Senin, 07 Juli 2014

Dari AKD ke Pelaksanaan Diklat: Kajian penyelenggaran AKD di Balai Diklat Keagamaan Bandung dalam tinjauan Teori Goldstein


Analisis Kebutuhan Diklat yang selanjutnya disingkat AKD menjadi dasar yang penting bagi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi aparatur, termasuk di Kementerian Agama. 

Penyusunan Kebutuhan Diklat/Peta Diklat
Analisis kebutuhan diklat teknis keagamaan pada lembaga diklat Kementerian Agama mengacu pada SK.Kepala Badan no.BD/113/2004 tentang Pedoman Mekanisme Koordinasi penyelenggaraan Diklat Teknis keagamaan di lingkungan Kementerian Agama dengan mekanisme sebagai berikut:
a.     Pusdiklat menyampaikan permintaan kepada Kepala Biro Kepegawaian untuk menyediakan data tentang jumlah pegawai pada masing-masing jenis jabatan fungsional dan tenaga teknis yang ada di lingkungan Kementerian Agama, berikut distribusinya pada masing-masing daerah di seluruh Indonesia.
b.     Biro kepegawaian menyiapkan bata dimaksud pada point (a) berikut latar belakang pendidikan, usia dan masa kerja berdasarkan masukan dari kantor Kementerian agama provinsi, dan perguruan tinggi di lingkungan Kementerian agama,kemudian menyampaikannya kepada pusdiklat.
c.     Balai diklat menyampaikan permohonan kepada kepala kanwil Kementerian Agama provinsi dan pimpinan perguruan tinggi di lingkungan Kementerian agama di wilayah kerjanya masing-masing untuk menyediakan data. Tentang jumlah pegawai pada masing-masing jenis jabatan fungsional dan tenaga teknis keagamaan di unit kerja yang bersangkutan.
d.  Kantor wilayah Kementerian agama provinsi dan perguruan tinggi di lingkungan Kementerian agama yang termasuk wilayah tugas balai diklat keagamaan menyiapkan data dimaksud pada point (c), berikut latar belakang pendidikan, usia dan masa kerja berdasarkan masukan dari kantor Kementerian agama provinsi, dan perguruan tinggi di lingkungan Kementerian agama, kemudian menyampaikannya kepada balai diklat.
e.  Pusdiklat bekerjasama dengan Biro Kepegawaian dan unit organisasi di Pusat dan Daerah, menyusun peta kebutuhan diklat tenaga teknis untuk periode 1 tahun hingga lima tahun kedepan, berdasarkan masukan dari kanwil dan perguruan tinggi di lingkungan Kementerian Agama.
f.  Pusdiklat menyusun prioritas program diklat untuk masing-masing rumpun dan jenis diklat berdasarkan peta kebutuhan dan data base pegawai menurut jabatan fungsional dan teknis keagamaan.
g.    Balai diklat keagamaan menyusun skala prioritas program diklat teknis untuk masing-masing jenis dan rumpun diklat berdasarkan peta kebutuhan diklat dan data base pegawai menurut jabatan fungsional dan teknis keagamaan.
h.   Pusdiklat dan Balai Diklat keagamaan melakukan koordinasi untuk menyusun rencana program diklat pusat dan daerah untuk jangka waktu lima tahun yang disebut Program Diklat lima Tahunan (Prolita Diklat), yang kemudian dirinci  ke dalam program diklat tahunan yang memuat program-program diklat untuk jenis dan rumpun diklat teknis yang dibutuhkan.
i.       Pusdiklat bekerjasama dengan unit terkait melengkapi sarana/fasilitas yang dibutuhkan oleh setiap pelatihan.
Mekanisme AKD yang dimuat pada Surat Keputusan tersebut, lebih menekankan pada kebutuhan program diklat berdasarkan proporsi jumlah pegawai yang ada. Jika hal ini dijadikan harga mati, maka program diklat baru menjawab pemenuhan pemerataan kesempatan pegawai mengikuti diklat. Sementara diklat itu seharusnya tidak hanya pemerataan semata melainkan dapat meningkatkan kompentensi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Berbeda dengan konsep yang ditawarkan Goldstein, AKD dilakukan untuk melihat kesenjangan (diskrepansi) antara ketrampilan yang dimiliki pegawai saat ini dengan tuntutan kompetensi yang seharusnya. Ada tiga analisis kebutuhan diklat yang harus diterapkan menurut Goldstein yaitu :
Pertama, dimulai dengan melihat tujuan organisasi jangka pendek dan jangka panjang sebuah organisasi. Analisis organisasional yang tidak sempurna dapat menyebabkan masalah bagi lembaga. Kaitannya dengan AKD yang dilaksanakan di lingkungan diklat Kementerian Agama analisis organisasional dapat dimulai dari tingkat pusat.
Hal pertama yang dijadikan rujukan adalah visi dan misi Kementerian Agama. Setelah itu kemudian menganalisis visi dan misi tiap satuan kerja yang ada di lingkungan Kementerian Agama. Aktivitas ini sebagai upaya untuk melakukan penyesuaian antara tujuan global organisasi serta tantangan yang dihadapi saat ini.
Langkah kedua dari penaksiran kebutuhan adalah melaksanakan analisis tugas untuk menentukan persyaratan kerja yang membutuhkan pelatihan. Hal ini dimulai dengan menggabungkan pembagian kerja pada tugas-tugas pemegang jabatan dan syarat tertentu pada pekerjaan itu (Goldstein, I. L. 1993), sebagaimana halnya spesifikasi tugas yang diperlukan.
Merujuk pada pendapat Goldstein di atas, analisis tugas dalam AKD dimaksudkan untuk memperoleh gambaran proporsi beban kerja pada tiap jabatan di setiap satuan kerja yang ada di lingkungan Kementerian Agama. Diketahuinya beban kerja  setiap jabatan akan melahirkan persyaratan teknis maupun kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh setiap pegawai yang mendudukinya. Di Kementerian Agama, misalnya, terdapat jabatan fungsional penyuluh Agama. Analisis tugas dilakukan untuk melihat beban kerja jabatan fungsional penyuluh agama tersebut. Jika telah diketahui maka akan diperoleh gambaran siapa yang seharusnya menduduki jabatan tersebut terkait dengan Pengetahuan dan keterampilan apa yang harus dimiliki orang yang menduduki jabatan penyuluh agama itu.
Menurut Goldstein, semua informasi yang terkumpul sangat diperlukan untuk memastikan bahwa program pelatihan memang berguna dan berorientasi pada jenis pekerjaan tertentu. Sebuah analisis personal dapat dilakukan dalam dua cara: (1) membandingkan evaluasi kemampuan pegawai pada masing-masing dimensi keterampilan dengan tingkat kemampuan yang diperlukan untuk masing-masing keterampilan, atau (2) membandingkan kinerja sesungguhnya dengan standar minimum kinerja yang diterima. Cara pertama dapat digunakan untuk mengidentifikasi perkembangan kebutuhan untuk pekerjaan-pekerjaan di masa depan, sementara cara yang kedua adalah untuk menentukan perlunya pelatihan untuk pekerjaan yang ada karena ia didasarkan pada bagaimana kinerja pegawai sesungguhnya dalam melaksanakan pekerjaannya.
Selain dengan metode tersebut, Goldstein juga menawarkan metode lain yaitu dengan penaksiran diri dan survey sikap. Penaksiran diri lebih mendasarkan pada kesadaran pegawai terhadap kelemahannya sendiri. Tekniknya melalui survey sikap. Survey ini memberikan informasi kepada pimpinan tentang pelayanan yang dibutuhkan; juga bisa mengungkapkan kekurangan pekerja. Meskipun membantu menunjukkan masalah tetapi tidak menganjurkan pemecahan.
Satu hal terpenting yang dapat diadopsi dari pemikiran Goldstein, manakala kebutuhan pelatihan telah jelas, tujuan khusus harus dirumuskan. Tujuan pelatihan menurutnya dapat ditetapkan dalam term perilaku atau operasional:
a.    Tujuan perilaku merupakan tindakan, gerakan, atau perilaku yang dapat diamati dan dapat diukur. Kaitannya dengan diklat di lingkungan Kementerian Agama, tujuan perilaku ini adalah capaian kompetensi pegawai yang harus dipenuhi melalui diklat.
b.    Tujuan operasional adalah hasil yang diharapkan. Pada diklat di lingkungan Kementerian Agama, tujuan operasional merupakan desimenasi visi misi dan tujuan organisasi yang harus diketahui bersama dan menjadi target capaian bersama bagi setiap pegawai.

Proses Pelaksanaan Diklat
Proses pelaksanaan diklat yang terjadi sejauh ini dilakukan untuk mengimplementasikan kursil dan desain program dari pusdiklat. Sementara, sebagaimana diketahui, kursil dan desain program tersebut penyusunannya baru mengandalkan dari pola hubungan koordinasi lintas satuan kerja dan disusun menjadi kursil berdasarkan informasi yang dibawa oleh peserta rakor.
Kondisi ini sesungguhnya menyisakan tanda Tanya tersendiri, mampukah kursil demikian untuk menjawab kebutuhan calon peserta yang sesungguhnya? Jika mengikuti SK Kepala badan tersebut di atas, model rakor memang merupakan salah satu medium untuk melakukan AKD. Namun jika merujuk apa yang disarankan oleh Goldstein, maka kelihatan adanya kesenjangan yang cukup ekstrim pada masing-masing model pelaksanaan.
Goldstein menganjurkan desain instruksional atau dalam bahasa diklat di lingkungan Kementerian Agama lebih dikenal dengan kursil dan desain program disusun berdasarkan tujuan baik dari aspek perilaku maupun operasional. Kursil model Goldstein ini disusun melalui AKD dengan objek pegawai secara langsung. Berangkat dari kursil ini kemudian dijabarkan menjadi bahan ajar yang refresentatif bagi pemenuhan kebutuhan peserta diklat.
Secara sederhana, apa yang dipikirkan Goldstein tentang alur transformasi dari AKD menjadi kursil kemudian menjadi bahan ajar dapat dilihat pada skema berikut:
Contoh model analisis tugas sebagai proses AKD menjadi bahan ajar

Gambar  Alur proses dari AKD menjadi Bahan Ajar
Teori Goldstein mengemukakan bahwa rekrutmen peserta sangat dipengaruhi oleh faktor kesadaran diri dari calon peserta. Mereka telah melakukan estimasi terhadap tingkat kemampuannya sendiri. Jelas sekali bahwa motivasi memainkan peran dalam pelatihan, cita-cita dianggap sebagai bagian penting motivasi, atas teori bahwa cita-cita atau kesadaran menguasai perilaku individu. Untuk mencapai perilaku yang diinginkan, tujuan harus ditetapkan dengan jelas, ringkas, dan dalam waktu yang spesifik. Sementara itu, yang terjadi di lapangan dewasa ini, peserta ditentukan oleh instansi pengirim masih banyak dipengaruhi oleh konsepsi like and dislike, atau siapa yang rumahnya paling dekat dengan kantor kankemenag. Dengan kondisi demikian maka niscaya predikat peserta spesialis peserta diklat akan tetap sering ditemukan pada setiap penyelenggaraan diklat. Akhirnya tujuan pemerataan maupun peningkatan mutu pegawai melalui diklat terhambat tercapainya.
Proses pembelajaran pada diklat di Kementerian Agama, masih didominasi oleh widyaiswara. Sehingga harapan-harapan peserta hampir belum tersentuh. Pada tataran ini, Goldstein menawarkan pemikiran bahawa selama proses pembelajaran, peserta diberikan gambaran mengenai tujuan-tujuan yang akan dicapai bersama. Tujuan-tujuan harus menantang dan sulit namun dapat dicapai jika para peserta pelatihan memang memiliki kepuasan personal. Sulit, namun dapat dicapai. Orang-orang akan menerima dan bekerja keras untuk mendapat tujuan yang sulit dengan batas kemampuan mereka. Jika tujuan terlalu sulit, mereka akan menolak dengan sendirinya.
 Goldstein tampaknya memadukan antara metode andragogi dengan konsep stimulus Skinner dalam proses pembelajaran. Selama pelatihan, setiap bagian akhir, banyak menggunakan kuis untuk mengevaluasi keberhasilan peserta dalam mencapai tujuan pelatihan. Widyaiswara dituntut untuk mampu memenuhi harapan peserta agar memotivasi semangat belajar mereka dan melahirkan kinerja yang lebih baik. Melalui andragogi para peserta juga dapat mengamati orang lain melalui model perilaku yang sukses. Widyaiswara juga harus mampu mengkespresikan sikap positif dan terbuka pada pujian agar mendorong peserta untuk bertindak sesuai dengan tujuan pelatihan.
 Konsep materi dalam pelatihan yang ditawarkan Goldstein menyarankan untuk bergerak dari yang sederhana hingga yang sulit, menggunakan pengulangan untuk memberikan semangat. Menggunakan beberapa model lebih dari satu karena orang belajar dengan cara-cara yang berbeda. Untuk memaksimalkan proses pembelajaran dengan membuat bahan-bahan ini berguna, instruktur harus memulai dengan membuat ulasan. Kemudian, bahan ini harus dipresentasikan dengan menggunakan beberapa contoh, istilah dan konsep. Poin kunci pembelajaran harus diperkuat. Rancangan pelatihan itu sendiri harus mengidentifikasi semua komponen penting dari tugas yang dimaksud jika perilaku yang diinginkan itu tercapai. Penting pula untuk memastikan bahwa tugas-tugas terselesaikan. Jadi inti dari pemikiran Goldstein dalam pelatihan adalah latihan itu sendiri dan umpan balik. [FN]

Tidak ada komentar: