Selasa, 06 Maret 2012

TUJUAN DAKWAH

TUJUAN DAKWAH[1]
Oleh : Shohib[2]

Hakikat dakwah merupakan usaha seruan atau ajakan kepada kesadaran atau mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna menurut ajaran Islam baik terhadap pribadi maupun masyarakat. Dengan  kalimat lain dakwah merupakan usaha orang beriman untuk mewujudkan Islam dalam segi kehidupan baik terhadap individu, keluarga, masyarakat. Dakwah merupakan aktualisasi iman dan kewajiban serta tugas suci  setiap muslim sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas masing-masing.



Dalam mewujudkan tujuan dakwah, ada pendapat yang menyatakan bahwa agama Islam didakwahkan dengan pedang dan kekerasan sehingga ada kesan bahwa Islam adalah agama paksaan. Hal ini mungkin diterima oleh orang-orang yang belum faham tentang hakikat agama Islam. Terlebih para orientalis sengaja membesar-besarkan pendapat ini dengan motif tertentu untuk menyuramkan sinar Islam dengan harapan menjauhinya.[3] Teori Islam disebarkan dengan pedang dan paksaan merupakan teori yang tidak mendasar dan ahistoris, bahkan bertentangan dengan prinsip dasar Islam  La ikroha fiddin ( Q.S. 2 : 256 )  dan Lakum dinukum waliyadin.(  Q.S. 109 : 6 )
            Dewasa ini ada sekelompok  umat Islam yang mengklaim diri sebagi yang paling benar berdakwah tidak hanya mengajak kepada kebaikan tetapi sekaligus melenyapkan kemunkaran dengan cara-cara yang tidak santun bahkan cenderung memaksakan kehendak. Dakwah demikian membuat orang was-was dan tidak tenang dalam menjalankan keyakinan dan pilihan hidupnya. Jika melihat kasus akhir-akhir ini ada sekelompok umat Islam yang menampilkan dakwah yang menakutkan. Perbuatan teror diklaim sebagai jalan dakwah ( jihad ). Pengertian jihad dalam agama Islam mempunyai arti berjuang dengan sungguh-sungguh dalam menegakan agama Allah. Oleh sebab itu kegiatan sosial, politik, ekonomi, pendidikan, kebudayaan dan dakwah adalah manifestasi jihad ( Q.S. 61 : 11-12 ). Keliru memilih sistem, keliru pula jalan yang ditempuh dan melesetlah tujuan yang harus dicapai.[4] Cara teror, paksaan merupakan pilihan yang keliru karena tak lebih dari premanisme dan tidak patut dilakukan oleh setiap muslim yang dituntut menjunjung nilai-nilai humanisme sesuai dengan prinsip ajaran Islam.
            Upaya pengharaman Ahmadiyah dan pemikiran  sekulerisme, pluralisme dan liberalisme dalam agama di Indonesia memicu pengrusakan, teror dan intimidasi oleh sekelompok umat Islam terhadap penganut Ahmadiyah dan penganjur ide-ide sekulerisme, pluralisme dan liberalisme. Pengharaman terhadap penyimpangan dari mainstream baik dalam pemahaman dan pengamalan agama boleh jadi benar dalam takaran imani namun cara-cara kekerasan dianggap kurang strategis dalam takaran metodologi dakwah serta jauh dari yang diajarkan Nabi SAW.
            Berdakwah dengan cara pemaksaan kehendak dan kekerasan tidak mengajak seseorang atau kelompok untuk memanfaatkan kemerdekaan pilihanya (Q.S.18 : 29), bahkan mereka sekuat tenaga untuk menistakan dan melenyapkan pilihan yang berbeda. Pada hakikatnya tidak ada seorangpun bahkan lembaga yang berhak dan memiliki otoritas imani atas manusia, sehingga tafsiranya mutlak untuk diikuti laiknya wahyu Tuhan. Tokoh agama dan lembaga keagamaan tidak berhak mengambil wewenang Tuhan untuk menilai sesat dan lurusnya iman seseorang ( Q.S. 4: 88; 4:143 )
            Keimanan seseorang tertanam di dalam dada. Hanya Allah SWT yang memiliki otoritas mutlak untuk mengukur dan menilainya. Manusia dapat menyingkap keimanan seseorang dari perbuatan baik atau buruk. Namun hal itu bukanlah ukuran pasti dan mutlak untuk mengukur hakikat keimanan seseorang. Keimanan hakiki hanya dapat dinilai dan diukur oleh yang maha mutlak. Perbedaan dalam memahami dan mengamalkan keagamaan adalah sunatullah. Faktanya di dalam sejarah peradaban Islam dari masa klasik hingga sekarang terdapat berbagai macam firqoh dalam teologi, madzhab dalam tafsir dan fiqh serta tarekat dala tassawuf dan itu sah-sah saja.
            Kesepakatan dalam satu iman dalam sekelompok orang boleh jadi benar untuk orang tersebut namun belum tentu bagi orang lain. Tuhan satu dalam tauhid namun berbeda dalam hal syariat. Allah sendiri menerangkan banyak jalan menuju kepada-Nya (  Q.S.29:69 ).        Al-Qur’an sendiri mengajarkan berdakwah adalah mengajak dan menuntun orang lain bukan dengan memusuhi bahkan memaksa apalagi dengan cara-cara kekerasan terhadap seseorang yang memiliki pilihan berbeda. Berdakwah justru menghidupkan pilihan pilihan yang berbeda dengan cara mengajak manusia ke jalan Tuhan dengan bijaksana ( hikmah ), memberi pelajaran yang baik ( mauidzah ) serta berdiskusi ( mujadalah ) dengan cara yang baik pula yang dijiwai nilai-nilai humanisme dalam rangka memanusiakan manusia.
            Alan Lightman ( 1999 ) mempertanyakan otoritas baik perorangan maupun lembaga yang gemar melakukan tirani makna atas perbedaan dan tafsiran. Karena peniadaan atas perbedaan dan tafsiran adalah penghianatan atas firman Allah Q.S 5 : 48.

Terjemahnya : ”  Dan kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu ” ( Q.S. 5 : 48 )
Menganjurkan kebaikan dan mencegah kemunkaran untuk mencapai tujuan dakwah dengan cara-cara kekerasan dan pemaksaan jauh dari nialai-nilai kemanusiaan dengan dalih apapun bukanlah dakwah yang dicontohkan Nabi SAW.

URGENSI DAKWAH
1. Kebutuhan Manusia Terhadap Dakwah
Kehidupan bangsa Arab pra Islam dikenal dengan sebutan Jahiliyah[5]. Kehidupan jahiliyah ditandai dengan prilaku manusia yang tanpa aturan serta jauh dari nilai nilai kemanusiaan, baik berkenaan dengan aqidah maupun akhlak. Dari segi tauhid penyimpangan ditandai dengan berkembangnya paganisme atau penyembahan terhadap berhala batu dan lainnya yang menghancurkan sendi-sendi aqidah. Sementara dalam bidang ahlak penyimpangan dalam bentuk kezaliman dan kekerasan yang biasa dilakukan terhadap orang lemah, yatim dan kaum perempuan.[6]
Pada abad V dan VI dunia seolah diambang kehancuran karena aqidah yang diharapkan dapat menopang peradaban umat manusia telah rusak dan musnah. Peradaban  manusia yang dibangun berabad abad lamanya menuju kehancuran. Manusia kembali biadab seperti sebelumnya karena tidak ada undang-undang yang berlaku. Sistem nilai dan tatanan sosial yang ditinggalkan agama Nasrani hampir tidak berbekas. Di tengah dunia menuju kehancuran diutuslah Nabi Muhammad SAW untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran.Kehidupan manusia di masa sekarang tidak lebih baik dibanding dengan kondisi tersebut meskipun penyebabnya berbeda. Ketegangan, kecemasan, keresahan dan ketegangan menghinggapi jiwa setiap orang baik di negeri-negeri yang secara formal menganut suatu agama maupun di negeri yang sekuler dan atheis.
Abad sekarang yang serba kompetitif serta manusia telah mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga menjadi semacam agama baru (psuedo agama) bagi sebagian manusia. Di samping mendewakan iptek manusia modern telah menentukan tuhan-tuhan baru bernama produksi, harta benda dan kenikmatan hidup ( materialisme dan hedonisme ). Keadaan sekarang dapat pula disebut dengan jahiliyah modern. Fakta-fakta diatas merupakan bukti jahiliyah bukanlah fase tertentu dalam sejarah kehidupan manusia, melainkan sistem hidup yang setiap saat dapat timbul baik pada masa lalu, masa kini maupun masa yang akan datang. Sebagai sistem hidup jahiliyah mengejawantah dalam pemikiran, konsep-konsep, sikap, prilaku dan kenyataan hidup.
Sebagai individu manusia membutuhkan keteduhan, ketenangan dan kedamaian. Disamping butuh akan kebebasan berfikir dan aktualisasi diri. Sebagai keluarga manusia butuh perlindugan, pengayoman, dan ikatan keluarga yang kuat. Sebagai masyarakat manusia membutuhkan saling mengenal, tolong menolong dan perdamaian seperti yang disinyalir Aristoteles yang menyatakan manusia sebagai zoon politikon. Peradaban modern terbukti tidak sanggup memenuhi kebutuhan kebutuhan dasar manusia tersebut.
Bertolak dari kondisi jahiliyah modern tersebut maka dakwah dan seruan kepada Islam sebagai suatu keharusan yang mutlak dan mendesak. Dengan demikian dakwah bukan hanya menjadi kebutuhan umat Islam tetapi merupakan kebutuhan kemanusiaan.

2. Kewajiban Berdakwah
Dakwah merupakan sesuatu kewajiban dalam ajaran Islam yang dibebankan Agama kepada umatnya baik yang sudah menganutnya maupun belum. Dalam masalah ini semua ulama sepakat. Sejauh ini perbedaan yang ada hanya berkisar pada apakah kewajiban ini bersifat individual, berlaku bagi setiap muslim (wajib ain) ataukah kewajiban bersifat kolektif, berlaku untuk kelompok tertentu sebagai representasi kelompok lain sehingga ketika tugas dakwah telah dilaksanakan suatu kelompok gugur kewajiban kelompok lain dalam komunitas yang sama (wajib kifayah). Sebagian ulama berpendapat bahwa dakwah merupakan kewajiban individu. Sekalipun demikian dakwah tetap memerlukan kelompok khusus yang ahli dan memiliki kemampuan manajerial dalam melaksanakan tugas dakwah. Sebagian lain berpendapat bahwa dakwah merupakan kewajiban bagi kelompok tertentu saja dan bukan kewajiban bagi setiap individu.
            Kedua pendapat tersebut masing masing didasari pada dalil-dalil yang akurat. Pendapat pertama yang menyatakan dakwah merupakan kewajiban individu (wajib ain), setiap muslim yang sudah akil baligh, terkena kewajiban dakwah (taklif dakwah). Argumen pendapat ini  diantaranya merujuk pada al-Qur’an Surat Yusuf ayat 108 yaitu :
                Artinya : Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik".( Q.S.Yusuf :108 )
            Pengikut seorang Nabi adalah orang orang beriman. Untuk itu  setiap orang beriman pengikut Nabi wajib berdakwah sebagaimana Nabi telah melakukan dakwah. Argumen kedua merujuk pada Q.S Ali Imran ayat 104 dan 110 :
                 Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”( Q.S : 104 )
               Artinya : “kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.( Q.S Ali Imran : 110 )                                                            
           Menurut pendapat ini  kata ( min ) dalam al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 104 ini lilbayan ( menjelaskan ), bukan liltaba’id ( sebagian ). Dengan demikian menurut pendapat ini, ayat tersebut bermakan :” Jadilah kamu semua umat yang selalu menyeru kebajikan”. Namun meskipun dakwah merupakan kewajiban setiap muslim, dakwah tetap membutuhkan adanya kelompok khusus yang profesional yang menguasai manajerial dakwah yang dalam teknis pelaksanaanya perla dilaksanakan secara kolektif ( bi shurat jamaiyyat ). Dalam hal ini, mereka mengemukakan beberapa argumen antara lain : Pertama, tugas dan tanatangan dakwah semakin berat. Kedua, dalam sirah Nabawiyah Rasulullah SAW memerintahkan sahabat agar hijrah ke Dar-al-Islam, agar mereka dapat menyatukan mereka. Ketiga, di dalam al-Qur’an terdapat perintah agar kaum   muslim saling tolong menolong dalam kebajikan.                                                    
                Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” ( Al-Maidah : 2 )
            Ayat ini seperti yang dikemukakan Abd al-Karim Zaidan dalam Ushul al-Dakwah merupakan dalil yang menunjukan perlunya dakwah secara kolektif ( al-tajammu’ wa al-dakwa tal-jamaiyyat ) bahkan menjadi dalil yang mewajibkan dakwah kolektif bilamana tujuan dakwah tidak tercapai tanpa itu.
            Berbeda dengan pendapat pertama, pendapat kedua berpendapat bahwa dakwah bukan kewajiban individu, melainkan kewajiban sekelompok tertentu saja, yaitu para ulama atau oang orang yang mempunyai kemampuan untuk itu atau biasa disebut pemuka-pemuka agama (rijal al-din). Ulama atau pemuka agama adalah sebagian dari umat Islam dan bukan keseluruhan umat Islam. Alasannya, pertama, berdakwah harus memiliki persyaratan ilmu. Seseorang tidak mungkin mengajak orang lain dengan benar apabila tidak memiliki pengetahuan atau dengan bahasa lain seseorang tidak mungkin mengajak orang lain berbuat baik kalau ia sendiri tidak mengerti kebaikan itu sendiri. Oleh sebab itu dakwah kewajiban para ulama dan kelompok khusus bukan kewajiban orang awam. Pendapat ini menyandarkan argumennya pada Q.S al-Taubat : 122 ) yaitu :
               Artinya : ”Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” ( Q.S. al-Taubat : 122 )
            Ayat ini jelas mewajibkan dakwah hanya kepada sekelompok orang saja, bukan kepada semua orang. Menurut pendapat kedua, ayat ini berarti tidak seharusnya orang-orang mukmin pergi semua berperang, tetapi seharusnya ada sekelompok orang mukmin yang tetap tinggal memperdalam ilmu agama dan melakukan dakwah di tengah-tengah masyarakat.
            Argumen selanjutnya Q.S. Ali Imron ayat 104 difahami bahwa kata (min)
Dalam ayat ini dimaknai sebagian (liltabaidh). Alasanya bahwa di dalam masyarakat pasti ada orang yang tidak mampu berdakwah, melakukan amar makruf nahi munkar. Dari dua pendapat ini pendapat pertama lebih kuat dan lebih shahih karena pendapat pertama sudah mencakup pendapat kedua, tetapi tidak sebaliknya.[7]
             
TUJUAN DAKWAH
1. Tujuan Umum
Dakwah adalah seruan atau ajakan kepada kesadaran atau mengubah situasi ke situasi yang lebih baik dan sempurna menurut ajaran Islam baik terhadap pribadi maupun terhadap masyarakat[8]. Pada dasarnya dakwah dimaksudkan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi umat manusia baik dalam kehidupan manusia di dunia maupun akhirat kelak. Kebahagiaan ini tentu tidak dapat dicapai manakala terjadi kerusakan di tengah-tengah masyarakat, baik ketidak adilan, kemunkaran dan kejahatan kejahatan lainya. Untuk itu dakwah sesungguhnya bermuara pada hal-hal yang menjadi pangkal tolak kebahagiaan dan kesejahteraan serta kesempurnaan umat manusia.
Dengan merujuk pada Q.S Ali Imran : 110 ;
Terjemahnya : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” ( Q.S. Ali Imran : 110 )

                Tujuan dakwah sesungguhnya adalah terbentuknya masyarakat Islam dengan predikat Khairu Ummah, yaitu masyarakat Islam yang benar secara aqidah dan kuat secara sosial politik, ekonomi, dan kultural sehingga kepemimpinan dunia dapat dipegang dan berada di tangan mereka. Bertolak dari argumen diatas maka sasaran dakwah bertumpu pada Makrifat Allah dan Tauhid Allah dan Islam.
            Makrifat Allah bermakna memperkenalkan kepada manusia Tuhan mereka yang sebenarnya ,yaitu Allah SWT dan membimbing manusia agar  menyembah hanya kepada Nya. Dengan demikian tujuan dakwah yang terpenting adalah Makrifat Allah dan Tauhid Allah.
            Dakwah bertujuan pula agar manusia menjadi muslim, yaitu agar tunduk dan berserah diri kepada Allah dengan melepaskan diri dari penuhanan terhadap sesama mahluk dan hanya menuhankan Allah semata. Islam menjadi misi semua nabi dan utusan Allah dan menjadi ajaran inti dari setiap agama yang benar dari nabi Ibrahim sampai nabi Muhammad saw membawa misi yang sama, yaitu Islam.
            Islam menjadi inti dari semua agama yang benar, menghendaki agar manusia melepaskan diri dari pengaruh hukum dan nilai-nilai manusia dan hanya tunduk dan patuh kepada hukum dan undang-undang Allah. Untuk itu Islam di bawa Nabi Muhammad saw dan nabi sebelumnya. Kehadiran mereka membawa misi dan tujuan yang sama, yaitu membawa manusia kepada hukum Allah. Dengan kata lain manusia harus kembali kepada al-Islam, dengan menjadikan syari’at sebagai hukum dan undang- undang yang mengatur kehidupan mereka dalam segala aspek kehidupan.
            Tujuan dakwah tersebut merupakan tujuan secara umum yang terfokus pada aqidah dengan segala implikasinya. Aqidah memang menjadi titik tolak segala  kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.
            Tujuan dakwah juga mengajak manusia kepada suatu bentuk kehidupan yang sempurna, kehidupan dalam semua bentuk dan seluruh maknanya yang sempurna. Firman Allah SWT :
 Terjemahnya :  “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan Sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” ( Q.S. al-Anfal : 24 )
Ayat tersebut menunjukan dengan jelas tujuan dakwah Islam yaitu menuju kepada kehidupan yang sempurna, kehidupan dalam segala bentuk dan aspeknya. Menurut Sayyid Qutub ada lima hal pokok yang akan mengantarkan manusia memperoleh kehidupan yang sempurna.
Pertama, aqidah tauhid yang akan membebaskan manusia dari penyembahan selain Allah SWT (prinsip tauhid). Kedua, seruan kepada hukum-hukum Allah SWT dalam arti ajakan untuk membangun dan mengatur kehidupan dengan undang-undang Allah (prinsip syari’ah). Ajakan ini akan menempatkan manusia sejajar di muka hukum, terlepas dari kepentingan dan dominasi perorangan atau kelompok tertentu yang berpengaruh dalam masyarakat. Ketiga, seruan kepada konsep hidup atau sistem kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia, yang tidak lain adalah sisitem Islam itu sendiri. Keempat, ajakan kepada kemajuan dan kemuliaan hidup dengan aqidah dan sistem Islam untuk kemudian membebaskan manusia dari perbudakan dan penyembahan terhadap sesama manusia. Kelima, seruan kepada jihad Islam untuk dapat mewujudkan dan mengokohkan sistem Islam di muka bumi.

2. Mewujudkan Masyarakat Islami
Sebagai sistem hidup yang sempurna, Islam tidak hanya dalam tataran pemikiran (teoritis) semata, tetapi dalam tataran praktis, mengatur semua aspek kehidupan manusia secara realistis dan obyektif. Hal ini bermakna Islam harus di aplikasikan dalam kehidupan nyata dengan membangun komunitas dan masyarakat Islam. Kegiatan dakwah pada hakikatnya adalah usaha membangun dan mewujudkan masyarakat Islam.
            Secara teknis pembentukan masyarakat Islam harus dimulai dari pembentukan individu-individu muslim (takwin al-fard al- muslim), kemudian keluarga muslim (al-bait al-muslim), dan selanjutnya masyarakat muslim (mujtama’ Islami). Individu-individu muslim dan keluarga muslim merupakan komponen pembentuk masyarakat Islami. Bahkan keluarga muslim merupakan miniatur masyarakat Islam. Oleh sebab itu Islam sangat memberikan perhatian tinggi terhadap pembinaan keluarga. Bahkan Islam dapat dikatakan sebagai agama keluarga ( din al-usrah ).[9]
            Seorang muslim harus mengarahkan dakwahnya terhadap keluarga terlebih dahulu.tanpa memperhatikan aspek pembinaan keluarga, maka cita-cita untuk membentuk komunitas dan masyarakat Islam, akan sulit terwujud. Keluarga merupakan manifestasi dari sistem Islam itu sendiri.

3. Mewujudkan Pemerintahan Islami
            Ada dua pendapat mengenai pemerintahan Islami di kalangan umat Islam. Pertama, golongan Islam struktural yang menyatakan untuk membentuk masyarakat Islami harus di bentuk pemerintahan Islam dengan hukum-hukum Islam secara tekstual. Pendapat kedua, kelompok Islam kultural yang menyatakan dalam membangun masyarakat Islami tidak harus membentuk Negara yang berdasarkan Islam selagi masyarakat muslim masih bebas menjalankan perintah agamanya.
            Wacana Islamisasi baik kultural maupun struktural di kalangan umat Islam masih menjadi perdebatan hingga saat ini, namun keduanya sepakat bahwa pemeintahan kaum muslimin harus Islami baik secara tekstual maupun kontekstual sebagai suatu tujuan dakwah dalam rangka membentuk masyarakat Islam yang sempurna.
Menurut B.J Boland menegaskan dakwah pada dasarnya mengandung pengertian Islamisasi menyeluruh terhadap masyarakat. “ That da’wah mean the propagation of Islam not only by preaching and publications, but also by deed and activities in all areas of social life, in other word that da’wah had to be comprehensive Islamization of society “ [10]. Dakwah berarti seruan Islam bukan hanya ceramah dan publikasi tetapi meliputi seluruh aktifitas kehidupan masyarakat, dengan kata lain dakwah berarti Islamisasi menyeluruh terhadap masyarakat termasuk system pemerintahannya.
Hal senada juga ditegaskan dalam al-Qur’an Surat al-Baqoroh : 208 ;
Terjemahnya :  “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” ( Q.S. al-Baqoroh : 208 )

KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah diuraiakan maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
1. Tujuan dakwah yang sangat mulia harus dicapai dengan cara-cara yang muliasesuai dengan tuntunan Islam.
2.  Dakwah sangat dibutuhkan manusia ketika kebutuhan fundamental manusia  tidak terpenuhi atau dunia diambang kehancuran baik aqidah maupun ahlak.
3.  Kewajiban dakwah merupakan tugas bagi setiapmuslim baik individu maupun  kelompok namun dakwah harus dimanaj secara profesional.
4.  Tujuan dakwah secara umum adalah Makrifat Allah, Tauhid Allah dan Islam  secara luas dakwah bertujuan membangun sistem Islam baik di masyarakat   maupun di pemerintahan ( Islam Kafah )

DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an Karim dan Terjemahnya, Depag RI, 2005
Ahmad Amin, Fajr Islam ( Syirkat at-taba’at al-fanniyah al-Islamiyyah, 1975 ) cet.11
Ahmad Subandi,    Ilmu Dakwah ( Bandung: Syahida, 2000 ) cet.1
A.Ilyas Ismail,  Paradigma Dakwah Sayyid Quttub ( Jakarta : Penamadani, 2006 ) cet.1
B.J. Boland, The Strunggle of  Islam in Modern Indonesia ( The Hague Martinus Nijhof
            1971 )
Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an,terj. Anas Mahyudin ( Bandung; Pustaka Salman,
            1983 ) cet.1
H.M. Hafi Anshari,  Pemahaman dan Pengalaman Dakwah ( Surabaya : al-Ikhlas, 1993 ) cet.1
Sayyid Quttub,  Fi Zhillal al-Qur’an ( Beirut : Dar al-Syuruq,1982 ) jilid.IV
[1] Disampaikan pada Diklat Penyuluh Agama Islam se-Jawa Barat 29 Maret 2008
[2] Widyaiswara BDK Bandung
[3] H.M Hafi Anshari, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah ( Surabaya : al-Ikhlas,1993 ) cet.ke-1 hlm.81.

[4] Ibid. hlm.87.
[5] Jahiliyah atau jahil memiliki dua makna, yakni lawan ilmu ( dlid al-ilm ) atau lawan sikap santun ( dlid al-hilm ). Ahmad Amin , Fajr al-Islam, Syirkat al-thaba’at al-Fanniyyah al-Islamiyyah, 1975, cet.ke-11,hlm 69-70.
[6] Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin ( Bandung, Pustaka Salman, 1983 ) cet-1, hlm. 54
[7] A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qutub ( Jakarta, Penamadani, 2006 ) cet. Ke-1 hlm 201
[8] Ahmad Subandi, Ilmu Dakwah, ( Bandung, Syahida, 2000 ) hlm.iii
[9] Sayyid Qutub, Fi Zhilal al-Qur’an ( Beirut, Dar-al-Syuruq,1982 ) Jilid IV , hlm.3619
[10] B.J Boland, The Strunggle of Islam in Modern Indonesia, ( The Hague Martinus Nijhoff, 1971 ) hlm.193-194.

Tidak ada komentar: