Kamis, 19 April 2012

MADZHAB TAFSIR


Oleh : Shohib[2]

A. Pendahuluan
            Madzhab tafsir al-Qur’an merupakan salah satu tema besar yang mengkaji mengenai berbagai upaya kelompok atau individu untuk menegakan kitab suci, bagaimana setiap diri mereka berusaha memahami dan menginterpretasi setiap makna kata sehingga satu kata memiliki ragam tafsir dan pemahaman dan tendensi kepentingan yang diusung oleh penafsirnya. Tafsir dalam khazanah intelektual muslim tidak terlepas dari latar belakang pemahaman, tujuan dan tendensi tertentu. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam produk tafsir al-Qur’an yang berkembang. Dalam kalangan terbatas ada yang melarang menafsirkan apalagi menakwilkan kitab suci karena telah dianggap memanipulasi kalam Allah, meskipun akhirnya mayoritas umat islam mengakui dan menyepakati satu bentuk kitab suci, yaitu Mushaf Utsmani, tetapi pemahamannya sangat beragam.

            Peradaban Islam tidak terlepas dari peradaban teks. Dunia tafsir menafsir merupakan wilayah yang paling bertanggung jawab terhadap terbentuknya peradaban tersebut. Oleh karena itu membahas madzhab tafsir merupakan bagian dari bahasan peradaban Islam itu sendiri yang dengan sendirinya mengajak kita menyambangi kenyataan sejarah, sosial dan budaya serta skema pemikiran dan keyakinan kaum muslimin untuk menjustifikasi setiap tindakan baik indivindu maupun kelompok dengan mengatasnamakan kitab suci. Fakta tentang bagaiamana masing-masing sekte atau madzhab memperebutkan klaim kebenaran Tuhan bahkan dalam tataran negatif saling mengkafirkan merupakan bukti yang tak dapat disangkal.
            Hal ini mengindikasikan betapa tidak ada pemahaman tunggal terhadap makna teks-teks al-Qur’an yang senantiasa selalu terbuka untuk ditafsirkan dan ditakwilkan. Selamanya yang dimaksud dengan tafsir al-Qur’an memang selalu berubah dan berbeda. Hal ini sesuai dengan ungkapan terkenal shahabat dan menantu Rasululullah yang dijuluki Bab al-Ilmi, Ali bin Abi Thalib R.A ” al-Qur’an tidak bisa berbicara apa-apa tetapi yang berbicara adalah manusia”. Atau dengan bahasa sederhana ” Tanpa manusia al-Qur’an tak bisa berbicara apa-apa”.

B. Tafsir pada tahap awal
           Pada masa Nabi dimana al-Qur’an masih dalam proses penurunnanya. Setiap ayat yang diturunkan kepada Nabi langsung ditafsirkan oleh beliau jika ayat tersebut memerlukan penjelasan melalui sunahnya yang berbentuk qouliyah, filiyah maupun taqriiyah. Setelah Nabi wafat para sahabat mulai mengalami kesulitan ketika hendak menetapkan al-Qur’an mengingat bertambah kompeksnya persoalan sosial dan kehidupan yang belum pernah mereka alami semasa Nabi. Disinilah mereka mulai menafsirkan kembali ayat-ayat al-Qur’an. Meskipun al-Qur’an itu berbahasa Arab namun mereka membutuhkan tafsir, karena tingkat pemahaman mereka yang beragam. Di dalam menafsirkan al-Qur’an para sahabat mendasarkan kepada :
- Al-Qur’an
- Sunah Nabi SAW
- Pemahaman dan ijtihad
            Yang menjadi rujukan pertama para sahabat adalah Nabi dan semuanya sepakat tentang hal ini, tetapi mereka berselisih pendapat ketika ijtihad dijadikan sebagai dasar penafsiran selain al-Qur’an dan sunah ( atsar ). Di kalangan sahabat yang banyak menafsirkan al-Qur’an adalah : Abu Bakar as-Shidiq, Umar al-Faruq, Utsman Dzunnurain, Ali bin Abi Thalib, Abdullah ibnu Mas’ud, Abdullah ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ary, Abdullah bin Zubair[3]. Yang paling banyak diterima tafsirnya adalah dari kalangan khulafa al-arba’ah. Serta Ibnu Abbas, Abullah ibnu Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab.[4]
            Perbedaan tafsir pada masa ini banyak didasari pada perbedaan qiroat. Lahirnya perbedaan qiraat itu sendiri dikembalikan pada karakteristik tulisan Arab itu sendiri yang bentuk huruf tertulisnya dapat menghasilkan vokal pembacnya yang berbeda tergantung pada penempatan titik atau harkat pada yang terletak diatas atau bawah hurufnya. Ketika khalifah Utsman bin Affan menjadi khalifah beliau memerintahkan memusnahkan seluruh mushaf  selain mushaf yang ada di tangannya seraya mereka semua di seluruh penjuru kota membaca al-Qur’an sesuai dengan bacaan mushaf yang telah dibukukan.[5] Sebelumnya al-Quran begitu plural, kaya akan bacaan dan makna tetapi searah dengan kebijakan politik khalifah Utsman al-Qur’an tampil dalam bentuk yang tunggal, al-qur’an versi mushaf Utsmani. Inilah mushaf yang dianggap paling sah dan benar sampai sekarang.

C. Tafsir bil ma’tsur
            Yang dimaksud tafsir bil ma’tsur menurut al-Farmawy adalah penafsiran al-Qur’an dengan penjelasan al-Qur’an, rasul,sahabat dan aqwal tabi’in.[6] Tokoh yang dianggap pelopor dan bapak tafsir ini adalah Ibnu Abas.
            Tokoh-tokoh yang konsern dengan periwayatan tafsir yang bernisbah kepada Nabi SAW diantaranya adalah Yazid bin Harun as-Sulami, Syubah bin al-Hajjaj, Waki’ bin Jarrah, Sufyan bin Uyanah Rauh bin Ubadah al-Basri, Abdurrazaq bin Hammam, Adam bin Abu Iyas dan Abd bin Humaid. Pasca generasi ini munculah generasi yang menulis tafsir secara khusus, independen dan terpisah dari hadits, disususn berdasarkan tertib mushaf. Diantara mereka adalah Ibnu Majah, Ibnu Jarrir at-Tahabary, Abu Bakar bin al-Munzir an-Naisabury, Ibnu Abi Hatim Abusyaikh bin Hibban, al-Hakim dan Abu Bakar bin Mardawaih.[7]
            Pada konteks tertentu dalam penafsiran al-Qur’an bil ma’tsur terdapat kerinduan pada kisah-kisah dan mitologi terutama dari Yahudi dan Nasrani, hingga ada term Israiliyat . Terdapat komunitas muslimin yang ahli dalam kitab-kitab terdahulu dan berusaha mencari celah-celah yang ada dalam al-Qur’an dengan apa yang mereka pelajari dengan hasil interaksinya dengan pengikut Yahudi dan Nasrani hingga mereka mengklaim bahwa semua itu adalah tafsir al-Qur’an. Diantara Mufassir yang konsern terhadap model ini adalah Muqatil bin Sulaiman.[8]
            Kitab yang dianggap mewakili dan memiliki corak tafsir bil ma’tsur diantaranya adalah :
1. Jami al-Bayan fi tafsir al-Qur’an oleh Jarir at-Thabary ( W.310/923 )
2. Anwar at-Tanzil oleh al-Baidhawi ( W 685/1286 )
3. Ad-Dur al-Mantsur fi at-Tafsir bi al-Ma’tsur oleh Jalalad-Din as-Suyuthi   
    ( W.911/1505 )
4. Tanwir al-Miqbas fi Tafsir  Ibnu Abas oleh Fairuz Zabadi ( W.817/1414 )
5.Tafsir al-Qur’an al-Adzim oleh Ibnu Katsir (W.774/1373 )[9]

D. Tafsir bi al-Rayi’
            Tafsir bi al-rayi’ ádalah tafsir yang dalam menjelaskan maknanya, penafsir hanya berdasarkan pemahaman sendiri serta mengambil konkluksi atas dasar akal semata.[10]Dengan pengertian lain menurut Adzahabi bahwa jenis tafsir ini ádalah tafsir yang didasarkan atas upaya ijtihady serta berdasarkan atas pemikiran mufasir yang telah betul-betul menguasai bahasa Arab dan metodenya,dalam hukum yang ditunjukannya serta problem penafsirannya.[11]
            Kemunculan tafsir bi al-rayi dipicu dan dimotifasi oleh semakin meningkatnya eskalasi perkembangan ilmu pengetahuan yang ditandai dengan banyak disiplin ilmu baru di dunia Islam. Kondisi ini sedikit banyak berimplikasi pada semakin terlihatnya pengaruh disiplin ilmu tertentu yang digeluti tokoh tertentu terhadap cara menfsirkan al-Qur’an. Hal ini tak sulit untuk dijejaki dengan beragamnya kecenderungan corak aksentuasi para mufasir dalm menginterpretasikan al-Qur’an, ada yang menekankan aspek gramatical, keistimewaan bahasa, hukum syara’, qiroat serta adapula yang bernuansa madzhab teologi dan filsafat.
            Jenis tafsir ini dibedakan dalam dua kategori :
1. Tafsir bi al-rayi mahmud, tafsir yang bercorak ijtihadi tapi tetap berdasarkan
    spirit al-Qur’an dan Sunah mufasirnya fakar dalam bahasa Arab.
2. Tafsir bi al-rayi madzmum, yaitu kebalikan dari kategori pertama.
            Berikut ádalah bebrapa karya tafsir bi al-rayi :
1. Al-Kasysyaf dan Haqoiq at-tanzil wa al-uyun al-aqqawil fi wujuh at-thawil
    karya Abu al-qosim Mahmud bin Umar az-Zamakhssyari (l. 467 H) tafsir ini
    sangat kental dengan corak dan faham Mutazilah yang rasional.
2. Maftuh al-Ghaib karya Abu Abdillah Muhammad bin Umar al-Razi (l.544 H)
    dalam tafsirnya pengaruh filsafat begitu kuat.
3. Al-Karim al-Rahman fi tafsir kalam al-Mannan karya Abdurahman bin Nashir
    as-Sa’di ( l.1307 H) sifat tafsirnya ringkas dengan makna yang jelas.
4. Fi dzilal al-Qur’an karya Syyid bin al-Hajj Qutub bin Ibrahim (l.1906 M).

E. Tafsir  tassawuf
            Para mufasir al-Qur’an di kalangan sufi senantiasa melihat sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam kitab suci dengan perhatian penuh sehingga produk penafsiranya tidak terlepas dari kacamata pemahaman sufistik. Karakteristik tafsir dalam presfektif tasawuf ádalah kecenderungannya lebih menonjol takwilnya dibandingkan tafsirnya. Esoteris al-Qur’an lebih mendapat perhatian kalangan sufi dibandingkan aspek eksoterisnya.
            Tokoh tokoh yang seringkali menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan sufistik diantaranya al-Gazali ( Miskat al-Anwar ), Ikhwan as-shafa, Muhyiddin Ibnu Arabi ( Tarjuman al-Aswaq ) Sal at-Tutsari (kitabnya masih dalam bentuk manuskrip )[12]

F. Tafsir sektarian
            Penafsiran al-Qur’an yang begitu terbuka pada perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh sektarian atau kelompok kelompok khususnya firqoh teologi dalam Islam. Dalam sejarahnya sebagai dampak dari perang siffin yang kemudian menimbulkan perpecahan di kalangan umat islam seperti  : Syiah, khawarij, dan murjiah. Masing masing sekte tersebut menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan pemahaman kelompoknya. Diantara sekte-sekte keagamaan yang menonjol dan produktif menafsirkan al-Qur’an  ádalah Syiah, bahkan acapkali  Syiah sering di vis a vis kan dengan Sunni.
            Sebagaimana kita ketahui mushaf al-Qur’an versi Usman bin Affan dianggap oleh kalangan Syiah sebagai repesentasi dari kalangan Sunni. Syiah menghadirkan korpus al-Qur’an mushaf Abdullah bin Mas’ud yang dianggap memiliki kecenderungan pada kelompok Syiah[13]di samping tentunya mushaf Ali bin Abi Thalib.
            Kitab tafsir Syiah klasik yang terkenal diantaranya tafsir al-Qummi oleh Abu al-Hasan al-Qummi ( Abad 6 H ). Karakteristik dari tafsir ini ádalah Ali centris yaitu pemujaan yang berlebihan terhadap Ahlulbait sehingga banyak ayat-ayat al-Qur’an di takwili dengan tujuan untuk menjustifikasi pemahaman mereka. Sebagai contoh penafsiran ayat ketujuh dan setelahnya dalam surat al-Balad : Apakah dia mengira bahwa tidak ada seorangpun yang melihat dia;bukankah telah kita jadikan baginya dua mata ( yakni Rasulullah ),serta lisan ( yakni Ali ), dan dua bibir ( yakni imam Hasan dan Husain ), dan keduanya telah kita beri petunjuk kearah Najdain ( lepada kekuasaan mereka berdua ) (dikutip dari tafsir al-Qummi hal.726 ) dan masih banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an yang ditakwilkan secara semena mena.

G. Tafsir Modern
            Tafsir modern ditandai pada masa kebangkitan Islam dengan tokoh sentral nya Muhammad Abduh di Mesir yang menyusun tafsir al-Manar. Karakteristik tafsirnya bersifat pembaharuan dan disesuaikan dengan semangat zaman dengan prisip dasar bahwa Islam ádalah agama universal yang tetap relevan bagi masyarakat dimanapun dan kapanpun. Pada tahun 1911 M di anak benua India Mirza Abu Fadl menyusun jurnal Allah Abad sebuah nash al-Qur’an yang sesuai dengan tertib zamani ( susunan ayat berdasarkan turunnya wahyu ) merupakan langkah besar bagi sebuah presfektif yang obyektif dan liberal dalam melihat  kitab wahyu. Jauh sebelumnya Sir  Sayed Ahmad Ahmad Khan Bahadur ( 1817-1898 M ) telah memasukan produk-produk penafsiran al-Qur’an dalam himpunan sebagai dasar dari madzhab Islam modern dan pembaharuan. Karya penafsiran mereka banyak memberikan corak tafsir yang disusun oleh pembaharu di seluruh dunia termasuk Hamka di Indonesia.
            Patut dimasukan juga salah satu metode tafsir yang relatif baru di kalangan umat Islam yaitu tafsir hermeneutik.Dalam pemikiran Islam kontemporer wacana hermeneutika sebagi solusi atas kebuntuan tafsir dalam menghadapi tantangan zaman dan menjadikannya sebagai sesuatu keniscayaan dan satu satunya pilihan ( the only alternatif ).Tokoh-tokoh pengplikasi tafsir hermeneutika modern untuk menafsirkan al-Qur’an ádalah : Fazlurrahman, Nasr Hamid Abu Zaid, Mohammed Arkoun,Amina Wadud dan sebagainya.[14]

H. Karakteristik dan kritik atas madzahib at-tafsir
            Penafsiran  teologis rasional umumnya mendekati al-Quran secara atomistik dan parcial yang terlepas dari konteks kesejarahan dan kesusastraannya demi menopang sudut pandang tertentu. Sebagi contoh teori Asyariyah tentang keabadian al-Qur’an pada dasarnya senada dan dibawah pengaruh teolog kristen dan pengaruh aliran Stoa tentang logos.[15]Penafsiran diatas pada faktanya merupakan tanggapan pada kebutuhan sejarah untuk membela pandangan Ahli Sunah sebagi counter attack faham Mutazilah yang menyatakan al-Qur’an mahluk. Penafsiran tersebut tidaklah dicuatkan dari al-Qur’an itu sendiri melainkan pemaksaan ide-ide asing yang diterapkan dalam menafsirkan al-Qur’an yang terlepas dari konteks sastra dan kesejarahannya.
            Termasuk dalam kategori diatas ádalah penafsiran  para filosof muslim. Upaya mereka pada dasarnya merupakan upaya untuk menyelaraskan tradisi filsafat Yunani-Helenis dengan al-Qur’an bahkan landasan berfikir mereka selalu mengacu kesana.Sejumlah besar gagasan asing mereka ketika membahas tentang Tuhan, kekekalan dunia, keNabian, penciptaan dan lainnya. Jadi meskipun rumusan teologis mereka dipandang sebagai kreasi gemilang dalam peradaban Islam namun rumusan mereka pada kenyataannya tidak berasal dari al-Qur’an. Ia merupakan bangunan teologi yang diimpor dari luar al-Qur’an.
            Pendekatan yang dipaksakan dalam menafsirkan al-Qur’an juga dilakukan oleh kaum sufi. Sebagi contoh ayat “ Kullu man aliha fanin  wa yabqo Wajhu Rabbika  dzu al-Jalali wa al-Ikram”difahami oleh sufi panteistik sebagai penjelasan mengenai kefanaan, yakni peleburan diri kepada manunggal yang tidak mengenal dualisme bahwa Tuhan telah berhenti sebagai obyek sembahan dan hamba sebaliknya berhenti sebagai penyembah yang terpisah. Ayat tersebut sejatinya menunjukan kemaha kuasaan, anugrah dan ancaman Allah serta tidak memberikan peluang sedikitpun untuk ditafsirkan secara liar oleh kaum sufistik.
            Usaha-usaha pemaksaan ide-ide luar kedalam al-Qur’an berlanjut sampai periode modern Islam.Penolakan Sir sayyid Ahmad Khan tentang mukzizat al-Quran dalam pengertian tradisional yakni sebagai kejadian supranatural sebenarnya dibangun dalam penemuan sains modern tentang hukum-hukum alam. Kecenderungan menafsirkan al-Qur’an dari perkembangan sains modern juga dapat ditemukan dalam tafsir Muhammad Abduh tentang Jinn, mahluk yang dianggap supranatural being oleh kalangan tradisional ini dalam al-Manar berulang kali dinyatakan sebagai jasad renik yang belakangan dapat diketahui melalui mikroskop yang disebut Mikroba.[16]
            Belakangan Hermeneutika masuk menjadi metode tafsir bahkan menjadi madzhab tersendiri bagi pemikir Islam liberal kontemporer. Hermeunetika merupakan adopsi dari metode penafsiran terhadab Bibel kitab suci kaum Nasrani. Ada beberapa perbedaan mendasar antara al-Quran dengan Bibel. Seperti dikemukakan HAR Gibb, Al-Qur’an tidak sama denga injil dan hanya dapat disepadankan denganYesus kristus itu sendiri. Dengan pengertian lain Injil atau bibel sama dengan hadits sebagi reportase tentang Sunnah Nabi dan kita ketahui injil memiliki pengarang seperti Matius,Lukas,Markus Barnabas seperti kitab hadits shahih Bukhori, Muslim dan lainnya.
            Menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan hermeneutik sama saja dengan merendahkan al-Qur’an seperti layaknya karangan Muhammad sehingga menurut hemat penulis penerapannya terhadap al-Qur’an masih perlu didiskusikan kalau memang tidak bisa ditolak.
I. Penutup
            Dari uraian diatas madzhab penafsiran al-Quran di kalangan umat Islam dapat diurai menjadi :
1. Penafsiran bi al-Matsur
2. Penafsiran dogmatis teologis rasional
3. Penafsiran mistis
4. Penafsiran sektarian
5. Penafsiran modern
            Terlepas dari kelemahan dan kelebihan masing masing aliran hendaknya penafsiran al-Qur’an harus memperhatikan beberapa aspek diantaranya : Al-Qur’an ádalah dokumen untuk manusia, pesan-pesan al-Qur’an bersifat universal, al-Quran diwahyukan dalam situasi kesejarahan yang konkret, konteks kesusastraan al-Qur’an serta pemahaman akan tujuan al-Qur’an itu sendiri. Terkhir patut dicatat juga usaha-usaha para mufasir dari masa ke masa secara husnuzhan merupakan upaya menjaga kontinyuitas syariat Islam di muka bumi sehingga kitab suci al-Quran tidak teralienasi dari umat Islam.
Wa Allahu a’lam bi as-Shawwab
DAFTAR PUSTAKA
Adian Husaini dan Abdurrahman al-Bagdadi, 2007, Hermeneutika dan Tafsir al-   Qur’an, Jakarta : Gema Insani press.
Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, 1997, Ulumul Qur’an ; Studi Kompleksitas al-     Qur’an, Yogyakarta : Titian Ilahi Press.
Hasbi Ashshiddieqy, 1992, Sejarah dan Pengantar Ilmu Qur’an/Tafsir,Jakarta :     Bulan Bintang.
Ignaz Goldziher, 2006, Madzhab Tafsir,terj. M. Alaika salamullah dkk.       Yogyakarta : eLSAQ Press.
Manna al-Qathathan, 1973, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an,terj. Mudzakir AS, Bogor : Litera Antar Nusa.
Rosihon Anwar,2000, Ulumul Qur’an,Bandung : Pustaka Setia.
Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean,1992, Tafsir Kontekstual,         Bandung : Mizan.


[1] Disampaikan pada Diklat Penyuluh Agama se-Jawa Barat  26 Maret 2008
[2] Widyaiswara BDK Bandung
[3] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an ( Pustaka setia : Bandung,2000 ) Hlm.
[4] Hasbi Ashiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Qur’an/Tafsir ( Bulan Bintang : Jakarta,1992 ) hlm.179
[5] Ignaz Goldziher, Madzhab Tafsir, Terj. M Alaika Salamullah dkk ( eLSAQ Press : Yogyakarta,2006 ) hlm.7
[6] Rosihon Anwar , op.cit. hal.215
[7] Manna’ al-Qathathan , Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an ,terj. Mudzakir AS ( Litera Antar Nusa : Bogor,1973 ) hal 477
[8] Ignaz Golziher Op. Cit. hal 80
[9] Fahd bin Abdurrahaman ar-Rumi, Ulumul Qur’an;Studi Kompleksitas al-Qur’an ( Titian Ilahi Press :Yogyakarta,1997 ) hal.202
[10] Ibid.
[11] Rosihon Anwar Op.cit. hal 223
[12] Ignaz Goldziher , Op.cit. 259
[13] Ibid 326
[14] Adian Husaini dan Abdurrahman al-Bagdadi, Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’an ( GIP: Jakarta,2007 ) hal xii
[15] Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir kontekstual  ( Mizan : Bandung,1992 ) hal 18
[16] Ibid hal 21

Tidak ada komentar: