Senin, 14 Juni 2010

Psikologi Penyuluhan Agama

oleh Firman Nugraha

A. Pendahuluan
Kegiatan penyuluhan agama sesungguhnya merupakan pekerjaan yang berat jika kita sadari betapa untuk mengajak manusia yang multi dimensi ini menuju pada satu titik kesepahaman bersama, terhambat oleh kenyataan itu sendiri bahwa manusia yang menjadi objek atau sasaran penyuluhan ternyata terdiri dari beragam dimensi. Manusia secara kasar terbangun dari unsur fisik dan psikis, lain dari itu secara psikis ini terhimpun pula dari beragam unsur batiniah lainnya seperti pikiran dan perasaan.


Betapa suatu kegiatan penyuluhan amat mungkin gagal karena adanya kekeliruan dalam membangun kesepahaman bersama mengenai tujuan yang ingin di capai. Kegagalan ini buah dari kekeliruan dalam proses penyesuaian diri antara seorang Penyuluh Agama dengan masyarakat baik secara kelompok maupun individu sebagai sasaran bina. Sebaik apapun suatu kegiatan tertera dalam program kegiatan dan direncakan dengan hebat, namun ketika terjadi kegagalan dalam penyesuaian diri tersebut yang menghasilkan tidak simpatiknya sasaran bina terhadap pribadi seorang penyuluh agama maka nilai perencanaan kegiatan tersebut menjadi menurun.

Bagaimana memahami perilaku orang lain, dan bagaimana melakukan penyesuaian diri yang baik merupakan kajian dari psikologi, untuk itu seorang penyuluh agama setidaknya harus memiliki konsep dasar pemahaman awal mengenai psikologi terutama kaitannya dengan pelaksanaan penyuluhan agama.

B. Pengertian Dan Peranan Psikologi Penyuluhan Agama
1. Pengertian Psikologi Penyuluhan Agama
a. Memahami Psikologi
Psikologi secara kebahasaan merupakan turunan dari Bahasa Yunani yaitu dari kata psyche dan logos. Psyche artinya jiwa sedangkan logos artinya ilmu, jadi secara bahasa psikologi adalah ilmu jiwa. Pengertian ini masih umum, karena pemahaman mengenai jiwa itu sendiri masih beragam. Sarlito misalnya memahamkan bahwa sejatinya yang dapat dikaji dari jiwa manusia adalah yang tampaknya saja, dalam arti gejala yang tampak dalam perilaku. Jadi dalam perspektif ini perilaku manusia merepresentasikan kondisi kejiwaanya.
Sementara itu dalam Oxford Dictionary, Psyche pun memiliki banyak makna, seperti soul, mind dan spirit. Demikian pula halnya dalam term dunia Islam, jiwa dimaknai juga dengan nafs, ruh, bashirat dan hayat. Dengan demikian, dari adanya keragaman pemahaman ini akan melahirkan definisi yang berbeda-beda antar ahli pada akhirnya akan melahirkan mazhab pemikiran tersendiri meskipun dalam besaran ilmu jiwa tadi. Namun demikian, bukan berarti kita harus berkecil hati dalam memaknai ilmu yang tampak rumit ini, setidaknya kita dapat melhiat dari definisi yang diberikan para ahli.
Wilhelm Wundt, mendefinisikan psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari atau menyelidiki pengalaman yang timbul dalam diri manusia, (pengalaman panca indra, merasakan suatu, berpikir, berkehandak) bukan mempelajari pengalaman di luar diri manusia, karena pengalaman itu menjadi objek kajian disiplin ilmu alam. Sementara itu, John C. Ruch mendefinisikan psikologi sebagai ilmu tentang aktivitas perilaku dan mental. Berbeda dengan dua tokoh sebelumnya, Ernest Hilgert menganggap psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan lainnya.
Definisi-definisi istilah di atas pada dasarnya membatasi bahwa kajian psikologi adalah pada gejala kejiwaan yang tampak dalam perilaku seseorang, yang dalam hal ini Ernest lebih luas lagi memasukan hewan lainnya sebagai sasaran kajian.

b. Makna Psikologi Penyuluhan Agama
Psikologi penyuluhan agama apa maknanya? Jika anda sudah memahami makna psikologi di atas dan anda sudah mengerti tentang hakikat penyuluhan agama itu sendiri, anda dengan sendirinya akan memahami psikologi penyuluhan agama. Secara sederhana psikologi penyuluhan agama dapat dikatakan sebagai kajian yang mendalam tentang perilaku manusia dalam aktivitas penyuluhan agama. Perilaku manusia dalam perspektif kegiatan penyuluhan agama meliputi perilaku objek penyuluhan agama maupun anda selaku penyuluh agama itu sendiri.
Mengapa demikian? Karena dalam aktivitas penyuluhan agama sesungguhnya berlaku proses interaksi antara anda selaku penyuluh agama dengan objek atau sasaran bina. Proses interaksi ini diisi salahsatunya dengan peristiwa penyesuaian diri antara penyuluh agama dengan sasaran bina. Proses penyesuaian diri ini keberhasilannya tergantung pada kesiapan masing-masing pihak untuk dapat saling membuka diri dan menyatakan minatnya secara positif. Penjelasan lebih jauh tentang penyesuaian diri ini akan dibahas pada bab berikutnya. Intinya dalam pemahaman mengenai pesikologi penyuluhan agama ini adalah dengan memahami kondisi kejiwaan sasaran bina, yang tampak dalam perilakunya dapat melakukan penyesuaian diri yang wajar, yang akhirnya mampu menentukan langkah-langkah positif dalam mendorong sasaran bina untuk mengikuti seruan atau ajakan penyuluh agama baik dalam konteks keagamaan maupun dalam konteks pembangunan.

2. Peranan Psikologi dalam Penyuluhan Agama
Pada bagian terdahulu telah mempelajari tentang pengertian psikologi. Kali ini anda akan merumuskan suatu bentuk manfaat dari mempelajari psikologi terhadap aktivitas penyuluhan agama. Psikologi membantu para tenaga penyuluh agama, setidaknya menurut Jamaludin Kafie pada tiga hal, yakni:
a. Psikologi memungkinkan seorang penyuluh agama untuk mengenal berbagai konsep atau prinsip yang dapat menolongnya menelaah tingkah laku manusia dengan lebih kritis dan dapat memberikan pengertian yang lebih mendalam mengenai tingkah laku tersebut.
b. Psikologi memberikan keterampilan yang dapat digunakan seorang penyuluh agama untuk mengolah hasil berbagai kegiatan psikis manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk yang berketuhanan dalam proses dakwah atau penyuluhan agama. Misalnya, menafsirkan gejala kehendak yang melahirkan tingkah laku bermotivasi, gejala perasaan, emosi dan lainnya.
c. Psikologi beranggapan bahwa tingkah laku manusia dapat diamati penyebabnya, dapat diramalkan dan dapat dijelaskan. Kaitannya dalam kegiatan penyuluhan agama, bagi seorang penyuluh agama, psikologi member jalan bagaimana untuk menyampaikan materi dan menggunakan metode yang relevan dengan kondisi sasaran bina sebagai makhluk dengan dimensi fisik dan psikis serta memiliki kepribadian yang berbeda baik karena dorongan internal maupun eksternal.
Sementara itu menurut Ardi, psikologi dalam penyuluhan agama terbagi ke dalam dua fokus. Pertama bagi tenaga da’i dalam hal ini tenaga penyuluh agama berfungsi untuk:
a. Membantu dalam memahami kondisi psikologis mad’u (sasaran bina) sehingga penyuluh agama dapat merumuskan tujuan, materi dan metode penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan sasaran bina.
b. Membantu dalam memahami lingkungan fisik dan sosial sasaran bina di mana mereka berinteraksi, sehingga penyuluh agama dapat mmpertimbangkannya untuk pencapaian tujuan penyuluhan.
c. Membantu memahami proses penyuluhan agama dan kendala yang mungkin timbul sehingga penyuluh agama dapat mengatasinya secara saintifik psikologis.
d. Membantu penyuluh agama untukmelakukan adjustment (penyesuaian diri) sehingga dapat berinteraksi dengan sasaran bina secara baik dalam kerangka keberhasilan penyuluhan agama.
e. Membantu dengan memanfaatkan prinsip-prinsip, konsep, dan teori psikologi untuk landasan berpikir dan bertindak bagi penyuluh agama dalam mengelola proses penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan sasaran bina.
Kedua, bagi sasaran bina, psikologi berfungsi untuk:
a. Membantu sasaran bina dalam memahami sikap dan kepribadian penyuluh agama sehingga mereka dapat memahami proses penyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh agama.
b. Membantu sasaran bina untuk memahami kondisi psikologisnya sendiri sehingga ia dapat memotivasi diri dalam rangka menangkap pesan penyuluhan agama secara optimal.
c. Membantu sasaran bina dalam memahami kondisi lingkunagn fisik dan sosial di mana penyuluhan agama berlangsung, sehingga dapat melakukan penyesuaian diri dalam rangka keberhasilan penyuluhan ntuk dirinya.
d. Membantu sasaran bina dengan mengguakan prinsip, konsep dan teori psikologi untuk menghayati materi penyuluhan sehingga timbul motivasi untuk mengamalkannya.
Jadi sesungguhnya psikologi dalam proses penyuluhan agama berperan apda kedua pihak, baik penyuluh agama itu sendiri maupun masyarakat yang menjadi sasaran binanya.

C. Manusia, Dimensi dan Perilakunya Sebagai Objek Penyuluhan Agama
1. Manusia dimensi yang kompleks
Manusia dalam perspektif psikologi adalah makhluk jasmani rohani yang utuh. Ar Razi memandang manusia sebagai dimensi keempat dalam ranah penciptaan makhluk-makhluk Tuhan. Menurutnya manusia adalah makhluk yang memiliki kapasitas berpikir, dan pemahaman, hikmah, juga sifat dasar dan syahwat. Tuhan memberi dua predikat kepada manusia, yaitu sebagai hamba Alloh (‘Abdullah) dan wakil Alloh (khalifatullah).
Karakteristik hamba adalah lemah, kecil dan terbatas. Sedangkan karakteristik khalifatullah adalah besar, bebas dan memikul tanggungjawab. Ada manusia yang konsep dirinya sebagai hamba, maka ia tidak memiliki rasa percaya diri, dan menghindari tantangan hidup dengan berpasrah diri kepada nasib. Ada yang konsep dirinya merasa sebagai khalifatullah, yang oleh karena itu ia selalu tertantang untuk mengatasi problem, membela yang lemah dan menyebarluaskan kemanfaatan. Yang proporsional adalah semestinya manusia merasa dirinya kecil dalam dimensi vertikal, dan harus merasa besar dalam dimensi horizontal.
Manusia juga dianugerahi dua tabiat; suka kerjasama dan suka bersaing. Ketika bekerjasama atau ketika bersaing, ada yang lebih dikendalikan oleh akalnya, ada yang lebih dikendalikan oleh hatinya, oleh nuraninya, oleh syahwatnya dan ada yang lebih dikendalikan oleh hawa nafsunya. Oleh karena itu kualitas kerjasama dan kualitas persaingan berbeda-beda dipengaruhi oleh apa yang paling dominan pada dirinya dari lima subsistem itu. Kerjasama bisa terasa indah, bisa juga menyakitkan. Persaingan juga bisa melahirkan keindahan, bisa juga melahirkan permusuhan.
Adanya ragam keaktifan unsur manusia itu menunjukan adanya sesuatu yang bekerja di dalam fisik manusia. Sesuatu itu adalah jiwa (yang dalam konteks islam dikenal juga term ruh—ar Razi tampaknya membedakan eksistensi ruh dan jiwa). Menurut Ar Razi, ruh dan jiwa merupakan eksistensi yang mampu mempengaruhi eksistensi ragawi, namun pada saat yang sama iapun dipengaruhi oleh eksitensi yang Maha Absolut—Tuhan.
Berkaitan dengan fungsi spiritual, para ahli sering memposisikan ruh setara dengan jiwa—padahal keduanya beda. Jiwa merupakan manifestasi ruh dalam kehidupan manusia di dunia. Dengan berfungsinya jiwa, manusia diharapkan akan selalu mengingat Tuhan dalam setiap perbuatannya. Jadi tidak salah ketika Psikologi Islam sering disebut sebagai mazhab psikologi yang bervisi ketuhanan.
Ruh menjadi pusat orientasi dari berfungsinya jiwa, akal, raga atau perilaku. Maksudnya bahwa setiap upaya dalam melatih kepekaan jiwa, ketajaman akal, dan kesalehan perilaku senantiasa ditujukan pada upaya mendekatkan diri dengan Sang Pencipta. Ruh menjadi media penghubung antara Sang Pencipta dengan mahluknya.
Karakter manusia tidak terbentuk secara tiba-tiba, tetapi bermodal tabiat bawaan genetika orang tuanya kemudian terbangun sejalan dengan proses interaksi sosial dan internalisasi nilai-nilai dalam medan Stimulus dan Respon sepanjang hidupnya. Perilaku manusia tidak cukup difahami dari apa yang nampak, tetapi harus dicari dasarnya. Tidak semua senyum bermakna keramahan, demikian juga tidak semua tindak kekerasan bermakna permusuhan. Diantara yang mendasari tingkah laku manusia adalah:
a. Instinct. Instinct bersifat universal; seperti 1) instinct menjaga diri agar tetap hidup, 2) instinct seksual dan 3) instinct takut. Semua manusia memiliki instinct ini.
b. Adat kebiasaan. Perbuatan yang diulang-ulang dalam waktu lama oleh perorangan atau oleh kelompok masyarakat sehingga menjadi mudah mengerjakannya, disebut kebiasaan. Cara berjalan, cara mengungkapkan kegembiraan atau kemarahan, cara berbicara adalah wujud dari kebiasaan. Orang merasa nyaman dengan kebiasaan itu meski belum tentu logis.
c. Keturunan. Ajaran Islam menganjurkan selektip memilih calon pasangan hidup, karena karakteristik genetika orang tua akan menurun kepada anaknya hingga pada perilaku.
d. Lingkungan. Menurut sebuah penelitian psikologi; 83% perilaku manusia dipengaruhi oleh apa yang dilihat, 11% oleh apa yang didengar dan 6% sisanya oleh berbagai stimulus.
e. Motivasi. Setiap manusia melakukan sesuatu pasti ada tujuan yang ingin dicapai. Motivasi melakukan sesuatu bisa karena 1) keyakinan terhadap sesuatu, 2) karena terbawa perilaku orang lain, 3) karena terpedaya atau terpesona terhadap sesuatu.
f. Keinsyafan. Keinsyafan merupakan kalkulasi psikologis yang
berhubungan dengan 1) ketajaman nurani, atau 2) kuatnya cita-cita
atau 3) kuatnya kehendak.

2. Perilaku Manusia sebagai objek penyuluhan
Perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau genetika. Perilaku seseorang dikelompokkan ke dalam perilaku wajar, perilaku dapat diterima, perilaku aneh, dan perilaku menyimpang.
Perilaku manusia diantaranya dipengaruhi oleh:
a. Genetika
b. Sikap–adalah suatu ukuran tingkat kesukaan seseorang terhadap perilaku tertentu.
c. Norma sosial–adalah pengaruh tekanan sosial.
d. Kontrol perilaku pribadi–adalah kepercayaan seseorang mengenai sulit tidaknya melakukan suatu perilaku.
Memotret perilaku manusia dalam hal ini akan dilihat dari lima perspektif mazhab psikologi. Secara garis besar ada lima mazhab pemikiran dalam psikologi yakni Fungsionalisme, Behaviorisme, Psikoanalisa, Psikologi Gestalt dan Psikologi Humanistik.
a. Fungsionalisme
Pemikiran pendahulu dari mazhab ini adalah filsafat pragmatisme. Sistem filsafat ini lebih menekankan hasil daripada metode, menerima beraneka ragam metode dan pendekatan untuk menghasilkan pengetahuan. Iklim pragmatis lebih menekankan pada bagaimana manusia menjalani proses-prosesnya dan tidak terlalu menekankan pada apa atau siapakah manusia itu.
Konsep utamanya, perilaku manusia digerakkan oleh belief yang dimiliki. Belief berkembang menurut prinsip evolusi “survival of the fittest”, yang dipertahankan adalah yang paling dibutuhkan manusia. Melalui proses inilah terbentuk perilaku manusia dan habit.
Pada saat manusia berinteraksi dengan lingkungannya, ia harus beradaptasi. Proses adaptasi inilah yang menyebabkan terjadinya seleksi alam, baik dalam artian kelompok species yang unggul (Darwin) maupun dalam arti karakteristik dari species yang bertahan, misalnya anggota tubuh (Spencer). Proses adaptasi sifatnya spesifik, hanya berlaku untuk lingkungan tertentu. Suatu kelompok species yang well-adapted dalam suatu lingkungan bisa saja tidak dapat beradaptasi pada lingkungan lain. Sebagai seorang dualist yang percaya pada pemisahan mind-body, Darwin mengaplikasikan juga pandangannya ini kepada perkembangan fungsi mental makhluk hidup. Kelompok makhluk hidup yang paling sukses dalam beradaptasi dengan lingkungannya adalah mereka yang memiliki fungsi mental paling tinggi, dalam hal ini adalah manusia. Pentingnya adaptasi ini menyebabkan aliran fungsionalisme sering dipandang sebagai ‘psychology of adaptation’.
William James seorang pendahulu yang dianggap paling penting untuk aliran fungsionalisme. Bagi James, proses fisiologis di otak dan di dalam tubuh manusia adalah representasi dari proses mental dan hal ini adalah penentu tingkah laku dan menentukan bagaimana manusia mempersepsikan lingkungan. James juga mengakui adanya proses habituasi yang otomatis dan semakin tidak disadari, meskipun meninggalkan jejak dalam benak manusia. Baginya, proses mind lebih penting daripada elemen-elemen mind itu sendiri.
Selain James, John Dewey (1859-1952) juga merupakan salah satu tokoh penting mazhab ini. Pandangan utamanya bahwa sebuah aksi psikologis adalah suatu kesatuan yang utuh, tidak dapat dipecah ke dalam bagian-bagian atau elemen (seperti yang dilakukan oleh strukturalisme). Maka setiap psychological events tidak bisa dipandang sebagai konstruk-konstruk abstrak. Akan lebih bermanfaat apabila difokuskan pada fungsi psychological events tersebut, yaitu dalam konteksnya sebagai adaptasi manusia. Contoh: anak yang mengulurkan jarinya sebagai respon adanya api dan terbakar.
Tokoh berikutnya adalah James Rowland Angell (1867-1949). Baginya, psychological entity tidak ada yang dapat dipisah-pisah seperti sel dalam ilmu biologi. Psychological entity adalah sebuah kompleks yang kita kenal sebagai persepsi. Hal ini jelas tidak sejalan dengan strukturalisme. Menurutnya Functional psychology adalah sebuah studi tentang operasi mental, mempelajari fungsi-fungsi kesadaran dalam menjembatani antara kebutuhan manusia dan lingkungannya. Fungsionalisme meneka nkan pada totalitas dalam hubungan tubuh dan jiwa.
Harvey A. Carr (1873-1954), juga merupakan tokoh yang banyak berjasa dalam perkembangan mazhab ini. Bagi Carr, aspek penting dari psikologi adalah perilaku adaptif manusia. Ia menjelaskan berbagai fungsi mental manusia (perception, learning, emotion dan thinking) dengan kerangka berpikir perilaku adaptif manusia.
Apa yang membedakan mazhab ini dengan lainnya, berikut ini adalah beberapa ciri pokok mazhab ini.
1) Lebih menekankan pada fungsi mental daripada elemen-elemen mental.
2) Fungsi-fungsi psikologis adalah adaptasi terhadap lingkungan sebagaimana adaptasi biologis Darwin. Kemampuan individu untuk berubah sesuai tuntutan dalam hubungannya dengan lingkungan adalah sesuatu yang terpenting
3) Fungsionalisme juga sangat memandang penting aspek terapan atau fungsi dari psikologi itu sendiri bagi berbagai bidang dan kelompok manusia.
4) Aktivitas mental tidak dapat dipisahkan dari aktivitas fisik, maka stimulus dan respon adalah suatu kesatuan.
5) Psikologi sangat berkaitan dengan biologi dan merupakan cabang yang berkembang dari biologi. Maka pemahaman tentang anatomi dan fungsi fisiologis akan sangat membantu pemahaman terhdap fungsi mental.
6) Menerima berbagai metode dalam mempelajari aktivitas mental manusia. Meskipun sebagian besar riset di Uni. Chicago (pusat berkembangnya aliran fungsionalisme) menggunakan metode eksperimen, pada dasarnya aliran fungsionalisme tidak berpegang pada satu metode inti. Metode yang digunakan sangat tergantung dari permasalahan yang dihadapi
Sumbangan terbesar mazhab ini dalam dunia psikologi adalah:
1) Mengembangkan ruang lingkup psikologi dari segi kelompok subyek (anak, binatang) maupun bidang kajian (psikologi abnormal, psychological testing, psikologi terapan). Hal ini dimungkinkan karena aliran fungsionalisme lebih terbuka kepada perbedaan individual dan bidang aplikasi daripada strukturalisme. Salah satu pelopor psychological testing adalah James Mc Keen Cattell. Selanjutnya bidang psychological testing ini menjadi salah satu bidang kajian penting dan paling populer dalam psikologi.
2) Memperkenalkan pentingnya perilaku nyata sebagai representasi dari aktivitas mental. Pandangan ini mempersiapkan jalan bagi berkembangnya aliran baru, behaviorisme yang berpegang pada perilaku nyata sebagai satu-satunya obyek psikologi
3) Memperkenalkan konsep penyesuaian diri sebagai obyek psikologi. Konsep adaptasi dan adjustmen ini menjadi konsep yang sangat penting dan sentral bagi beberapa bidang studi psikologi selanjutnya, seperti kesehatan mental dan psikologi abnormal.
Meskipun berjasa dalam pengembangan pemikiran psikologi, mazhab ini tidak berarti sepi kritik. Kritik utama dari aliran strukturalisme adalah lebih pentingnya isi/elemen mental daripada prosesnya. Pada masa dimana terjadi persaingan ketat antara fungsionalisme dan strukturalisme, kritik ini cukup mendapat perhatian penting. Mazhab ini pun dianggap kurang fokus yang jelas dan terarah dalam aliran fungsionalisme. Para tokoh tidak pernah terlalu jelas dan elaboratif dalam mengungkapkan konsep-konsepnya dalam karya mereka. Akibatnya aliran ini dianggap tidak terlalu utuh dan terintegrasi dan berdampak pada posisinya yang kurang kuat sebagai sebuah sistem. Pemikiran ini juga terlalu bersifat teleological, sesuatu ditentukan oleh tujuannya. Hal ini menggambarkan orientasi pragmatisme yang seringkali dikritik sebagai lebih berorientasi pada hasil dan tidak memperhatikan proses. Di samping kritikan tersebut juga dianggap terlalu eklektik, mencampurkan berbagai ide dan konsep dari beragam sumber sehingga terkesan kompromistis dan kehilangan bentuk asli. Pada dasarnya, fungsionalisme memang tidak ingin muncul sebagai sebuah aliran yang strict dan lebih memilih untuk dapat lebih fleksibel dalam mencapai tujuan-tujuannya.
b. Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah satu aliran psikologi yang meyakini bahwa untuk mengkaji perilaku individu harus dilakukan terhadap setiap aktivitas individu yang dapat diamati, bukan pada peristiwa hipotetis yang terjadi dalam diri individu. Oleh karena itu, penganut aliran behaviorisme menolak keras adanya aspek-aspek kesadaran atau mentalitas dalam individu. Meskipun pandangan ini sebetulnya sudah berlangsung lama sejak jaman Yunani Kuno, ketika psikologi masih dianggap bagian dari kajian filsafat, kelahiran behaviorisme sebagai aliran psikologi formal diawali oleh J.B. Watson pada tahun 1913 yang menganggap psikologi sebagai bagian dari ilmu kealaman yang eksperimental dan obyektif, oleh sebab itu psikologi harus menggunakan metode empiris, seperti : observasi, conditioning, testing, dan verbal reports.
Teori utama dari Watson yaitu konsep stimulus dan respons (S-R) dalam psikologi. Stimulus adalah segala sesuatu obyek yang bersumber dari lingkungan. Sedangkan respon adalah segala aktivitas sebagai jawaban terhadap stimulus, mulai dari tingkat sederhana hingga tingkat tinggi. Watson tidak mempercayai unsur herediter (keturunan) sebagai penentu perilaku dan perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat penting. Pemikiran Watson menjadi dasar bagi para penganut behaviorisme berikutnya.
Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan,mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Jika anda penyuluh agama meyakini aliran ini, maka anda akan perpandangan bahwa tingkah laku sasaran bina merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku adalah hasil belajar.
Tokoh-tokoh mazhab ini diantaranya Edward Lee Thorndike (1874-1949). Menurut Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Teori belajar ini disebut teori “connectionism”. Eksperimen yang dilakukan adalah dengan kucing yang dimasukkan pada sangkar tertutup yang apabila pintunya dapat dibuka secara otomatis bila knop di dalam sangkar disentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori Trial dan Error. Ciri-ciri belajar dengan Trial dan Error yaitu adanya aktivitas, ada berbagai respon terhadap berbagai situasi, ada eliminasai terhadap berbagai respon yang salah, ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan.
Thorndike menemukan hukum-hukum perilaku. 1) Hukum kesiapan (Law of Readiness), jika suatu organisme didukung oleh kesiapan yang kuat untuk memperoleh stimulus maka pelaksanaan tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosaiasi cenderung diperkuat. 2) Hukum latihan
Semakin sering suatu tingkah laku dilatih atau digunakan maka asosiasi tersebut semakin kuat. 3) Hukum akibat, hubungan stimulus dan respon cenderung diperkuat bila akibat menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibanya tidak memuaskan.
Disamping Thorndike, Ivan Petrovich Pavlo (1849-1936) dan Watson
Pavlo mengadakan percobaan laboratories terhadap anjing. Dalam percobaan ini anjing di beri stimulus bersarat sehingga terjadi reaksi bersarat pada anjing. Contoh situasi percobaan tersebut pada manusia adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu tanpa disadari menyebabkan proses penandaan sesuatu terhadap bunyi-bunyian yang berbeda dari pedagang makan, bel masuk, dan antri di bank. Dari contoh tersebut diterapkan strategi Pavlo ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan. Sementara individu tidak sadar dikendalikan oleh stimulus dari luar. Belajar menurut teori ini adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat yang menimbulkan reaksi.Yang terpenting dalam belajar menurut teori ini adalah adanya latihan dan pengulangan. Kelemahan teori ini adalah belajar hanyalah terjadi secara otomatis keaktifan dan penentuan pribadi dihiraukan. Sementara itu menurut Carlk L. Hull reinforcement adalah faktor penting dalam belajar yang harus ada. Namun fungsi reinforcement bagi Hull lebih sebagai drive reduction daripada satisfied faktor. Dalam mempelajari hubungan S-R yang diperlu dikaji adalah peranan dari intervening variable (atau yang juga dikenal sebagai unsur O (organisma). Faktor O adalah kondisi internal dan sesuatu yang disimpulkan (inferred), efeknya dapat dilihat pada faktor R yang berupa output.
Salah satu tokoh yang paling terkenal di mazhab ini Skinner (1904-1990), Skinner menganggap reward dan rierforcement merupakan faktor penting dalan belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal mengontrol tingkah laku. Berdasarkan pada teori ini jika seorang penyuluh agama memberikan rewardberupa penghargaan hadiah atau nilai tinggi maka sasaran bina akanlebih tertarik dan termotivasi untuk mengimplementasikan setiap pesan dakwah atau penyuluhan. Teori ini juga disebut dengan operant conditioning. Operant conditing menjamin respon terhadap stimuli. Bila tidak menunjukkan stimuli maka penyuluh agama tidak dapat membimbing sasarn bina untuk mengarahkan tingkah lakunya. penyuluh memiliki peran dalam mengontrol dan mengarahkan sasaran bina dalam proses penyuluhan sehingga tercapai tujuan yang diinginkan
Skinner membagi menjadi 2 jenis respon. 1) Responden
Respon yang terjadi karena stimulus khusus misalnya Pavlo. 2) Operans Respon yang terjadi karena situasi random. Operans conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku operans yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan.
Robert Gagne (1916-2002), Teori gagne banyak dipakai untuk mendisain Software instructional (Program berupa Drill Tutorial). Kontribusi terbesar dari teori instruksional Gagne adalah 9 kondisi instruksional:
1) Gaining attention = mendapatkan perhatian
2) intorm learner of objectives = menginformasikan sasaran bina mengenai tujuan yang akan dicapai
3) Stimulate recall of prerequisite learning = stimulasi kemampuan dasar sasaran bina untuk persiapan belajar.
4) Present new material = penyajian materi baru
5) Provide guidance = menyediakan pembimbingan
6) Elicit performance = memunculkan tindakan
7) Provide feedback about correctness = siap memberi umpan balik langsung terhadap hasil yang baik
8) Assess performance = Menilai hasil belajar yang ditunjukkan
9) Enhance retention and recall = meningkatkan proses penyimpanan memori dan mengingat.
Gagne disebut sebagai modern neobehaviouristik mendorong penyuluh untuk merencanakan penyuluhan/pembelajaran agar suasana dan gaya belajar dapat dimodifikasi.
Albert Bandura (1925-sekarang), teori belajar Bandura adalah teori belajar sosial atau kognitif sosial serta efikasi diri yang menunjukkan pentingnya proses mengamati dan meniru perilaku, sikap dan emosi orang lain. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi tingkah laku timbal balik yang berkesinambungan antara kognitive perilaku dan pengaruh lingkungan. Faktor-faktor yang berproses dalam observasi adalah perhatian, mengingat, produksi motorik, motivasi. Aplikasi teori behaviouristik terhadap pembelajaran sasaran bina. Penyuluh yang menggunakan paradigma behaviourisme akan menyusun bahan materi penyuluhan yang sudah siap sehingga tujuan penyuluhan yang dikuasai sasaran bina disampaikan secara utuh. Penyuluh tidak hanya memberi ceramah tetapi juga contoh-contoh. Bahan materi penyuluhan disusun hierarki dari yang sederhana sampai yang kompleks. Hasil dari pembelajaran dapat diukur dan diamati, kesalahan dapat diperbaiki. Hasil yang diharapkan adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan.
Kekurangan dan kelebihan Metode ini sangat cocok untuk pemerolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur kecepatan spontanitas kelenturan daya tahan dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan peran orang tua. Kekurangan metode ini adalah pembelajaran sasaran bina yang berpusat pada penyuluh bersifat mekanistis dan hanya berorientasi pada hasil. Sasaran bina dipandang pasif, sasaran bina hanya mendengarkan, menghafal penjelasan penyuluh sehingga penyuluh sebagai sentral dan bersifat otoriter.
c. Psikoanalisa
Psikoanalisa sebagai sebuah filsafat baru yang menawarkan konsep yang begitu radikal itu selanjutnya telah menjadi inspirasi sekaligus menjadi sasaran kritik dari kegiatan intelektual sepanjang abad ke-20—juga hingga sekarang. Psikoanalisa, bahkan sesudah kematian Freud, muncul menjadi tradisi keilmuan yang subur melahirkan polemik, baik dari mereka yang mendukung maupun yang menentangnya. Erich Fromm mengatakan bahwa Psikoanalisa merupakan salah satu cinderamata abad modern yang paling lengkap dalam menjelaskan manusia. Psikoanalisa adalah filsafat manusia yang bersifat kanonik, yang dapat ditafsir-ulang tiada habisnya.
Sebagian ilmuwan modernis yang masih setia pada kedigdayaan rasio berpendapat bahwa Psikoanalisa justru hendak menuntaskan dominasi rasio.. Melalui Psikoanalisa, rasio manusia berusaha mengurai wilayah bawah sadar itu melalui ringkusan teoritik yang ketat dan mekanistik. Rasio hanya meletakkan wilayah bawah sadar manusia sebagai prasyarat bagi kerja rasio untuk memahami secara lebih utuh dinamika psikologis pada tingkatan yang lebih purba—karena pada akhirnya wilayah bawah sadar itu tetap harus ditaklukkan (diteorikan).
Apa pun bentuk sikap terhadap Psikoanalisa, hal itu seharusnya tidak mengabaikan latar belakang sosio-historis sang tokohnya. Memahami Psikoanalisa, berarti juga memahami Freud sebagai intelektual yang besar dalam tradisi materialisme Barat abad ke-19. Manusia, dalam konteks Psikoanalisa tersusun dalam sebuah mekanisme yang didorong oleh sejumlah energi seksual permanen yang disebut dengan “libido”. Libido akan menyebabkan ketegangan yang menyakitkan di mana energinya hanya bisa dikurangi atau ditekan lewat pelepasan fisikal. Upaya kompensasi inilah yang oleh Freud dijelaskan lewat konsep pleasure principle (prinsip kesenangan). Proses dinamis antara kesakitan-pelepasan-kesenangan inilah yang merupakan inti dari konseppleasure principle.
Namun pada kehidupan nyata, pleasure principle akan selalu berhadap-hadapan dengan reality principle (prinsip realitas). Prinsip realitas akan selalu memberi semacam peringatan kepada prinsip kesenangan dengan norma-norma sosial yang harus dipatuhi. Keseimbangan yang terjadi akibat benturan keduanya merupakan prasyarat bagi kesehatan mental manusia. Jika salah satu prinsip dari kedua prinsip tersebut mendominasi, maka akan terlahir manifestasi-manifestasi neurotik-psikotik. Manifestasi neurotik-psikotik biasanya tidak disadari dan menunjukkan dirinya melalui simbol-simbol tertentu dalam mimpi. Maka dari itu, proses terapi bagi penderita neurotik-psikotik dapat diawali dengan menganalisis isi mimpi si pasien.
Freud melihat perkembangan manusia sebagai sebuah evolusi, dalam bentuk perkembangan individu. Menurut Freud, dorongan utama dalam diri manusia, yaitu energi seksual, merupakan sebuah proses evolusi sejak kelahiran hingga masa puber dan dewasa dalam kehidupan masing-masing individu. Libido manusia juga mengalami perkembangan dalam berbagai tahap mulai dari tahapan mengisap dan menggigit pada masa bayi, masa pengeluaran sekresi dan saluran kencing, dan berakhir pada organ-organ genital. Libido punya peran sama, namun berbeda pada setiap individu. Libido punya potensi yang sama, namun punya manifestasi yang berbeda-beda dan mengalami perubahan sesuai proses evolusi pada masing-masing individu.
Psikoanalisa adalah ilmu yang berbasis pada individu. Perkembangan umat manusia sangat mirip dengan perkembangan individu. Freud kemudian membuat generalisasi bahwa individu sebenarnya merepresentasikan peradaban manusia. Manusia primitif, misalnya, terdiri dari individu-individu yang melakukan sepenuhnya kepuasan sesuai dorongan insting yang dimilikinya, sementara manusia juga selalu mempertahankan insting-insting yang menjadi bagian seksualitas primitifnya. Dengan demikian, manusia primitif, meski telah melakukan dan memuaskan semua dorongan instingtifnya, mereka tetap saja bukan pencipta peradaban. Manusia menciptakan peradaban sesuai dengan perkembangan sejarah (namun Freud tidak menjelaskan mata rantainya). Peradaban mendorong manusia untuk menahan pemuasan atas insting-insting secara langsung dan sepenuhnya. Insting yang tidak terpenuhi inilah yang selanjutnya berubah menjadi energi mental dan psikis non-seksual, yang selanjutnya bergulir kembali menjadi dasar pembentukan peradaban. Freud menyebut perubahan dari energi seksual menjadi energi non-seksual ini sebagai sublimasi. Semakin cepat dan besar perkembangan peradaban, akan semakin tinggi harkat manusia, namun semakin besar pula represi terhadap dorongan-dorongan libidonya.
Secara umum, memahami pemikiran Freud dapat dilihat dari dua konsep kunci yang menjadi dasar pengembangan aspek-aspek pemikiran Freud lainnya. Evolusi libido dan evolusi hubungan manusia dengan manusia lain adalah kedua konsep itu. Dalam teori tentang evolusi libido, Freud mengasumsikan bahwa libido, atau energi seksual individu, selalu mengalami perkembangan, mulai oral sampai genital. Meski demikian, proses perkembangan libido ini sama sekali bukanlah sebuah proses yang linier dan mudah. Di dalamnya juga terlibat rasa puas yang berlebihan atau rasa frustasi yang sangat kuat, yang akan membuat seorang individu mengalami “fiksasi” karena perkembangan mentalnya “macet” dan berhenti pada tahap tertentu, sehingga ia tidak pernah mencapai perkembangan genital secara utuh dan sepenuhnya. Atau bisa juga perkembangannya menjadi mundur kembali ke tahapan sebelumnya. Sebagai akibatnya, seorang dewasa akan menunjukkan gejala-gejala neurotik dengan berbagai manifestasinya, seperti impotensi atau kurang rasa percaya diri.
Jadi menurut Freud, individu yang sehat adalah individu yang tidak mengalami hambatan perkembangan genital karena mereka tidak mengalami fiksasi dan kemunduran. Individu seperti inilah yang menjalani kehidupan sebagai orang dewasa, bekerja dan memperoleh kepuasan seksual secara memadai.
Individu yang sehat juga tidak tergantung secara sosial, mampu membebaskan diri dari dominasi ayah atau ibunya. Individu yang demikian akan mengendalikan dirinya pada pemikiran dan kekuatan dirinya. Meskipun konsep Freud tentang kesehatan mental cukup jelas, namun secara definitif masih bersifat samar-samar. Dalam arti yang bersifat klinis, konsep Freud ini kurang memiliki ketepatan dan penetrasi terhadap konsepnya tentang penyakit mental. Besar kemungkinan konsep ini berkaitan dengan konsep masyarakat kelas menengah Eropa pada awal abad ke-20 yang dianggap Freud mampu melakukan fungsinya dengan baik, dan secara seksual maupun ekonomi memiliki kemampuan yang baik. Dalam hal ini, seorang komentator Psikoanalisa, Erich Fromm, menilai Freud belum mampu meloloskan diri sepenuhnya dari fiksasi-fiksasinya.
Sebagai sebuah filsafat manusia yang aplikatif, Psikoanalisa Freud memang tak sepenuhnya sukses menjelaskan segala sesuatu, meskipun segala sesuatu berusaha dijelaskan olehnya. Banyak tokoh-tokoh psikologi yang pada awalnya berkarir di lini Psikoanalisa, seperti Carl Jung dan Alfred Adler, menarik kesetiannya pada perspektif ini karena Psikoanalisa terlalu pesimis dengan masa depan umat manusia—terbukti dengan filsafat manusianya yang berbau pesakitan. Jung dan Adler kemudian mencanangkan sebuah Psikologi Individual yang lebih optimistis terhadap kesehatan jiwa manusia.
Analis lain yang kritis terhadap Psikoanalisa Freud adalah Heinz Kohut. Kohut mengkritik konsep narsisisme Freud yang semata-mata dimaknai sebagai kondisi negatif yang merugikan. Freud, menurut Kohut, berambisi menghilangkan narsisisme, tetapi teorinya yang menganggap bahwa narsisisme selalu eksis dalam setiap fase perkembangan manusia membuat Freud terjebak dalam situasi yang membingungkan. Jelas sangat mustahil menghendaki individu tumbuh menjadi pribadi yang sehat ketika lensa pandang yang digunakan hanya mampu melihat sisi-sisi buruk individu tersebut.
Berangkat dari posisi itulah, Kohut kemudian menemukan bahwa pada kondisi-kondisi tertentu, narisisisme itu dapat dikatakan normal. Kohut melihat narsisisme, atau cinta diri, atau cinta objek, tidak berada dalam garis lurus, namun melihatnya sebagai dua jalur perkembangan yang berbeda dan tetap ada seumur hidup, di mana masing-masing memiliki karakteristik dan patologinya sendiri-sendiri. Kohut memberikan penekanan pada aspek yang sehat dari narsisisme, melihat fenomena-fenomena seperti cinta orang tua terhadap anaknya, kegembiraan anak terhadap dirinya sendiri dan dunianya, serta harapan-harapan, aspirasi, ambisi, dan tujuan-tujuan normal sebagai aspek-aspek yang termasuk dalam narsisisme positif. Dalam model ini, saat perkembangan berlangsung, narsisisme tidak digantikan oleh cinta objek, namun diperlunak oleh kekecewaan bertahap sehingga di masa dewasa ia tetap menjadi dasar dari harga diri yang baik dan tujuan-tujuan realistik.
d. Psikologi Gestalt
Istilah “Gestalt” mengacu pada sebuah objek/figur yang utuh dan berbeda dari penjumlahan bagian-bagiannya. Aliran Gestalt muncul di Jerman sebagai kritik terhadap strukturalisme Wundt. Pandangan Gestalt menolak analisis dan penguraian jiwa ke dalam elemen-elemen yang lebih kecil karena dengan demikian, makna dari jiwa itu sendiri berubah sebab bentuk kesatuannya juga hilang. Aliran ini menekankan bahwa aktivitas mental dapat diwujudkan dalam kesadaran nonsensoris, merupakan awal pemikiran tentang higher mental process. Mind memiliki kategori-kategorinya sendiri, dan mampu membentuk organisasi mental, tidak harus muncul dalam bentuk aktivitas sensoris. Bentuk nyata dari pengorganisasian ini adalah pola-pola dari persepsi.
Pendekatan dalam teori ini lebih menitik beratkan pada fenomenologis. Pendekatan ini memfokuskan pada observasi dan deskripsi detil dari gejala yang muncul, tanpa perlu menjelaskan latar belakang gejala atau menyimpulkan sesuatu dari gejala tersebut. Sehubungan dengan pandangan gestalt, pendekatan fenomenologis dari Edmund Husserl (1859 – 1938) sangat berpengaruh, observasi dan deskripsi detil mengenai aktivitas mental yang dirasakan individu.
Max Wertheimer (1880-1943), bersama-sama dengan Wolfgang Koehler (1887-1967) dan Kurt Koffka (1887-1941) melakukan eksperimen yang akhirnya menelurkan ide Gestalt. Konsep pentingnya, phi phenomenon (bergeraknya obyek statis menjadi rangkaian gerakan yang dinamis setelah dimunculkan dalam waktu singkat dan dengan demikian memungkinkan manusia melakukan interpretasi). Dengan konsep ini, Wertheimer menunjuk pada proses interpretasi dari sensasi obyektif yang kita terima. Proses ini terjadi di otak dan sama sekali bukan proses fisik, tetapi proses mental. Dengan pernyataan ini ia menentang pendapat Wundt yang menunjuk pada proses fisik sebagai penjelasan phi phenomenon.
Pandangan Gestalt diaplikasikan dalam field psychology dari Kurt Lewin (1890-1947). Ia banyak terlibat dengan pemikir Gestalt, yaitu Wertheimer dan Koehler dan mengambil konsep psychological field juga dari Gestalt. Konsep utama Lewin adalah Life Space, yaitu lapangan psikologis tempat individu berada dan bergerak. Lapangan psikologis ini terdiri dari fakta dan obyek psikologis yang bermakna dan menentukan perilaku individu (B=f L). Tugas utama psikologi adlaah meramalkan perilaku individu berdasarkan semua fakta psikologis yang eksis dalam lapangan psikologisnya pada waktu tertentu. Life space terbagi atas bagian-bagian memiliki batas-batas. Batas ini dapat dipahami sebagai sebuah hambatan individu untuk mencapai tujuannya. Gerakan individu mencapai tujuan (goal) disebut locomotion. Dalam lapangan psikologis ini juga terjadi daya (forces) yang menarik dan mendorong individu mendekati dan menjauhi tujuan. Apabila terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium), maka terjadi ketegangan (tension). Perilaku individu akan segera tertuju untuk meredakan ketegangan ini dan mengembalikan keseimbangan.
Apabila individu menghadapi suatu obyek, maka bagaimana valensi dari nilai tersebut bagi si individu akan menentukan gerakan individu. Pada umumnnya individu akan mendekati obyek yang bervalensi positif dan menjauhi obyek yang bervalensi negatif. Dalam usahanya mendekati obyek bervalensi positif, sangat mungkin ada hambatan. Hambatan ini mungkin sekali menjadi obyek yang bervalensi negatif bagi individu. Arah individu mendekati/menjauhi tujuan disebut vektor. Vektor juga memiliki kekuatan dan titik awal berangkat. Dengan konsep vektor, daya, dan valensi ini Lewin menjelaskan teorinya mengenai tiga jenis konflik (approach-approach, approach-avoidance, dan avoidance-avoidance).
Aplikasi teori Lewin banyak dilakukan dalam konteks dinamika kelompok. Dasar berpikirnya adalah kelompok dianalogikan dengan individu. Maka perilaku kelompok menjadi fungsi dari lingkungan, dimana salah satu faktornya adalah para anggota kelompok dan hubungan interpersonal mereka. Apabila hubungan ini bervalensi negatif, maka perilaku anggota akan menjauhinya dan dengan demikian tujuan kelompok semakin tidak tercapai. Sebaliknya, hubungan yang baik akan membuat anggota saling mendekati sehingga memungkinkan kerjasama yang lebih baik dalam mencapai tujuan kelompok. Kritik untuk teori Lewin berfokus pada konstruk-konstruknya yang dianggap hipotetis dan sulit dikongkritkan dalam situasi eksperimental. Implikasinya adalah penjelasan Lewin sulit sampai pada level explanatory dan sifatnya deskriptif.
Prinsip dasar Gestalt ada pada interaksi antar individu dan pengorganisasiannya.
1) Interaksi antara individu dan lingkungan disebut sebagai perceptual field. Setiap perceptual field memiliki organisasi, yang cenderung dipersepsikan oleh manusia sebagai figure and ground. Oleh karena itu kemampuan persepsi ini merupakan fungsi bawaan manusia, bukan skill yang dipelajari. Pengorganisasian ini mempengaruhi makna yang dibentuk.
2) Prinsip-prinsip pengorganisasian:
a) Principle of Proximity: Organisasi berdasarkan kedekatan elemen.
b) Principle of Similarity: Organisasi berdasarkan kesamaan elemen.
c) Principle of Objective Set: Organisasi berdasarkan mental set yang sudah terbentuk sebelumnya.
d) Principle of Continuity: Organisasi berdasarkan kesinambungan pola.
e) Principle of Closure/ Principle of Good Form: Organisasi berdasarkan “bentuk yang sempurna”.
f) Principle of Figure and Ground: Organisasi berdasarkan persepsi terhadap bentuk yang lebih menonjol dan dianggap sebagai “figure”. Dimensi penting dalam persepsi figur dan obyek adalah hubungan antara bagian dan figur, bukan karakteristik dari bagian itu sendiri. Meskipun aspek bagian berubah, asalkan hubungan bagian-figur tetap, persepsi akan tetap. Contoh: perubahan nada tidak akan merubah persepsi tentang melodi.
g) Principle of Isomorphism: Organisasi berdasarkan konteks.
Prinsip Gestalt ini diaplikasikan pada: 1) Belajar. Proses belajar adalah fenomena kognitif. Apabila individu mengalami proses belajar, terjadi reorganisasi dalam perceptual field-nya. Setelah proses belajar terjadi, seseorang dapat memiliki cara pandang baru terhadap suatu problem. 2) Insight. Pemecahan masalah secara jitu yang muncul setelah adanya proses pengujian berbagai dugaan/kemungkinan. Setelah adanya pengalaman insight, individu mampu menerapkannya pada problem sejenis tanpa perlu melalui proses trial-error lagi. Konsep insight ini adalah fenomena penting dalam belajar, ditemukan oleh Koehler dalam eksperimen yang sistematis. 3) Memory. Hasil persepsi terhadap obyek meninggalkan jejak ingatan. Dengan berjalannya waktu, jejak ingatan ini akan berubah pula sejalan dengan prinsip-prinsip organisasional terhadap obyek. Penerapan Prinsip of Good Form seringkali muncul dan terbukti secara eksperimental. Secara sosial, fenomena ini juga menjelaskan pengaruh gosip/rumor.
Beberapa hal yang patut dicatat sebagai implikasi dari aliran Gestalt.
a) Pendekatan fenomenologis menjadi salah satu pendekatan yang eksis di psikologi dan dengan pendekatan ini para tokoh Gestalt menunjukkan bahwa studi psikologi dapat mempelajari higher mental process, yang selama ini dihindari karena abstrak, namun tetap dapat mempertahankan aspek ilmiah dan empirisnya.
b) Pandangan Gestalt menyempurnakan aliran behaviorisme dengan menyumbangkan ide untuk menggali proses belajar kognitif, berfokus pada higher mental process. Adanya perceptual field diinterpretasikan menjadi lapangan kognitif dimana proses-proses mental seperti persepsi, insight, dan problem solving beroperasi. Tokoh: Tolman dan Koehler.
e. Psikologi Humanistik
Psikologi humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Pada akhir tahun 1950-an, para ahli psikologi, seperti: Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang: self (diri), aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya.
Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai reaksi atas aliran Psikoanalisa dan behaviorisme serta dipandang sebagai “kekuatan ketiga “dalam aliran psikologi. Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik sangat memperhatikan tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan. Dalam hal ini, James Bugental (1964) mengemukakan tentang 5 (lima) dalil utama dari psikologi humanistik, yaitu: (1) keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam komponen-komponen; (2) manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan dengan manusia lainnya; (3) manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan hubungan dengan orang lain; (4) manusia memiliki pilihan-pilihan dan dapat bertanggung jawab atas pilihan-pilihanya; dan (5) manusia memiliki kesadaran dan sengaja untuk mencari makna, nilai dan kreativitas.
Terdapat beberapa ahli psikologi yang telah memberikan sumbangan pemikirannya terhadap perkembangan psikologi humanistik. Salah satunya sumbangan Snyggs dan Combs (1949) dari kelompok fenomenologi yang mengkaji tentang persepsi. Dia percaya bahwa seseorang akan berperilaku sejalan dengan apa yang dipersepsinya. Menurutnya, bahwa realitas bukanlah sesuatu yang yang melekat dari kejadian itu sendiri, melainkan dari persepsinya terhadap suatu kejadian.
Dari pemikiran Abraham Maslow (1950) yang memfokuskan pada kebutuhan psikologis tentang potensi-potensi yang dimiliki manusia. Hasil pemikirannya telah membantu guna memahami tentang motivasi dan aktualisasi diri seseorang, yang merupakan salah satu tujuan dalam pendidikan humanistik. Morris (1954) meyakini bahwa manusia dapat memikirkan tentang proses berfikirnya sendiri dan kemudian mempertanyakan dan mengoreksinya. Dia menyebutkan pula bahwa setiap manusia dapat memikirkan tentang perasaan-persaannya dan juga memiliki kesadaran akan dirinya. Dengan kesadaran dirinya, manusia dapat berusaha menjadi lebih baik.
Carl Rogers berjasa besar dalam mengantarkan psikologi humanistik untuk dapat diaplikasian dalam pendidikan (dalam hal ini juga berarti dalam dunia penyuluhan agama). Dia mengembangkan satu filosofi pendidikan yang menekankan pentingnya pembentukan pemaknaan personal selama berlangsungnya proses pembelajaran dengan melalui upaya menciptakan iklim emosional yang kondusif agar dapat membentuk pemaknaan personal tersebut. Dia memfokuskan pada hubungan emosional antara penyuluh dengan sasaran bina.
Berkenaan dengan epistemiloginya, teori-teori humanistik dikembangkan lebih berdasarkan pada metode penelitian kualitatif yang menitik-beratkan pada pengalaman hidup manusia secara nyata. Kalangan humanistik beranggapan bahwa usaha mengkaji tentang mental dan perilaku manusia secara ilmiah melalui metode kuantitatif sebagai sesuatu yang salah kaprah. Tentunya hal ini merupakan kritikan terhadap kalangan kognitivisme yang mengaplikasikan metode ilmiah pendekatan kuantitatif dalam usaha mempelajari tentang psikologi. Sebaliknya, psikologi humanistik pun mendapat kritikan bahwa teori-teorinya tidak mungkin dapat memfalsifikasi dan kurang memiliki kekuatan prediktif sehingga dianggap bukan sebagai suatu ilmu.
Hasil pemikiran dari psikologi humanistik banyak dimanfaatkan untuk kepentingan konseling dan terapi, salah satunya yang sangat populer adalah dari Carl Rogers dengan client-centered therapy, yang memfokuskan pada kapasitas klien untuk dapat mengarahkan diri dan memahami perkembangan dirinya, serta menekankan pentingnya sikap tulus, saling menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas konselor hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik asesmen dan pendapat para konselor bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment atau pemberian bantuan kepada klien. Selain memberikan sumbangannya terhadap konseling dan terapi, psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic education). Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarir menjadi fokus dalam model pendidikan humanistik ini.
3. Kondisi-kondisi Manusia sebagai objek penyuluhan
Objek penyuluhan dapat dilihat dari beberap aspek. Dilihat dari segi usia, dewasa dan remaja; dilihat dari segi pekerjaan, petani, buruh, pedagang, pegawai pengusaha dan lain sebagainya; dilihat dari segi geografis, pedesaan, perkotaan; dilihat dari segi karakter pemukiman, komplek perumahan (elit, biasa) atau bukan di komplek perumahan; dilihat dari segi pendidikan, tidak sekolah, tidak selesai pendidikan dasar, selesai pendidikan dasar, menyelesaikan pendidikan menengah, menyelesaikan diploma, menyelesaikan pendidikan tinggi hingga pasca sarjana; selain itu objek penyuluhan juga dilihat dari keadaan yang sedang berlaku padanya apakah sasaran bina ini ada di lembaga pemasyarakatan, rumah sakit atau panti rehabilitasi sosial dan lainnya.
Jika terus digali, maka akan semakin banyak ditemukan ragam kondisi sasaran bina, dan itu semua tentu menampilkan karakteristik yang berbeda satu sama lain termasuk apakah ia selaku individu atau selaku anggota masyarakat dan kelompok. Kondisi-kondisi ini menuntut penanganan tersendiri dalam program penyuluhan serta memerlukan pendekatan psikologis tersendiri.
Sementara itu, Jamaludin Kafie, memandang manusia sebagai objek penyuluhan secara psikologis dipandang pada tiga aspek, yaitu manusia sebagai makhluk individu, sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk yang berke-Tuhan-an.
Sebagai individu, ada tiga kebutuhan yang harus dipenuhi olehnya yaitu:
a. Kebutuhan kebendaan, pemenuhan aspek ini akan memberikan kesenangan bagi manusia.
b. Kebutuhan kejiwaan, pemenuhan aspek ini akan memberikan ketenangan, ketentraman, kedamaian dalam batinnya.
c. Kebutuhan bermasyarakat, pemenuhan aspek ini memberikan kepuasan baginya.
Sebagai makhluk sosial, manusia harus hidup bersama kelompoknya, bersatu dan bergaul dengan lainnya. Dalam kehidupan sosial ini manusia terikat oleh tiga dimensi sistem hidup yaitu:
a. Dimensi kultural, selain memberikan kepuasan bagi manusia, dimensi ini menentukan nilai tinggi rendahnya kemanusiaan.
b. Dimensi struktural (bentuk hubungan sosial), Disinilah titik temu manusia satu dengan lainnya dan menentukan chaos tidaknya kehidupan.
c. Dimensi normatif (tatakrama dalam pergaulan sosial), manusia merupakan pelaku sekaligus peserta dalam pergaulan dalam hidup bermasyarakat. Dimensi ini menenukan baik buruknya dalam berperilaku.
Hal paling mndasar adalah mmeahmi manusia dalam perspektif kebutuhan individual di atas, baru kemudian melihatnya lebih lauas lagi dalam perspektif kehidupan sosialnya. Sementara itu manusia sebagai makhluk berketuhanan akan menampilkan bentuk perilaku yang sedikit banyak dipengaruhi oleh sistem keyakinannya pada agama. Islam memandang potensi ini sebagai fithrah sebagaimana Allah merekamkannya pada Q.S ar ruum ayat 30:
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar.

D. Kepribadian Penyuluh Agama Dan Proses Penyesuaian Diri Dengan Sasaran Bina
1. Kepribadian
a. Definisi Kepribadian
Gordon Allport memandang kepribadian sebagai organisasi dinamis didalam individu yang terdiri dari sistem-sistem psikofisis yang menentukan cara-caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Sistem psikofisis terdiri dari kebiasaan, sikap, nilai, kepercayaan, keadaan emosi, motif, dan sentimen. Sementara itu menurut Rom J. Markin Jr. kepribadian merupakan jumlah keseluruhan dari karakteristik-karakteristik individu yang terpola yang membuat individu itu unik. Kepribadian terdiri dari sikap, motif, sifat respon individual, dimana satu sama lain terdapat interdependensi yang tinggi.
Menurut Allport terdapat 3 macam sifat yaitu sifat utama (cardinal traits), seperti otoriter, berperikemanusiaan, pekerja keras, sadisme, atau cinta diri sendiri; sifat pokok (central traits) seperti pengasih, tegas, pengganggu, jujur, baik hati, dapat dipercaya, ramah; serta sifat sekunder (secondary traits) seperti suka makan atau musik. Sifat utama adalah hal pokok yang dominan pada kehidupan seseorang, diekspresikan hampir pada semua perilakunya. Sifat pokok adalah kecenderungan untuk berperilaku dalam suatu cara khusus pada bermacam-macam situasi, lebih khusus daripada sifat utama. Sedangkan sifat sekunder lebih pada spesifik – situasi dan lebih sedikit pengaruhnya pada perilaku daripada sifat pokok. Setiap orang adalah unik, berdasarkan pada suatu hukum dan sistem yang terintegrasi pada masing-masing orang.
Kepribadian oleh Salvatore R. Maddi didefinisikan sebagai serangkaian karakteristik dan kecenderungan yang stabil, menentukan perbedaan perilaku individu secara psikologis yang berkesinambungan dan sulit untuk dipahami. Kepribadian pada umumnya menunjuk pada pola perilaku khusus yang menandai setiap cara penyesuaian individu terhadap situasi kehidupan. Pendapat Jung tentang kepribadian yang menggunakan terma psyche, adalah komposisi dari 3 struktur terpisah namun saling berinteraksi, yaitu ego, ketidaksadaran personal, dan ketidaksadaran kolektif.
Definisi kepribadian dari Eysenck, yang banyak persamaannya dengan Allport adalah bahwa kepribadian merupakan jumlah total dari aktual atau potensial organisme yang ditentukan oleh hereditas dan lingkungan; ini berawal dan berkembang melalui interaksi fungsional dari sektor utama dalam pola perilaku yang diorganisasikan: sektor kognitif (intelejen), sektor konatif (karakter), sektor afektif (temperamen), dan sektor somatis (konstitusi).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah sesuatu yang timbul dari efektivitas sebagai total pola-pola perilaku aktual atau potensial dari individu yang mendatangkan stimulus dari orang sekitarnya, dan sulit untuk dipahami, yang dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal dari individu dimana kedua faktor tesebut juga saling mengadakan interaksi.
b. Fungsi Kepribadian
Markin menyatakan bahwa kepribadian memiliki beberapa aspek fungsional, yaitu :
1) Consistency, tanpa pengukuran konsistensi tidaklah dapat berpikir tentang kepribadian sebab manusia akan berubah-ubah sedemikian rupa sehingga tidak dapat dikarakteristikkan sebagai kepribadian. Terdapat 2 tingkatan kepribadian, yaitu :
a) Eksternal, berhubungan dengan perasaan yang diekspresikan dan perwujudannya dalam bentuk tindakan
b) Internal, meliputi faktor-faktor yang tidak dapat diamati seperti sikap, minat, nilai, dan motif.
Konsistensi merupakan karakteristik dasar kepribadian. Manusia cenderung mewujudkan konsistensi pada kedua tingkatan kepribadian
2) Accomodation and plasticity, meskipun kepribadian bersifat konsisten dan stabil, namun pada saat yang sama juga akan mengadakan penyesuaian diri terus-menerus terhadap perubahan kondisi-kondisi yang terjadi di lingkungan
3) Integration, menunjuk pada kenyataan bahwa berbagai aspek kepribadian diorganisasikan dan diintegrasikan ke dalam sejumlah pola secara keseluruhan. Kepribadian dikarakteristikkan sebagai suatu bentuk dinamis yang mencari keharmonisan dan diintegrasi serta mengarahkan aktivitas dalam cara-cara yang kongruen
Dari penjelasan yang ada diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kepribadian berfungsi untuk mendeskripsikan perasaan yang akan diwujudkan ke dalam bentuk perilaku, yang meliputi faktor-faktor yang tidak dapat diamati dimana pada saat yang sama dapat juga menjalankan suatu proses adaptasi yang diintegrasikan dan mengarah pada suatu aktivitas.
c. Struktur Kepribadian
Eysenck berpendapat mengenai struktur kepribadian, bahwa kepribadian tersusun atas tindakan-tindakan, disposisi–disposisi yang terorganisasi dalam susunan hierarkis berdasarkan atas keumuman dan kepentingannya. Diurut dari yang paling tinggi dan paling mencakup ke paling rendah dan paling umum, serta isinya masing-masing adalah sebagai berikut :
1) Type, yaitu organisasi di dalam individu yang lebih umum, yang lebih mencakup lagi
2) Trait, yaitu sementara habitual response yang paling berhubungan satu sama lain yang cenderung ada pada individu tertentu
3) habitual response, mampunyai corak yang lebih umum daripada spesific response, yaitu respon-respon yang berulang-ulang terjadi jika individu menghadapi kondisi atau situasi yang sejenis
4) spesific response, tindakan atau respon yang terjadi pada suatu keadaan atau kejadian tertentu, jadi khusus sekali
d. Tipe Kepribadian
Tipe kepribadian dalam modul ini dimaknai sebagai tipe kepribadian yang dikembangkan oleh Eysenck, yakni introvert dan ekstrovert. Ekstrovert dan introvert dipahami sebagai dimensi yang kontinyu dari pada sebagai tipe dikotomi. Tipe kepribadian yang dirumuskan oleh Eysenck itu lebih melihat pada perilaku yang tampak, yang merupakan kombinasi dari dua tipe yang didiskusikan tersebut. Konsekuensinya adalah bahwa setiap orang adalah ekstrovert dan introvert, dengan mayoritas orang lebih dekat ke pusat kontinum, daripada ke kedua ekstrim.
1) Definisi Kepribadian Ekstrovert dan Introvert
Jung mengatakan bahwa ekstrovert adalah kepribadian yang lebih dipengaruhi oleh dunia objektif, orientasinya terutama tertuju ke luar. Pikiran, perasaan, serta tindakannya lebih banyak ditentukan oleh lingkungan. Sedangkan introvert adalah kepribadina yang lebih dipengaruhi oleh dunia subjektif, orientasinya tertuju ke dalam.
Menurut Eysenck, introvert adalah satu ujung dari dimensi kepribadian introversi–ekstroversi dengan karakteristik watak yang tenang, pendiam, suka menyendiri, suka termenung, dan menghindari resiko. Eysenck juga mengatakan dalam teorinya, bahwa ekstrovert adalah satu ujung dari dimensi kepribadian introversi – ekstroversi dengan karakteristik watak peramah, suka bergaul, ramah, suka menurutkan kata hati, dan suka mengambil resiko.
Berdasarkan pemahaman di atas maka ekstrovert adalah suatu tipe kepribadian berdasar skap jiwa terhadap dunianya, yang merupakan satu ujung dari dimensi kepribadian introversi–ekstroversi, yang dipengaruhi oleh dunia objektif, orientasinya terutama tertuju ke luar. Pikiran, perasaan, dan tindaknnya lebih banyak ditentukan oleh lingkungan. Sedangkan introvert adalah suatu tipe kepribadian berdasar sikap jiwa terhadap dunianya, yang merupakan satu ujung dari dimensi kepribadian introversi ekstroversi, yang dipengaruhi oleh dunia subjektif, orientasinya terutama tertuju ke dalam.
2) Karakteristik Kepribadian Ekstrovert dan Introvert
Ekstrovert ditandai dengan mudah bergaul, terbuka, dan mudah mengadakan hubungan dengan orang lain. Sedangkan introvert ditandai dengan sukar bergaul, tertutup, dan sukar mengadakan hubungan dengan orang lain. Dikemukakan oleh Eysenck karakteristik ekstroversi ditandai oleh sosiabilitas, bersahabat, aktif berbicara, impulsif, menyenangkan, aktif dan spontan, sedangkan introversi ditandai dengan hal-hal kebalikannya. Lebih jelasnya lagi Eysenck menjabarkan komponen ekstrovert adalah kurangnya tanggung jawab, kurangnya refleksi, pernyataan perasaan, penurutan kata hati, pengambilan resiko, kemampuan sosial, dan aktivitas. Sedangkan indikator yang terdapat dalam EPI (Eysenck Personality Inventory) adalah sociability, impulsiveness, activity, liveness, dan excitability.
Ciri-ciri individu ekstrovert: berdaya ingat kuat (me-recall memori jangka pendek), memiliki ambang rangsang yang tinggi dan menunjukkan daya juang fisik yang tinggi, dapat melaksanakan tugas yang tinggi taraf kesukarannya dengan baik, ramah, impulsif, tidak suka diatur dan dilarang, terlibata dalam aktivitas kelompok, pandai membawa diri dalam lingkungannya, mudah gembira, memiliki keterikatan sosial, dapat memanfaatkan kesempatan yang ada, bertindak cepat, optimis, agresif, cepat/mudah meredakan kemarahan, mudah tertawa, tidak dapat menahan perasaannya. yang khas dari ekstrovert adalah mudah bergaul, suka pesta, mempunyai banyak teman, membutuhkan teman untuk bicara, dan tidak suka membaca atau belajar sendirian, sangat membutuhkan kegembiraan, mengambil tantangan, sering menentang bahaya, berperilaku tanpa berpikir terlebih dahulu, dan biasanya suka menurutkan kata hatinya, gemar akan gurau-gurauan, selalu siap menjawab, dan biasanya suka akan perubahan, riang, tidak banyak pertimbangan (easy going), optimis, serta suka tertawa dan gembira, lebih suka untuk tetap bergerak dalam melakukan aktivitas, cenderung menjadi agresif dan cepat hilang kemarahannya, semua perasaannya tidak disimpan dibawah kontrol, dan tidak selalu dapat dipercaya.
Kepribadian introvert, ciri-cirinya adalah memiliki toleransi yang tinggi terhadap isolasi/kesendirian, kurang toleransi terhadap keluhan fisik, cenderung melakukan secara baik terhadap tugas yang sederhana/mudah, cenderung melaksanakan secara baik tugas yang menuntut kesiapsiagaan. Sedangkan yang khas dari introvert adalah pendiam, pemalu, mawas diri, gemar membaca, suka menyendiri dan menjaga jarak kecuali dengan teman yang sudah akrab, cenderung merencanakan lebih dahulu–melihat dahulu–sebelum melangkah, dan curiga, tidak suka kegembiraan, menjalani kehidupan sehari-hari dengan keseriusan, dan menyukai gaya hidup yang teratur dengan baik, menjaga perasaannya secara tertutup, jarang berperilaku agresif, tidak menghilangkan kemarahannya, dapat dipercaya, dalam beberapa hal pesimis, dan mempunyai nilai standar etika yang tinggi.

2. Penyesuaian diri dan capaian tujuan Penyuluhan Agama
a. Pengertian
Penyesuaian diri dalam bab ini adalah apa yang dimaksud dengan adjusment dalam terminologi psikologi. Dalam bahasa Inggris ada dua term lain yang dianggap semakna dengan adjusment ini. Yaitu accommodation dan conformity. Ardi membedakan tiga term tersebut, menurutnya adjusment lebih menunjukkan adanya peran aktif individu yang melakukan penyesuaian diri itu, berbeda dengan accommodation dan conformity yang lebih bersifat pasif dengan ditandai kecendrungan mengalah atau penyerahan untuk mencapai harmony.
Chaplin mendefinisikan adjusment dengan dua perspektif ini, pertama ia menyatakan bahwa adjusment merupakan variasi kegiatan organisme untuk mengatasi suatu hambatan yang memuaskan kebutuhan-kebutuhan; kedua dipandang sebagai proses menegakan hubungan yang harmonis dengan lingkungan.
Pengertian pertama itu menunjukan adanya ragam upaya yang dilakukan dalam upaya pemenuhan kebutuhan, sementara yang kedua tidak menampilkan hal keterampilan penyelesaian suatu masalah melainkan lebih mendekati kepada makna accommodation dan conformity di atas. Dengan kata lain, adjusment merupakan upaya mengubah interaksi yang sedang berlangsung agar mejadi lebih baik dan efesien. Interaksi individu tidak selamanya berlangsung mulus dan dapat mencapai tujuan dengan mudah. Dalam interaksinya itu dimungkinkan mendapat hambatan, hambatan itu dapat diatasi dengan mengubah gaya interaksinya.
Dengan memahami pengertian ini, maka tampak pentingnya adjusment dalam proses penyuluhan agama. Selama proses penyuluhan berlangsung, berarti berlaku proses interaksi, jika interaksi ini tidak mulus maka harus dilakukan upaya-upaya aktif dalam rangka penyesuaian diri ini agar tujuan penyuluhan agama tercapai
b. Model-model Penyesuaian Diri
Dalam psikologi, adjusment dapat dilakukan melalui beberapa model, yaitu autoplastist, allo plastist dan auto alloplastist.
1) Autoplastist
Auto plastist yaitu melakukan penyesuaian diri dengan cara mengubah pendekatan interaksi diri sendiri sehingga proses iteraksi berjalan baik. Dalam konteks penyuluhan agama, seorang penyuluh agama merubah cara interaksinya dengan sasaran bina sehingga moda interaksinya berjalan lebih baik lagi dan efesien sehingga tujuan penyuluhan agama dapat dicapai.
Mengubah diri sendiri bukanlah hal yang mudah, terlebuh dahulu seorang penyuluh agama harus memiliki empati yang tinggi terhadap orang lain, dalam hal ini sasaran bina. Disamping itu ia harus mengenal sungguh-sungguh keadaan pribadinya sendiri,. Dengan cara ini maka peristiwa pengubahan diri sendiri itu akan dilakukan dengan penuh kerelaan dan kewajaran.
Hal penting yang harus diingat adalah proses perubahan itu dengan tetap memperhatikan norma dan nilai agama, maupun sosial yang berlaku di lingkungan masyarakat yang menjadi sasaran bina. Selain itu perlu diingat pula metodologi dan tujuan penyuluhan itu sendiri, sebab pada hakikatnya tujuan penyuluhan itulah yang menghendaki dilakukannya adjusment dengan moda ini atau tidak.
2) Allo plastist
Berbeda dengan auto plastist, perubahan yang dilakukan pada allo plastist adalah lingkungan interaksi itu berlangsung. Pada konteks penyuluhan agama, lingkungan yang dirubah itu termasuk kondisi sasaran bina seperti sikap mereka. Sementara itu hal lainnya meliputi metode, waktu maupun situasi penyuluhan agama.
Mengubah lingkungan dalam kerangka penyuluhan agama ini perlu dilakukan dengan bijaksana. Apalagi jika lingkungan itu menyangkut manusia yakni sasaran bina. Bila salah langkah dapat melukai kondisi psikis sasaran bina akhirnya mereka malah antipati terhadap pribadi penyuluh agama. Bila demikian, interaksi antara penyuluh agama dengan sasaran bina semakin tidak berjalan baik, alih-alih tercapainya tujuan penyuluhan itu sendiri.
Adjusment dengan mengubah sasaran bina hanya dapat dilakukan jika penyuluh agama yakin bahwa cara yang dilakukan itu benar. Dan itu jika penyuluh tersebut telah mengenal betul kondisi sasaran binanya dengan baik. Bila sasaran bina berupa individu yang aka konsultasi, maka perlu diketahui informasi mengenai latar belakang kehidupannya, dan bila sasaran bina berupa kelompok, maka perlu diketahui situasi sosial dan keanggotaannya termasuk kebudayaan yang tumbuh kembang dalam kelompok maupun di luar kelompok tersebut sebagai bagian dari masyarakat secara keseluruhan.
Adjusment dengan model ini, adalah tampaknya perubahan asasran bina, namun demikian patut disadari sesungguhnya perubahan itu sendiri merupakan upaya aktif dari penyuluh agama untuk terus mengupayakan mode interaksi dalam rangka meningkatkan kualitas interaksi itu sendiri menuju tercapainya tujuan penyuluhan agama.
3) Auto alloplastist
Model yang ketiga ini perubahan yang dilakukan meliputi perubahan diri sendiri dan perubahan lingkungan. Dalam konteks penyuluhan agama, berarti penyesuaian ini pertama dilakukan oleh penyuluh agama untuk melakukan perubahan moda interaksi sambil juga mengupayakan perubahan kondisi lingkungan dan sasaran bina sehingga interaksi dalam penyuluhan agama lebih baik lagi demi tercapainya tujuan penyuluhan agama itu sendiri.
Dalam perubahan kedua belah pihak ini, penyuluh agama tetap penting untuk mempertimbangkan norma agama dan norma sosial, juga tujuan penyuluhan agama itu sendiri. Adapun kadar perubahan kedua belah pihak tentu perlu disesuaikan dengan kebutuhan, apakah lebih dominan pada diri penyuluh agama atau dominan pada lingkungan dan sasaran bina, atau boleh jadi berimbang. Itu semua, penyuluh sendiri yang menentukan. Maka tampak nyata semakin penting bagi seorang penyuluh agama untuk mengetahui dirinya dan kondisi saaran binanya dengan baik.

Daftar Pustaka
Ar Razi, Fakhruddin. 2000. Ruh dan Jiwa, tinjauan filosofis dalam perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti.
Ardi, Didi Munadi. 2002. Psikologi Dakwah (Garis-garis besar perkuliahan). Fakultas Dakwah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Arifin, HM. 2000. Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi. Jakarta: Binaaksara.
Azwar, Saifuddin, 1998, Sikap manusia teori dan Pengukurannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bellah, Robert N. & Philip E. Hammond, Varieties of Civil Religion (e)
Faizah dan Muchsin Effendi, 2006, Psikologi Dakwah, Jakarta: Rahmat Semesta.
Frager, Robert. 2005. Hati, Diri dan Jiwa, Psikologi Sufi untuk Transformasi. Jakarta: Serambi.
http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/gestalt.html
Kafie, Jamaludin. 1993, Psikologi Dakwah, Surabaya: Penerbit Indah
Madjid, Nurcholis dkk. 2000. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, Jakarta: Mediacita.
Misiak, Henryk & Sexton, Virginia staudt. 2005. Psikologi Fenomenologi, Eksistensial, dan Humanistik. Bandung: Refika Aditama
Mubarok, Achmad. 2007. Urgensi memperbaharui paradigma dakwah. http://www.mubarok-institue. Diakses tanggal 13 Maret 2009.
_______________. 2007. Paradigma baru Dakwah di Indonesia. http://www.mubarok-institue. Diakses tanggal 13 Maret 2009.
_______________. 2008. Penyuluh Agama dan Problem Masyarakat Modern. http://www.mubarok-institue. Diakses tanggal 13 Maret 2009.
Naisaban, Ladislaus. 2002. Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya. Jakarta: PT Grasindo
Newcomb, Theodore E. et all. Sosial Psychology The Study of Human Interaction (terj. Ny. Joesoef Noesjrwan dkk.) Bandung: CV. Diponegoro.
Rakhmat, Jalaludin, 1985, Psikologi Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
________________, 2002. Reformasi Sufistik. Bandung: Pustaka Hidayah.
________________. 2005. Psikologi Agama Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan.
________________. 2007. Dahulukan Akhlaq di atas Fiqih. Bandung: Mizan.
Solihin, Muhtar. 2000. Penyucian Jiwa dalam perspektif tasawuf al Ghazali. Bandung: Pustaka Setia.

Tidak ada komentar: