Senin, 23 Juli 2012

CITRA PEREMPUAN DALAM BUDAYA SUNDA

Bagaimanakah kedudukan wanita di Jawa Barat? Khususnya dalam perspektif budaya Sunda? Setidaknya ada dua pandangan yang berlawanan tentang hal ini. Pertama mereka yang memandang bahwa Budaya Sunda sangat menghormati kedudukan wanita, dan kutub berikutnya yang secara ekstrim menunjukkan bahwa wanita Sunda seringkali terpojokkan pada satu posisi yang lebih buruk mengenai citra dirinya.

Pandangan pertama setidaknya dapat diwakili oleh Djadja Saefullah, Ajip Rosidi, Jakob Sumardjo, Djasepudin, Chye Retty Isnendes dan Atep Kurnia.[1] Menurut Saefullah, wanita di komunitas Sunda dihormati sedemikian rupa, menurutnya, sikap ini dipengaruhi oleh nilai-nilai tradisional yang tumbuh dalam budaya Sunda maupun oleh agama Islam yang secara nyata merupakan agama yang paling kuat berakar dalam kehidupan orang Sunda.[2] Suatu pembuktian kultural untuk teori ini adalah ketika dikatakan Sunda itu Islam dan Islam itu Sunda adanya peribahasa Indung tunggul rahayu bapa tangkal darajat alias tiada keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan tanpa doa ibu dan bapak. Sebab, indung nu ngakandung bapa nu ngayuga, tak akan ada anak tanpa kasih sayang ibu dan bapak. Jelas, kedua peribahasa tersebut amat menghormati posisi indung atau ibu. Ibu diucapkann terlebih dahulu sebelum bapak.[3] Menurut Djaspudin, konsep ini sangat mewakili semangat Islam yang diajarkan Nabi Muhammad tentang penghormatan kepada seorang ibu yang bahkan disebutkannya sampai tiga kali baru kepada seorang ayah. Demikian pula halnya dalam konteks budaya Sunda. Selanjutnya menurut Saefullah hal ini terlihat memiliki korelasi makna dengan konsep Islam yang mengajarkan menghormati ibu merupakan salah satu pintu menuju sorga. Ini berarti, seseorang tak dapat masuk sorga tanpa doa yang dipanjatkan ibunya.[4]
Fakta lain, misalnya sebagaimana diketengahkan oleh Kahmad yang bukan hanya melihat dari korelasional makna muatan budaya Sunda dengan pesan-pesan Islam, melainkan juga data-data statistik di Jawa Barat yang dikutipnya, bahwa menurut Biro Pusat Statistik tahun 2000, Pemeluk Islam di Jawa Barat (waktu itu) mencapai 37.606.317 orang, ini berarti 98 % dari total penduduk Jawa Barat.[5] Disamping itu menurutnya juga didukung oleh sarana keagamaan (mesjid) yang mencapai 172.523; 4.722 pesantren; 150.927 orang kyai; 35.95 orang ulama dan 36.201 orang mubaligh. Jadi, menurutnya kondisi ini menunjukkan bahwa agama orang Jawa Barat yang dalam hal ini berarti orang Sunda adalah agama Islam. Lebih jauh menurutnya keadaan demikian sangat tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya proses asimilasi kebudayaan antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan Sunda di Jawa Barat sehingga pendapat yang menyatakan Islam adalah Sunda dan Sunda adalah Islam tepat adanya.
Sementara itu Menurut Rosidi, keyakinannya yang menyatakan bahwa wanita Sunda memiliki kedudukan yang terhormat dalam perbendaharaan budaya urang Sunda berhubungan dengan salah satu legenda Sunda kuno bernama Sunan Ambu [Dewa Wanita] yang menjadi simbol keagungan di Buana Agung (dunia Langit yang sakral).[6] Hal serupa sebagaimana dibedah dengan apik oleh Sumardjo melalui telaah hermeneutiknya terhadap pantun-pantun Sunda telah menunjukkan bahwa pada keyakinan Sunda kuno wanita menempati posisi yang demikian penting dalam kosmologi orang Sunda.[7]  Bahasannya yang mendalam mengenai kedudukan Sunan Ambu di Kahyangan dengan para Pohaci sebagai pembantunya dalam mitologi Sunda mengantarkan pemahaman bahwa wanita dalam keyakinan spiritual orang Sunda menempati posisi yang agung tersendiri. Ulasan lain dari Sumardjo, juga ketika membedah mitologi Dewi Sri (yang juga sering disebut Nyi Pohaci) yang akhirnya karena ‘ketentuan hyang Agung’ harus berkorban karena pola hubungan yang unik dengan ‘saudara’ kembarnya Kalabusu dan Budugbusu yang dari pengorbanannya melahirkan tanaman padi menunjukkan bahwa alam pikir orang Sunda terpatri pada keududukan dan pengorbanan wanita demi kebaikan umat manusia (orang Sunda).[8] Melalui telaahnya tersebut sampai pada kesimpulan bahwa dalam pikiran Sunda lama wanita Sunda bukanlah pelengkap bagi laki-laki melainkan justru laki-laki yang menjadi subordinan bagi wanita.
Namun demikian, pada masa tertentu (di bawah tahun 1980) kedudukan wanita dalam beberapa hal juga dibatasi. Di satu pihak wanita demikian dihormati, sementara di pihak lain dia tidak sebebas laki-laki untuk pergi ke luar desa atau berhubungan dengan dunia luar. Wanita tidak dapat dipilih untuk memegang jabatan puncak dalam komunitas.[9] Dewasa itu, pakem budaya yang demikian kaku masih kuat mencengkram kaum wanita, sehingga jargon awéwé pondok léngkah atau awéwé dulang tinandé masih menjadi uger-uger kebebasan wanita di Jawa Barat. Penelitian Palmer dalam Saefullah, misalnya, laporannya pada tahun 1967 menunjukkan bahwa wanita Sunda tidak sebebas laki-laki dalam menghadiri rapat-rapat desa.[10] Mereka masih mendominasi sektor domestik di rumah tangga daripada memasuki ranah publik untuk memegang suatu tanggungjawab yang lebih besar. Hal serupa dikuatkan Wessing (1978) dalam Saefullah bahwa kalaupun wanita harus keluar desa, maka niscaya ia didampingi seorang laki-laki dari keluarganya, namun, menurutnya, hal ini dilakukan justru untuk melindungi kehormatan wanita tersebut.[11]
Jauh dari itu, bahkan dimasa pergulatan perjuangan Sartika untuk meraih tempat yang ‘setara’ dengan kaum pria di masa itu, wanita Sunda tampak harus menelan pil pahit termarjinalkan dari komunitas sosial yang kuat oleh hegemoni budaya patriarkhi.[12] Tampaknya cukup beralasan suatu pandangan yang menyatakan bahwa marjinalisasi kedudukan wanita dalam konstalasi budaya Sunda terpngaruh oleh perjalanan orang Sunda sendiri yang harus mengalami dua model ‘penjajahan’. Pertama terjajah oleh bangsa asing di luar Nusantara, nyatanya oleh bangsa Belanda dan Jepang yang jelas telah memberikan warna tersendiri dalam alam pikir orang Sunda. Sunda lama yang menjunjung kedudukan wanita tergerus arus kebudayaan asing yang menempatkan dominasi kaum laki-laki atasnya. ‘Penjajahan’ kedua adalah ketika Sunda harus tunduk secara kultural maupun Politik pada kekuatan Mataram, hal inipun memberikan warna tersendiri dalam cara berpikir dan bertindak bagi orang Sunda. Menurut Kahmad (2009), ada peralihan budaya dari egaliter dan sederhana (masyarakat pe-huma) menuju masyarakat yang feodal.
Karena hubungan antara komunitas pedesaan dengan kehidupan perkotaan menjadi semakin dekat dan wanita mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, peranan wanita di Jawa Barat cenderung berubah. Melalui organisasi wanita Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (gerakan pendidikan kesejahteraan keluarga) yang dipimpin oleh istri Kepala Desa, wanita belajar untuk memahami gaya hidup baru yang didapat dari komunitas kota. Wanita menikah yang suaminya bekerja di luar desa terdorong untuk mewakili suami mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial dan politik setempat.
Adanya fakta sejarah sebagaimana diulas terdahulu ternyata tidak secara langsung mengangkat kembali citra wanita Sunda dalam konstalasi budaya Sunda secara otomatis, meskipun juga dewasa ini kaum wanita dapat dikatakan telah berhasil, ‘merebut’ kedudukan yang seimbang dengan mitranya. Hal inilah yang menjadi alasan adanya pandangan kedua terhadap wanita Sunda tersebut yang memojokannya ke sudut marjinal dalam konteks sosial orang Sunda. Pandangan demikian, sejatinya tidak sedikit yang dipengaruhi stereotif budaya, Chye Retty Isnendes misalnya mengulas tuduhan stereotif tersebut dari salah satu majalah yang terkesan menyudutkan wanita Sunda.[13] Dikatakan bahwa mereka adalah makhluk yang menyembunyikan kemalasan dibalik kemolekan tubuh, dan melalui tubuh pula menjadi salah satu alat penpencapaian tujuan. pandangan itu juga dikontraskan dengan kebudayaan suku lain  (Jawa) yang dipujikan sebagai pekerja keras. Tentu saja pandangan penuh semangat stereotif ini sangat kontras dengan semangat Sunda lama tentang wanita Sunda yang agung dan memiliki watak pekerja keras.
Disamping itu ada kenyataan lain, posisi wanita Sunda dalam kehidupan sastra Sunda ternyata lebih banyak digambarkan sebagai subordinan dari laki-laki. Adanya gambaran demikian juga patut diselidiki apakah kesan itu lahir hanya dari imajinasi pengarang atau memang dipengaruhi oleh world view pengarang itu sendiri. Justru pengarangnya dari kaum wanita juga.[14] Keadaan lain yang menunjukkan masih perlunya penetapan kembali kedudukan wanita sebagaimana yang digambarkan dalam perspektif alam pikir Sunda lama, adalah ketika dewasa ini kaum wanita Sunda menjadi bagian penting dari konstelasi sosial budaya orang Sunda namun ternyata penghargaan kepada mereka masih jauh dari semestinya. Sebutlah misalnya pengamatan Djaspudin terhadap realitas posisi wanita Sunda yang banyak menjadi tulang punggung ekonomi keluarga namun justru timbal baliknya adalah menghadapi resiko poligami tanpa persetujuan lebih dahulu atau bahkan perceraian tanpa pilihan lain. Menurutnya hal ini masih menunjukkan budaya patriarkhi masih menjadi hegemoni atas kedudukan wanita.
Adanya dua pandangan demikian, yang satu melihat dari perspektif cita ideal baik atas penelusuran jejak filosofis budaya Sunda maupun nilai-nilai agung yang terkandung di dalamnya, baik original maupun hasil perpaduan yang unik dan luruh menjadi satu kebudayaan yang tunggal antara Islam dan Sunda, mengenai kedudukan wanita di Sunda. Maupun pihak lain yang memandangnya dengan semangat stereotif sebagai bekas pengalaman ‘sejarah’ menjadikan wanita Sunda berada dalam jembatan perjuangan yang masih harus dipertegas mengenai jatidirinya. Namun demikian, tampaknya semangat sejati orang Sunda dalam memandang kedudukan wanita di Sunda dapat dikatakan sangat memuliakannya. Disamping cita ideal itu perlu semakin ditegaskan dalam alam realitas.




[1]Untuk tidak mengurangi rasa hormat kepada tokoh-tokoh lain yang giat dalam pembelaan kedudukan wanita dalam budaya Sunda, penyebutan beberapa nama ini adalah beberapa contoh belaka, bukan berarti hanya yang disebutkan di atas belaka tokoh-tokoh pemerhati Sunda yang  membela Wanita Sunda tentang identitasnya.
[2]Saefullah, Modernisasi Perdesaaan dampak Mobilitas Penduduk, (Bandung: AIPI, 2008), hlm. 100.
[3]Djaspudin, ‘Cara Sunda Menghormati Wanita’, Pikiran Rakyat, (Bandung), Senin, 02 Maret 2009.
[4] Saefullah, loc. cit.
[5]Dadang Kahmad, ‘Agama Islam dan Budaya Sunda’. [online]. Tersedia:  dadangkahmad.blogspot.com. Jumat, 14 maret 2009. (1 Oktober 2009).
[6]Ajip Rosidi, ‘Ciri-ciri Manusia dan Kebudayaan Sunda’, Edi S Ekajati (Ed), Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, (Bandung : Girimukti Pasaka, 1984), hlm. 155.
[7]Jacob Sumardjo, Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-tafsir Pantun Sunda, (Bandung : Kelir, 2003), hlm. 239-243.
[8]Jacob Sumardjo, ‘Mitos Nyi Pohaci’ Pikiran Rakyat, (Bandung) Sabtu, 29 Januari 2005, rubrik Khazanah.
[9]Saefullah, loc. cit.
[10]Ibid.
[11]Ibid., hlm. 101.
[12]‘Dewi Sartika, Jasa Besar Terlupakan’. [online]. Tersedia: http://www.pikiran-rakyat.com. (1 Oktober 2009).
[13]‘Citra Negatif Wanita Sunda’.[online]. Tersedia:  Ayi Purbasari’s MP.com. (1 Oktober 2009).
[14]Ulasan tentang ini lebih jauh dapat dilihat dalam Atep Kurnia, ‘Sastrawan Sunda dan Perempuan’. [online]. Tersedia: Pikiran Rakyat online.com. (1 Oktober 2009).

Tidak ada komentar: