kaum) merupakan mejid utama dalam penyangga aspek-aspek spiritual dan sosial masyarakat yang ada di sekitarnya. Konsep Masjid kaum ini, jika melihat pada perjalanan sejarah Islam lokal, juga merupakan symbol pemerintahan dan keberagamaan. Masjid model ini biasanya dibangun berdekatan dengan pusat pemerintahan, contoh kongkritnya ialah Masjid besar atau Masjid raya.

5) Masjid Kampus
Sebagaimana halnya Masjid instansi, demikian pula dengan Masjid kampus. Didirikan untuk memfasilitasi kepentingan para siswa/mahasiswa muslim dalam melaksanakan kegiatan ibadah formalnya.

Sementara itu dalam pespektif pemerintah, Masjid distraifikasikan menjadi lima level. Pertama Masjid nasional dalam hal ini di Indonesia adalah istiqlal Jakarta. Untuk tingkat propinsi disebut dengan Masjid Raya, tingkat kabupaten disebut denga Masjid Agung, tingkat kecamatan disebut dengan Masjid Besar dan tingkat desa disebut dengan Masjid Jami.

c. Fungsi-fungsi Masjid
Mengenai fungsi Masjid, kita dapat merujuknya kepada sumber otoritas ajaran yakni al Quran dan amal rasul, yang menunjukan bagaimana sesungguhnya pola penggunaan Masjid itu. Dari sumber pertama, yang diungkapkan dalam QS. An Nuur ayat 36-37 berikut:
Artinya : 36. Bertasbih kepada Allah di Masjid- Masjid yang Telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang,
37. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.

Dari kutipan ayat di atas, secara tegas dinyatakan bahwa Masjid merupakan tempat untuk memuliakan Nama Allah dengan berdzikir, shalat, serta menunaikan zakat. Kegiatan ini lebih merujuk kepada suatu konsep kegiatan ibadah secara vertical (mahdloh). Namun jika mengingat bahwa Masjid merupakan rumah Allah, dan pemiliknya adalah Allah terlepas dari bentuk dan pendiriannya, maka sesungguhnya segenap aktivitas manusia yang pada prinsipnya adalah ibadah dimulai dari Masjid, dan juga bermuara kepada Masjid, serta akhirnya juga kembalinya ke Masjid. Prinsip ini merupakan hakikat dari bahwa sesungguhnya manusia adalah hamba-Nya.
Artinya : 18. Dan Sesungguhnya Masjid-Masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. (QS. Jin [72] :18).

Adapun dari amal rasul kita mendapatkan bahwa di masanya, Masjid selain sebagai tempat untuk menunaikan ibadah mahdloh seperti diungkapkan ayat diatas, juga merupakan pusat kegiatan umat pada umumnya, baik itu menyangkut ibadah formal juga muamalah (horizontal). Harun Nasution . menjelaskan bahwa di masa awal perjalanan sejarah Islam, Masjid oleh Nabi Muhammad dan umat Islam digunakan untuk melakukan ibadah shalat, tempat tinggal ahl al shuffah, juga tempat tinggal Nabi Muhammad dan keluarga. Dan seiring perkembangan umat Islam, maka fungsi Masjid di Madinah bertambah sebagai tempat Nabi Muhammad mengatur strategi dalam ketatanegaraan dan pemerintahan, menyampaikan pidato-pidato, juga memutuskan perkara peradilan. Sementara itu Quraish Shihab merinci fungsi-fungsi Masjid di masa Nabi Muhammad sebagai berikut:
1) Tempat ibadah (shalat, zikir).
2) Tempat konsultasi dan komunikasi persoalan ekonomi, sosial dan budaya.
3) Tempat melangsungkan kegiatan pendidikan umat.
4) Tempat melakukan santunan terhadap fakir miskin (sosial).
5) Tempat latihan militer serta mempersiapkan perlengkapannya.
6) Tempat pengobatan korban peperangan.
7) Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa.
8) Aula dan tempat menerima tamu.
9) Tempat menawan tahanan, dan
10) Pusat penerangan dan pembelaan agama.

Berangkat dari aneka pendapat serta rujukan formal di atas, maka fungsi Masjid pada umumnya meliputi:
1) Fungsi Ibadah
Fungsi ini merupakan fungsi dasar Masjid. Sebab sebagaimana yang diamanatkan dalam kutipanayat sebelumnya (Q.S. an Nuur: 36-37) Masjid tempat mengingat Allah. Fungsi dasar ini menjadikan Masjid sebagai tempat untuk melakukan ritual formal keagamaan, seperti shalat lima waktu, shalat jumat, termasuk melaksanakan shalat tarawih dan ied.

2) Fungsi Sosial
Bermula dari pelaksanaan shalat berjamaah, penunaian zakat, maka disitulah benih pembentukan komunitas Islam yang kuat terbentuk. Dan, salah satu hikmah dari berjamaah memang untuk menghubungkan antar pribadi muslim dengan lainnya sehingga tertanam rasa keterikatan yang kuat berdasarkan prinsip tawhid, bukan atas nama simbol golongan atau lainnya.

Dengan demikian maka berarti pula bahwa Masjid menjadi basis pembentukan umatan wahidah dalam konteks tawhid (Islam). Konsep fungsi Masjid yang demikian telah dicontohkan oleh rasulullah dalam membentuk masyarakat muslim Madinah. Rasul memulainya dari Quba dan menjadikannya sebagai pusat kunjungan umat Islam saat itu, apalagi rasul tinggal di salahsatu kamar yang ada di Quba.

Suatu harapan baru, di tengah-tengah kondisi masyarakat yang semakin kompetitif dan plural, untuk membangun masyarakat yang ideal dengan berbasis keMasjidan. Dan itu berarti merupakan tantangan ulang untuk merekonstruksi fungsi sosial kemasyarakatannya ini agar lebih akrab dalam wawasan jemaah.

3) Fungsi Ekonomi
Masyarakat tanpa aktivitas adalah masyarakat yang mati. Salah satu aktifitas terpentingnya ialah dalam tataran muamalah (ekonomi). Ketika Masjid menjadi basis pembentukan umat yang tumbuh dan berkembang dengan konsep tawhid, maka setiap aktifitas menjadi bagian integral dalam wacana rekonstruksi peran dan fungsi Masjid ini. Termasuk di dalamnya ialah menjadikan Masjid sebagai pusat pembinaan perekonomian masyarakat.

Namun demikian, terdapat tantangan mitos, bahwa Masjid semata-mata untuk melakukani badah ritual formal, dan itu berarti menutup kemungkinan konsep bentuk ibadah secara makro (ghayr mahdloh). Namun demikian, sebagai promoter perubahan masyarakat menuju konsep masyarakat yang bertawhid, apakah akan mematikan konsep tersebut dengan mitos belaka? Bahwa kemungkinan yang terjadi adalah kekeliruan dalam memahami dan menafsirkan teks-teks yang telah dianggap mapan dan tidak boleh dirubah atau berubah. Kekeliruan ini niscaya menjauhkan identitas muslim dari pranata pemersatunya. Dan akhirnya menjadikan mereka terkotak-kotak pada golongan atau kepentingan tertentu.
Maka menempatkan kembali Masjid sebagai basis pertumbuhan budaya dan aktifitas sosial yang bertawhid adalah mutlak.

4) Fungsi Pendidikan
Fungsi pendidikan dari Masjid setidaknya dapat dipetakan ke dalam dua tipe. Pertama melalui pembiasaan. Pembiasaan dari aktifitas ritual formal yang dilakukan secara berjamaah dan konsisten dengan ketentuan-ketentuannya baik dari aspek waktu maupun ketentuan hukumnya, itulah pendidikan dasar yang ditanamkan dalam pembentukan umat yang bertawhid. Kedua, sejatinya Masjid memang dapat dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan ajaran Islam dari para ulama.

Fakta sejarah menunjukan bahwa di masa keemasan Islam, pusat-pusat pendidikan adalah Masjid, seperti Bait Al Hikmah di masa al Mamun, atau bahkan universitas Islam tertua yang masih eksis hingga sekarang semenjak bani Fatimiyah yaitu al Azhar, mulanya adalah sebuah Masjid.

5) Fungsi Dakwah
Fungsi dakwah bagi Masjid memiliki relevansi dengan fungsi pendidikan. Namun demikian fungsi dakwah ini lebih luas lagi meliputi segenap aktifitas keberagamaan baik melalui transmisi, transformasi dan internalisasi ajaran untuk membentuk masyarakat yang bersendikan ajaran Islam. Pemahaman ini berangkat dari penegrtian dakwah itu sendiri yang secara filosofis berarti segenap upaya (bi ahsani qawl dan bi ahsani amal—ucapan dan tindakan) untuk memanusiakan manusia seutuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip keIslaman. Dalam sejarah Islam, nabi menjadikan Quba sebagai basis dakwahnya. Dari situ sementara terus melakukan pembinaan internal umat beliau juga mulai mengutus shabatnya untuk menyebarkan risalah Islam ke seluruh pelosok bumi.

2. Perubahan Sosial
a. Pengertian Perubahan Sosial
Perubahan sosial adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.

Wilbert Moore mendefiniskan perubahan sebagai perubahan penting dari struktur sosial. Struktur sosial disini diartikan pola-pola prilaku dan interaksi sosial. Moore memasukan kedalam definisi perubahan sosial berbagai ekspresi mengenai struktur norma, nilai, dan fenomena kultural, jelaslah definisi demikian serba mencakup. Lebih lanjut Moore menyatakan perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan. Soekanto sendiri mendefiniskan perubahan sosial adalah sebagai perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya.

Definisi lain menyatakan sebagai variasi atau modifikasi dalam setiap aspek proses sosial, pola sosial, dan bentuk-bentuk sosial, dan setiap modifikasi pola antar hubungan yang mapan dan standar prilaku. Menurut ”Gillin and Gillin” adalah suatu variasi dan cara-cara hidup yang telah diterima baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi (penemuan-penemuan baru dalam masyarakat).

Aksi sosial dapat berpengaruh terhadap perubahan sosial masyarakat, karena perubahan sosial merupakan bentuk intervensi sosial yang memberi pengaruh kepada klien atau sistem klien yang tidak terlepas dari upaya melakukan perubahan berencana. Pemberian pengaruh sebagai bentuk intervensi berupaya menciptakan suatu kondisi atau perkembangan yang ditujukan kepada seorang klien atau sistem agar termotivasi untuk bersedia berpartisipasi dalam usaha perubahan sosial.

Dari definisi yang dikemukakan para ahli dapatlah ditarik kesimpulan bahwa perubahan sosial dipandang sebagai konsep yang serba mencakup, yang menunjuk pada perubahan fenomena sosial di berbagai tingkat kehidupan manusia, mulai dari tingkat individual hingga tingkat dunia.

b. Tahapan Perubahan Sosial
Proses perubahan masyarakat (social change) terjadi karena manusia adalah makhluk yang berfikir dan bekerja. Selain itu manusia juga selalu berusaha untuk memperbaiki nasibnya dan sekurang-kurangnya berusaha untuk mempertahankan hidupnya. Menurut ”Rogers”, perubahan sosial melewati beberapa tahap, diantaranya :
1) Invensi, yaitu suatu situasi atau kondisi seseorang untuk bisa menciptakan ide. Ide tersebut bisa datang dari bahan pustaka, penelitian orang lain atau tulisan orang lain.
2) Adopsi, yaitu suatu proses yang menunjukkan bahwa informasi tersebut bisa diterima oleh individu maupun masyarakat.
3) Konsekuensi, yaitu keadaan individu atau masyarakat untuk bisa menerima atau menolak terhadap perubahan tersebut.
Sementara itu menurut ”Robert L. Sutherland, dkk. Perubahan sosial terjadi melalui:
1) Inovasi (penemuan baru/perubahan)
2) Invensi (penemuan baru)
3) Adaptasi (penyesuaian secara sosial dan budaya)
4) Adopsi (penggunaan dari penemuan baru/teknologi)

Lippit (1958) mencoba mengembangkan teori yang disampaikan oleh Lewin dan menjabarkannya dalam tahap-tahap yang harus dilalui dalam perubahan berencana. Terdapat lima tahap perubahan yang disampaikan olehnya, tiga tahap merupakan ide dasar dari Lewin. Walaupun menyampaikan lima tahapan Tahap-tahap perubahan adalah sebagai berikut: (1) tahap inisiasi keinginan untuk berubah, (2) penyusunan perubahan pola relasi yang ada, (3) melaksanakan perubahan, (4) perumusan dan stabilisasi perubahan, dan (5) pencapaian kondisi akhir yang dicita-citakan.

Konsep pokok yang disampaikan oleh Lippit diturunkan dari Lewin tentang perubahan sosial dalam mekanisme interaksional. Perubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap kelompok, individu, atau organisasi. Ia berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (driving forces) akan berhadapan dengan penolakan (resistences) untuk berubah. Perubahan dapat terjadi dengan memperkuat driving forces dan melemahkan resistences to change. Peran agen perubahan menjadi sangat penting dalam memberikan kekuatan driving force.

Telah dinyatakan, bahwa perubahan masyarakat dalam abad ini terutama disebabkan oleh kemajuan teknologi yang tidak lain merupakan hasil kemajuan ilmu pengetahuan (mental) manusia itu sendiri. Perubahan sikap sama pentingnya dan sama logisnya dengan perubahan institusional, yang perlu diperhatikan adalah perubahan penting pada tingkat tertentu tapi tidak harus penting pada tingkat yang lain. Perubahan sikap mungkin mencerminkan perubahan hubungan antar individu, antar organisasi atau antar instansi, tetapi mungkin pula tidak.

c. Faktor-faktor Perubahan Sosial
Perubahan sosial terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Ada pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat atau kebiasaan.

B. Kerangka Pemikiran
Makna “perubahan” dirumuskan oleh agama, sebagai keharusan universal–meminjam istilah Islam sunnnahtullah–agar dapat merubah dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketertindasan dan dari berbagai macam yang bersifat dehumanisasi menuju terwujudnya masyarakat/umat yang berprikemanusian dan berperadaban. Paling tidak, agama mengajarkan nilai-nilai seperti itu, selain doktrin-doktrin yang bersifat ritual. Sebab, dapat dibayangkan apabila kehadiran agama di tengah-tengah hingar-bingarnya akselerasi kehidupan manusia tidak dapat menawarkan semangat perubahan, maka eksistensi agama akan menjadi pudar.

Kotler menggambarkan bahwa dalam perubahan sosial ada beberapa unsur yang berperan:
1. Causes, yaitu upaya atau tujuan sosial yang dipercaya oleh pelaku perubahan dapat memberikan jawaban pada perubahan sosial.
2. Change Agency, yaitu pihak yang misi utamanya merujuk upaya perubahan sosial.
3. Change Target, yaitu pihak yang ditunjuk sebagai sasaran upaya perubahan.
4. Channel, yaitu media untuk menyampaikan pengaruh dan respon setiap pelaku perubahan ke sasaran perubahan.
5. Change Strategy, yaitu teknik utama mempengaruhi yang ditetapkan oleh pelau perubahan untuk menimbulkan dampak pada sasaran perubahan.

Berangkat dari pendapat Kotler tersebut, perubahan sosial dapat terjadi apabila terdapat agen perubahan. Pada tingkat kelompok seringkali dijumpai adanya gerakan sosial. Gerakan sosial ini seringkali menjadi agen perubahan. Kondisi ideal perubahan yang terjadi merupakan proses tuntutan dari bawah (bottom up) namun seringkali pula perubahan melalui gerakan sosial juga berasal dari kalangan elit (top down).

Gerakan sosial biasanya didefinisikan sebagai gerakan bersama sekelompok orang atau masyarakat yang terorganisir tetapi informal bersifat lintas kelompok untuk menentang atau mendesakkan perubahan. Banyak versi dan dimensi dari definisi gerakan sosial itu tetapi Diani misalnya, menekankan pentingnya empat unsur utama, yaitu (1) jaringan yang kuat tetapi interaksinya bersifat informal atau tidak terstruktur. Dengan kata lain ada ikatan ide dan komitmen bersama di antara para anggota atau konstituen gerakan itu meskipun mereka dibedakan dalam profesi, kelas sosial, dll. (2) Ada sharing keyakinan dan solidaritas di antara mereka; (3) ada aksi bersama dengan membawa isu yang bersifat konfliktual. Ini berkaitan dengan penentangan atau desakan terhadap perubahan tertentu; (4) Aksi tuntutan itu bersifat kontinyu tetapi tidak terinstitusi dan mengikuti prosedur rutin seperti dikenal dalam organisasi atau agama, misalnya.

Dalam konteks agama, aktor perubahan adalah penganut agama itu sendiri dengan spirit dari nilai-nilai agama yang dianutnya. Islam menjadikan perubahan sebagai keniscayaan. Dalam Islam, institusi yang mewadahi segenap aktivitas umatnya dan menjadi sumber gerakan dalah Masjid. Dalam hal ini masjid menjadi agen dari perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah, ketika hijrah, bangunan pertama yang dia bangun adalah Masjid dan dijadikannya sebagai pusat kegiatan umat Islam. Maka tidak berlebihan ketika Sidi Gazalba menganggap Masjid sebagai pusat kebudayaan Islam. Ketika Masjid mendapat predikat pusat kegiatan umat Islam, maka seyogianya Masjid menjadi ikon dari setiap gerak perubahan sekaligus sumber spirit perubahan itu sendiri.

HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Letak Geografis MERCI
Masjid Raya Ciromed berada di Desa Kutamandiri Km. 19,5 Kecamatan Tanjungsari, di atas tanah seluas 4000 meter persegi, yang diantaranya (1400 m2) merupakan wakaf dari H. Ma’soem dan selebihnya hasil pembelian Pemda Sumedang, sebelah barat jalan Tanjungsari – Sumedang yang menghubungkan kota Bandung dengan kota Sumedang dan sekitarnya. Dari pasar Tanjungsari hanya berjarak lebih kurang lima menit, berada agak puncak di belakang SPBU Al Ma’soem Tanjungsari.

Secara geografis MERCI cukup strategis untuk memenuhi kebutuhan umat Islam dalam beribadah kepada Allah. Baik mereka yang sedang dalam perjalanan maupun bagi penduduk sekitar Ciromed. Letaknya yang strategis inipun menjadikan kegiatan dakwah dapat dikelola secara lebih optimal, karena bagaimanapun dengan terdapatnya sarana lalu lintas yang memadai maka mobilitas kegiatan dapat dilakukan secara lebih efektif dan efesien.

Selain keuntungan tersebut diatas, dengan letaknya yang mudah diakses, maka setiap umat Islam mendapat kemudahan untuk dapat beribadah di sini. Sehingga MERCI bukan hanya menjadi kebanggaan Ciromed dan sekitarnya melainkan juga menjadi kebanggaan umat dari luar kota tersebut yang nyata memiliki kemudahan untuk mengakses MERCI. Ini terlihat dari serangkaian kegiatan yang telah dilaksanakan, jemaah dan penyelenggara banyak yang berasal dari luar Tanjungsari maupun Sumedang, diantaranya dari Bandung (Sumber: Dokumen kegiatan MERCI).

Aspek pemilihan lokasi dalam pembangunan sebuah Masjid memang penting. Karena banyak Masjid yang dibangun dengan tidak memperhatikan planologi, secara nyata mengakibatkan kurang daya gunanya Masjid itu sendiri. Sehingga peran Masjid sebagai sentral umat Islam menjadi bias. MERCI telah menjawab tantangan ini dengan menjadikan dirinya mudah diakses dan strategis.

B. Latar Belakang Berdirinya MERCI
Latar belakang berdirinya MERCI tidak terlepas dari kondisi sosioekonomi dan sosioreligius penduduk sekitar Ciromed. Sebelum MERCI berdiri, Ciromed terkenal sebagai area G-Spot. Yang ditengarai dengan maraknya beberapa titik hitam sebagai lokasi transaksi asusila. Hal ini jelas mempengaruhi terhadap penilaian positif bagi warga Ciromed yang sebetulnya memiliki keinginan yang kuat untuk mewujudkan kehidupan beragama (Islam).

Dengan demikian, berdirinya MERCI merupakan kaharusan dengan harapan dapat memberikan pengaruh positif bagi Ciromed. Dengan kesadaran tersebut dan didukung oleh aparat pemerintah setempat maupun Pemda Sumedang maka peletakan batu pertama pembangunan Masjid ini dimulai pada tahun 2001 sebagai pernyataan konkrit menolak segala bentuk tindakan tidak bermoral yang tidak sesuai dengan hukum agama dan negara. Masjid ini dibangun dengan menggunakan dana APBD Sumedang, dan para donatur.

Perencanaannya telah mulai digiatkan sejak tahun 2000 lalu, dan pada tanggal 26 April 2002, Masjid ini rampung dibangun serta diresmikan oleh Bupati Sumedang sendiri yaitu Bapak Drs. H. Misbach sebagai bupati saat itu dengan total dana terserap 1,5 milyar. Tidak cukup sampai peresmian saja, pengelolaan MERCI telah dipikirkan untuk menuju optimalisasi peran dan fungsi Masjid itu sendiri. Kerjasama dijalin dengan beberapa fihak, LPM IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, DEPAG Sumedang dan Pemda Sumedang sendiri untuk menjadi dewan yayasan Masjid (Sumber: Statuta MERCI). Dan penamaan Masjid ini menggunakan level Masjid raya, yang kemudian disingkat menjadi MERCI— diasosiasikan dengan merek mobil mewah—merupakan upaya meningkatkan brand image masyarakat terhadap keberadaan MERCI sebagai Masjid yang ‘istimewa’.

Keistimewaan yang meliputi latar belakang berdirinya MERCI, penamaan yang tidak menggunakan gaya bahasa kearaban tetapi lebih melokal dengan hanya menggunakan nama daerah yang sebenarnya telah cemar—Ciromed—namun justru upaya ini dilakukan agar MERCI dapat lebih diakrabi, dan pengelolaan yang berupaya untuk menjadi salahsatu Masjid unggulan sebagai Masjid percontohan bagi Masjid-Masjid di Indonesia dalam aspek pengelolaannya.

C. Karakteristik dan Pengelolaan MERCI
MERCI, dalam pengelolaannya dengan karakteristik keorganisasian yakni terdiri dari beberapa orang dengan tujuan untuk menegakan amar ma’ruf dan nahyi munkar, sebagai upaya untuk melakukan perubahan masyarakat terutaman sekitar Ciromed, serta ada struktur yang mengatur tata kerja agar setiap kerja dan sumberdaya yang ada lainnya menjadi sinergi sehingga merupakan satu kesatuan yang handal dalam bekerja sebagai refresentasi kerja secara terorganiasir (Sumber: Statuta MERCI).

Dilihat dari ketersediaan elemen organisasi di MERCI, yakni adanya strukur yang membagi pekerjaan berdasarkan jenis dan satuan-satuan tertentu, adanya orang orang yang bertugas untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tersebut sesuai dengan bidangnya, adanya tata hubungan pekerjaan menurut hirearki dan kewenangan, dan adanya sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan maka pengelolaan MERCI sebagai organisasi dakwah dikategorikan sebagai organisasi formal.

DPM ialah jajaran pengurus yang bertanggungjawab dalam perencanaan kegiatan dan pengambilan kebijakan organisasi. DPM merupakan pihak yang disebut manajemen MERCI. Pengurus harian yang mempertanggungjwabkan segenap kegiatan penyelesaian pekerjaannya, baik berkala maupun insidental kepada biro kepegawaian yang juga sebagai Sekretaris Direktur, merupakan pelaksana dan penerjemah segala program yang telah ditetapkan.

Badan otonom merupakan badan yang berupaya untuk melaksanakan bidang kerja yang berhubungan dengan pelayanan kepada masyarakat dalam bidang muamalah. Hal ini ditengarai dengan cakupan kerjanya yang lebih berorientasi melayanai keluar. Otonomi yang diberikan kepada badan ini meliputi aspek perencanaan kerja lanjutan, pengembangan pelayanan kepada masyarakat, juga memiliki sistem kerja sendiri termasuk dalam pengelolaan keuangan. Namun demikian pada prinsipnya badan otonom ini tetap merupakan bagian dari sistem kerja yang ada dalam Manajemen MERCI. Dalam jenjang pelaporan, badan otonomi ini bertanggungjawab kepada Manajemen MERCI, bukan kepada perorangan yang ada dalam DPM, berbeda dengan pengurus harian yang menjadi karyawan MERCI.

Kemudian adanya kepanitian adhoc, merupakan kepanitiaan yang dibentuk berdasarkan kegiatan-kegiatan insidental. Kegiatan ini misalnya PHBI, maupun pelaksanaan kegiatan-kegiatan dakwah, pelatihan yang diadakan di MERCI, baik yang dilaksanakan secara mandiri, kerjasama dengan pihak luar, maupun fasilitatif. Seperti halnya badan otonom, kepanitiaan adhoc juga melaporkan pertanggungjawabannya kepada manajemen MERCI.

D. Sarana – sarana di MERCI
1. Sarana Publik
Untuk menunjang pengoptimalan pelayanan terhadap umat (jemaah) MERCI dibangun dengan menyediakan fasilitas untuk umum antara lain:
a. Areal parkir yang luas.
b. Tempat wudlu dan WC terpisah untuk pria dan wanita dengan masing-masing dua kamar dan masing-masing satu tempat wudlu dengan beberapa kran.
c. Meeting room sebagai ruang serba guna.
d. Kotak amal
e. Warcil
f. Bursa buku
g. Tempat lesehan
h. Kemudian juga terdapat ruangan khusus yang akan dimanfaatkan untuk ruang perpustakaan dan ZIS.
i. Penitipan barang
j. Peminjaman sarana shalat bagi wanita.
k. Mading sebagai media informasi bagi jemaah.
2. Sarana Penunjang Kerja Pegawai
Untuk melancarkan kerja para pegawai MERCI dilengkapi dengan beberapa fasilitas kerja antara lain:
a. Ruang kantor
b. Satu perangkat komputer.
c. Tiga set meja kerja.
d. Ruang tamu
e. Satu set kursi tamu.
f. Lemari arsip
g. Lemari kayu
h. Papan informasi
i. Satu TV
j. Radio karaoke
k. Pesawat telepon sebagai sarana komunikasi.
l. Kendaraan sebagai fasilitas MERCI.

E. Program Kegiatan MERCI
Menurut Sekretaris Direktur MERCI, kegiatan di MERCI terbagi ke dalam tiga model. Pertama kegiatan yang besifat mandiri, kedua program yang dilakukan denganbekerja sama, dan ketiga, program yang sifatnya fasilitatif.
1. Program mandiri
Program-program mandiri dirancang sebagaimana peran dan fungsi Masjid umumnya yakni pelayanan jemaah. Pelayanan jemaah ini meliputi aktivitas ritual formal seperti penyelengaraan shalat lima waktu berjamaah, shalat Jumat, termasuk pengajian (ta’lim) bagi jemaah. Ta’lim bagi pria dilaksanakan setiap hari Selasa malam, danbagi wanita setiap hari senin pagi. Tema-tema dalam talim sudah dijadwal dan mengikuti kurikulum yang disusun sebelumnya.Program keagamaan ini diselenggarakan dibawah tanggungjawab divisi ibadah.

Selain dalam aktivitas keagamaan formal, juga dalam kegiatan pemberdayaan ekonomi umat dibawah tanggungjawab Lembaga Otonom BMT. Jemaah didata dan diberikanbantuan modal untuk usaha atau pendampingan usaha. Upaya ini dilakukan sebagai salah satu tanggugnjawab sosial MERCi bagi masyarakat binaannya.
Sementara itu, unit Pendidikan menyelengarakan pendidikan anak usia dini (PAUD) dan perpustakaan Masjid.

2. Program kerjasama
Program kerjasama merupakan program yang dilakukan dengan melibatkan pihak lain dalam kegiatan tersebut. Saat ini yang telah dilakukan adalah penyelengaraan pendidikan tinggi yang pelaksanaannya dibawah koordinasi badan otonom serta pihak DPM sendiri. Pendidikan tinggi yang diselenggarakan bekerjasama dengan STAI dan Universitas Terbuka sebagai tempat belajar pokjar.

3. Program fasilitatif
Program fasilitatif adalah program yang dilakukan dimana penanggungjawab kegiatan adalah pihak lain, sementara itu MERCI dan pengelolaannya adalah sebagai penyiap tempat atau sarana lainnya. Program-program ini sering dilakukan dan merupakaan bentuk keterbukaan MERCI atas elemen masyarakat agama yang plural.

F. Fungsi MERCI dalam Perubahan Sosial di Ciromed
Perubahan sosial dalam masyarakat bukan merupakan sebuah hasil atau produk tetapi merupakan sebuah proses. Perubahan sosial merupakan sebuah keputusan bersama yang diambil oleh anggota masyarakat. Konsep dinamika kelompok menjadi sebuah bahasan yang menarik untuk memahami perubahan sosial. Kurt Lewin dikenal sebagai bapak manajemen perubahan, karena ia dianggap sebagai orang pertama dalam ilmu sosial yang secara khusus melakukan studi tentang perubahan secara ilmiah. Konsepnya dikenal dengan model force-field yang diklasifikasi sebagai model power-based karena menekankan kekuatan-kekuatan penekanan. Menurutnya, perubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap kelompok, individu, atau organisasi. Ia berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (driving forces) akan berhadapan dengan penolakan (resistences) untuk berubah. Perubahan dapat terjadi dengan memperkuat driving forces dan melemahkan resistences to change.

Masjid Raya Ciromed (MERCI) adalah Masjid yang berupaya untuk melayani umat Islam baik dalam aspek ibadah mahdloh maupun aspek muamalah (sosioekonomi umat). Pengelolaannya menggunakan pengetahuan Manajemen sebagai sarana penunjang kegiatan dakwah. Dengan demikian media yang digunakan dalam kegiatan dakwah untuk mentrasformasikan pesan-pesan Islam dilakukan secara keorganisasian, dilakukan secara bersama-sama, dengan pembagian tugas yang sesuai dengan peran masing-masing sehingga menjadi satu kekuatan yang kokoh untuk membangun Islam (Sumber: Statuta MERCI). Keadaan ini seperti yang diungkapkan oleh Shaleh mengenai pentingnya pengorganisasian dakwah.

Dalam pengertian ini MERCI merefresentasikan diri sebagai institusi dengan pola organisasi modern. Setiap organisasi memiliki karakteristik sendiri, apakah itu organisasi bisnis, organisasi sosial, organisasi pendidikan seperti sekolah maupun organsiasi yang bergerak dalam bidang keagamaan, yang terakhir ini dapat juga dinamakan organisasi dakwah yang tujuannya ialah untuk melaksanakan kegiatan dakwah secara efektif dan efesien. Dalam pengertian inipula MERCI dikelola. MERCI sebagai organisasi dakwah. Kaitannya dengan pola perubahan yang dilakukan, maka MERCI dalam hal ini memerankan sebagai driving force bagi perubahan sosial di Ciromed.

Peranan Masjid bagi umat Islam tidak terlepas dari perjalanan sejarah umat Islam itu sendiri. Ketika Nabi Muhammad tiba di Madinah, hal pertama yang dilakukannya ialah memilih lokasi tempat Masjid didirikan. Dari Masjid, Nabi Muhammad memulai gerakan penyebaran risalahnya. Sementara itu Rukmana dengan menimbang pentingnya kehadiran sarana peribadatan dalam suatu lingkungan tempat tinggal, sebagai salah satu faktor penunjang dalam menciptakan suasana yang religius demi terwujudnya tatanan masyarakat yang aman tentram dan damai, maka kehadiran Masjid amat penting selain dari kebutuhan dari tuntutan estetika lingkungan itu sendiri. Dengan demikian maka Masjid berperan penting sebagai pusat penggerakan dan faktor dominan untuk melakukan perubahan dalam masyarakat Islam baik dalam bidang keduniawian maupun keakhiratan.

Fungsi MERCI sebagai suatu lembaga keagamaan, tertuang dalam visi dan misi yang diatur dalam statuta MERCI. Hal tersebut antara lain, MERCI berfungsi untuk sarana ibadah yang ditingkatkan mutu dan pelayanannya dengan pelayanan yang dilandasi kesadaran dan kesiapan layanan publik serta dengan tersedianya fasilitas yang memadai untuk menunjang kerja pengelola. Kemudian juga berfungsi sebagai tempat pembinaan dan peningkatan budaya masyarakat ke arah religius Islami, selanjutnya, juga berfungsi dalam bidang pemberdayaan ekonomi umat secara Islami, yang diharapkan menjadi anutan dalam bidang bermuamalah, dan secara khusus berupaya untuk menjadi penopang pengembangan syiar dan budaya Islami serta pemberdayaan ekonomi umat di Sumedang. Segenap peran dan fungsi MERCI tersebut, merupakan upaya untuk menghidupkan kembali peran dan fungsi Masjid semenjak Masjid pertama dibangun oleh Nabi Muhammad di Madinah.

G. Pengembangan Program pelayanan Keagamaan dan kendala-kendalanya
Menuju tercapainya tujuan sebagaimana peranan yang harus dilakukan MERCI mengembangkan pola pengelolaan dengan pendekatan manajemen modern. Pengelolaan Masjid merupakan upaya untuk memakmurkan kegiatan dalam Masjid dan optimalisasi peran dan fungsi Masjid itu sendiri, selanjutnya dijelaskan bahwa pada umumnya pengelolaan Masjid masih bercorak tradisional. Hal ini sebagai dampak dari minimnya SDM yang tergabung dalam Masjid, sedikit sekali jumlah Masjid yang mulai mengelola secara profesional. MERCI dijadikan suatu terobosan baru dalam pengelolaan Masjid. Konsekuensi dari prinsip profesionalisme ini, bagi Rukmana berarti bahwa para pengelola harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Berwibawa, berpengetahuan luas, jujur dan berani.
b. Menjadi teladan, amanah dan ikhlas.
c. Berdedikasi untuk perencanaan dan pengembangan sarana keagamaan.
d. Kaderisasi sebagai upaya regenerasi.

Menurut Harahap jika ingin mengelola sebuah Masjid secara profesional, maka Masjid tersebut harus ditata dalam kerangka suatu organisasi. Dalam pengorganisasian kerja pengelolaan Masjid, maka diperlukan suatu tata hubungan yang mengatur alur pertanggungjawaban hasil pekerjaan secara hirarkial dalam struktur organisasi. Secara lebih jauh Ayub menjelaskan struktur organisasi Masjid ini berfungsi untuk memperjelas hubungan antar unit, adanya pembagian kerja sekaligus keterpaduan fungsi-fungsi atau kegiatan yang berbeda-beda itu. Juga mempertegas adanya wewenang, pemberian tugas dan pelaporan. Ayub selanjutnya memberikan contoh sruktur yang harus dikembangkan dalam pngelolaan sebuah Masjid.

Selanjutnya dijelaskan bahwa beberapa seksi yang harus dibentuk hendaknya memenuhi dari tujuan dan fungsi Masjid, diantaranya: Seksi Pendidikan dan Dakwah; Seksi Pembangunan dan Pemeliharaan; Seksi Peralatan dan Perlengkapan; Seksi Sosial dan Kemasyarakatan; juga Pembantu Umum. Seksi-seksi tersebut bertanggungjawab untuk melaksanakan tugas-tugasnya dan melaporkan kepada ketua pengelola Masjid. Struktur kepengurusan ini dibentuk untuk melayani dan mengikat jemaah sebagai faktor penting dalam organisasi Masjid, karena dengannya akan jelas tergambar antara hak dan kewajiban jemaah terhadap Masjid dengan tidak mengabaikan keterlibatannya di organisasi lain atau Masjid yang lain.

Dari penggambaran pada bab sebelumnya maka dalam tipe organisasi dengan pertimbangan dari banyaknya jenis pekerjaan yang harus dilakukan dan luasnya wilayah kerja organisasi tersebut, maka Pengorganisasian di MERCI merupakan gabungan dari tipe organisasi staf dan lini. Organisasi staf merupakan organisasi yang mengembangkan struktur kerjanya berdasarkan spesialisasi pekerjaan yang harus diselesaikan. Optimalisasi pelayanan kepada masyarakat telah memaksa MERCI untuk lebih mengembangkan pekerjaan-pekerjaan tersebut sesuai dengan tingkat spesialisasinya. Organisasi lini merupakan organisasi sederhana yang secara hirarkial komando masih dalam satu garis kewenangan. Di MERCI, hirarkial kewenangan tersebut nampak jelas urutannya dari direktur sampai karyawan.

Kondisi demikian, bila dihadapkan dengan apa yang disarankan Ayub dalam pengelolaan sebuah Masjid, maka secara umum telah meliputi keharusan tersedianya elemen sebagai penunjang peran dan fungsi Masjid. Lebih dari itu, MERCI dengan kekhasannya telah mengembangkan struktur yang dianggap lebih sesuai dengan sifat dan karakteristiknya.
MERCI menyandang keistimewaan lainnya ialah sebagai laboratorium dalam proses Manajemen Masjid. Pengelolaannya mencerminkan sikap akomodatif terhadap situasi dan kondisi masyarakat. Sehingga yang menjadi target MERCI untuk saat ini ialah lebih pembenahan di dalam, dan pendekatan kepada masyarakat lokal dibandingkan dengan gebyar yang penuh publisitas. Pengelolaan MERCI dengan sifat pelayanan internal dalam pandangan Ayub dinamakan Idarah Binail Maadiy-physical management. Sedangkan pengelolaan dengan sifatnya melayani kepada jemaah disebutnya dengan Idarah Binail Ruhiy. Kemudian berdirinya MERCI sendiri selain sebagai media dalam usaha Dakwah yang berisikan pesan-pesan Islam, juga berperan sebagai pesan itu sendiri. Maksudnya ialah bahwa keberadaan Masjid itu selain sebagai media dalam beribadah juga sebagai bentuk dari pesan Islam itu sendiri.

Berangkat dari karakteristik dan keistimewaannya, MERCI berupaya melakukan perubahan-perubahan paradigmatik dalam kehidupan sosial masyarakat sekitar melalui program-program (channel) yang digulirkan selain secara de facto keberadaanya sendiri di Ciromed. Keberadaan MERCI dapat dikatakan telah berhasil mengubah citra Ciromed dari negatif ke positif. Melalui program yang disusun MERCI, ia telah melakukan langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengelola perubahan, yaitu: (1) Unfreezing, merupakan suatu proses penyadaran tentang perlunya, atau adanya kebutuhan untuk berubah, (2) Changing, merupakan langkah tindakan, baik memperkuat driving forces maupun memperlemah resistences, dan (3) Refreesing, membawa kembali kelompok kepada keseimbangan yang baru (a new dynamic equilibrium). Pada dasarnya perilaku manusia lebih banyak dapat dipahami dengan melihat struktur tempat perilaku tersebut terjadi daripada melihat kepribadian individu yang melakukannya. Sifat struktural seperti sentralisasi, formalisasi dan stratifikasi jauh lebih erat hubungannya dengan perubahan dibandingkan kombinasi kepribadian tertentu di dalam organisasi. Dalam konteks ini penulis melihat keberadaan MERCI meupakan bagian dari sifat struktural yang bergerak sebagai agen perubahan bagi Ciromed.

Namun demikian penulis juga menemukan beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai kondisi yang kurang mendukung terhadap upaya perubahan sosial di Ciromed. Pertama MERCI jika dikategorikan sebagai Masjid raya dalam perpsektif tipologi Masjid ala Kementerian Agama tidak tepat, sebab Masjid Raya seharusnya ada di tingkat Propinsi. Andaipun dijadikan Masjid besar juga tidak mungkin, sebab sekitar satu kilometer dari posisi MERCI ke arah Sumedang, sudah berdiri Masjid Besar Tanjungsari, apalagi jika harus dikategorikan Masjid jami, sebab tidak jauh dari berdirinya MERCI Masjid jami penduduk tetap berdiri. Maka dari itu, MERCI tampaknya tepat jika dianggap sebagai Masjid wisata.

Kondisi inilah dalam pandangan penulis menjadi menjadikan MERCI tetap berjarak secara psikologis dengan lingkungan sosial sekitarnya. Warga sekitar MERCI untuk melaksanakan ibadah formal masih tetap pada Masjid jami. Kondisi ini diakui oleh Direktur MERCI, dan menurutnya memang keberadaan MERCI bukan sebagai pengganti Masjid jami atau Masjid lain yang sudah terlebih dahulu berdiri, namun sebagai instrumen baru yang secara khsusus dilakukan sebagai ikon bagi Ciromed.

Merujuk pada pendapat Atkinson (1987) dan Brooten (1978), bahwa perubahan merupakan kegiatan atau proses yang membuat sesuatu atau seseorang berbeda dengan keadaan sebelumnya dan merupakan proses yang menyebabkan perubahan pola perilaku individu atau institusi. Ada empat tingkat perubahan yang perlu diketahui yaitu pengetahuan, sikap, perilaku individual, dan perilaku kelompok. Setelah suatu masalah dianalisa, tentang kekuatannya, maka pemahaman tentang tingkat-tingkat perubahan dan siklus perubahan akan dapat berguna. Empat eksponen perubahan ini belum secara nyata diolah oleh MERCI.

Salahsatu bagian dari keberjarakan ini adalah ketika setiap even kegiatan di MERCI terutama dalam kegiatan program fasilitatif maupun kerjasama, lebih banyak diakses oleh orang-orang dari luar wilayah Ciromed. Ini lebih menunjukkan bahwa MERCI memang lebih tepat sebagai penyelia layanan keagaman dalam konteks pariwisata (temporal). Demikian pula halnya dalam kegiatan sholat berjamaah harian. MERCI lebih banyak dimanfaatkan oleh pengguna jalan yang melintasi daerah tersebut. Berjaraknya MERCI dengan masyarakat sekitar menjadikan gerak perubahan terkesan lambat dan baru sebatas perubahan pencitraan dari negatif ke positif. Meskipun ada jarak, meminjam hasil penelitian Acep Aripudin tahun 2004, masyarakat sekitar tanggapannya positif dengan adanya MERCI. Mereka menganggap MERCI menjadi batu lompatan menuju perubahan paradigmatik di Ciromed.

Kondisi ini paralel dengan pendapat Etzioni (1973) mengungkapkan bahwa, perkembangan masyarakat seringkali dianalogikan seperti halnya proses evolusi. suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil penemuan ilmu biologi, yang memang telah berkembang dengan pesatnya. Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk “evolusi” antara lain Herbert Spencer dan August Comte. Keduanya memiliki pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut pandangan mereka berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya, maka diketahi bahwa MERCI telah menjadi channel of change sekaligus agency of change bagi masyarakat Ciromed, kaitannya dengan citra negatif menjadi citra positif (causes). Peran-peran ini dijabarkan melalui program-program (channels) yakni mandiri, kerjasama dan fasilitatif bagi masyarakat Ciromed (change target). Peran MERCI dalam perubahan sosial di Ciromed dijabarkan melalui mengembalikan fungsi dasar keberadaan Masjid, yakni penyeimbangan antar fungsi sosial dan fungsi ritual.

B. Saran
Berdasarkan beberapa temuan dalam penelitian ini, kiranya dapat direkomendasikan beberapa saran berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian pembandingan dengan peran dan fungsi pada Masjid lain yang dibangun dengan semangat serupa, misalnya pada Masjid Nyalindung Sumedang, Masjid dan Pesantren Daarut Taubah di Saritem atau juga Jakarta Islamic Centre di Jakarta. Untuk melihat keberdayaan Masjid sebagai agen dalam perubahan sosial bagi masyarakat sekitar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini masih terbatas pada studi kasus, seyogianya juga dilakukan dengan pendekatan lain, misalanya kesejarahan atau Arkeologi makna sebagaimana dikembangkan Faucoult untuk melihat weltchannauung masyarakat sekitar atas keberadaan MERCI.
2. Dalam perspektif perubahan sosial MERCI dapat dijadikan model, namun tentu saja dengan beberapa catatan diantaranya memperpendek jarak psikologis atau bahkan meniadakannya dengan melibatkan masyarakat sekitar dalam konteks sense of belonging terhadap Masjid.

C. Implikasi
Kaitannya dengan kegiatan diklat, temuan dalam penelitian ini setidaknya dapat dijadikan informasi awal untuk merumuskan konsep materi diklat pembina keMasjidan. Terutama dalam hal peran dan fungsi Masjid dalam pembinaan jemaah Masjid.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sutrisno dalam http://www.averroes.or.id/research/agama-perubahan-sosial-dan-sublimasi-identitas.html
Al-Ghazally, Muhammad. tt. Fiqhus Sirah (Terj. Abu Laila) (Bandung: PT. Al-Ma’arif.
Arnold, Thomas. W. 1981. Sejarah Dakwah. Jakarta: Widjaja.
Asmuni Syukir, 1983, Dasar-dasar Dakwah Islam, Surabaya: Al Ikhlas.
Bahua, Mohamad Ikbal. Aksi Dan Perubahan Sosial Dalam Http://Eeqbal.Blogspot.Com/2009/06/Aksi-Sosial-Dan-Perubahan-Sosial.Html.
Dasuki, Hafidz dkk., 1994. Ensiklopedi Islam 3, Jakarta: PT Ichtiar Baru.
Diani, Mario, 2000, “The Concept of Social Movement,” dalam Nash, Kate, Reading in Contemporary Political Sociology, Blackwell, Oxford.
Faruqi, Ismail. R dan Lamya. 1998. Atlas Budaya Islam (terjemahan dari The Cultural Atlas of Islam). Bandung: Mizan.
Gazalba, Sidi. 1994. Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Alhusna.
Harahap, Sopyan Syapri. 2001. Manajemen Masjid. (Yogyakarta: Dhana Bhakti Prima Yasa.
Harun Nasution. 2000. Islam Rasional. Bandung: Mizan.
http://agussetiaman.wordpress.com/2008/11/25/perubahan-sosial/ diakses tgl 25 Maret 2010
http://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_sosial_budaya diakses tgl 25 Maret 2010
Ismail. R Faruqi dan Lamya. 1998. Atlas Budaya Islam (terjemahan dari The Cultural Atlas of Islam). Bandung: Mizan
Kalam Republika, Jumat 25 April 2003
Keith F Punch, 1999. Introduction to Social research, London: SAGE Publications.
Kotler, Philip. 1972. Creating Social Change. Hold Rine Hart and Wastone Inc. New York.
M.E. Ayub. 1996. Manajemen Masjid Petunjuk Praktis Bagi Pengurus. Jakarta: Gema Insani Press.
Moch. Fachrurozy, 2005, Manajemen Masjid, Bandung: Benang Merah Press.
Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosdakarya.
Moore, Wilbert E., 1967. Order and Change. Essay in Comparative Sosiology”, New York, John Willey & Sons.
Mulyana, Deddy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : Rosdakarya.
Narbuko, Cholid dan Abu Ahmadi, 2001. Metodologi Penelitian, Jakarta : Bumi Aksara.
Nash, Kate, Reading in Contemporary Political Sociology, Blackwell, Oxford.
Natsir M. 2000. Fiqhud Da’wah, Jakarta: Media Dakwah.
Nana Rukmana. 2002. Masjid dan Dakwah. Jakarta: Al Mawardi Primayasa
Nawawi, Hadari. 2007. Metode penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : UGM Press.
Shaleh, Rosyad. Manajemen Dakwah. (Jakarta: Bulan Bintang .1977
Shihab, M. Quraih. 2000. Wawasan Al Quran. Bandung: Mizan
S Nasution, 2007. Metode Research. Jakarta : Bumi Aksara.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
Sorokin, Pitrim A. 1957. Social and Cultural Dynamies, Boston : Sargent.
Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif R&D. Bandung : Alfabeta.
Supardi dan Teuku Amarudin. 2001. Manajemen Masjid dalam Pembangunan: Optimalisasi Peran dan Fungsi Masjid. Yogyakarta: UII Press.

Tidak ada komentar: