Analisis Kebutuhan Diklat yang
selanjutnya disingkat AKD menjadi dasar yang penting bagi penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan bagi aparatur, termasuk di Kementerian Agama.
Penyusunan Kebutuhan Diklat/Peta Diklat
Analisis kebutuhan diklat teknis keagamaan pada lembaga
diklat Kementerian Agama mengacu pada SK.Kepala Badan no.BD/113/2004 tentang
Pedoman Mekanisme Koordinasi penyelenggaraan Diklat Teknis keagamaan di
lingkungan Kementerian Agama dengan mekanisme sebagai berikut:
a. Pusdiklat menyampaikan permintaan kepada
Kepala Biro Kepegawaian untuk menyediakan data tentang jumlah pegawai pada
masing-masing jenis jabatan fungsional dan tenaga teknis yang ada di lingkungan
Kementerian Agama, berikut distribusinya pada masing-masing daerah di seluruh
Indonesia.
b. Biro kepegawaian menyiapkan bata dimaksud pada
point (a) berikut latar belakang pendidikan, usia dan
masa kerja berdasarkan masukan dari kantor Kementerian agama provinsi, dan
perguruan tinggi di lingkungan Kementerian agama,kemudian menyampaikannya kepada pusdiklat.
c. Balai diklat menyampaikan permohonan kepada kepala kanwil Kementerian Agama provinsi dan pimpinan
perguruan tinggi di lingkungan Kementerian agama di wilayah kerjanya
masing-masing untuk menyediakan data. Tentang jumlah pegawai pada masing-masing
jenis jabatan fungsional dan tenaga teknis keagamaan di unit kerja yang
bersangkutan.
d. Kantor wilayah Kementerian agama provinsi dan
perguruan tinggi di lingkungan Kementerian agama yang termasuk wilayah tugas
balai diklat keagamaan menyiapkan data dimaksud pada point (c), berikut latar belakang pendidikan, usia dan masa kerja
berdasarkan masukan dari kantor Kementerian agama provinsi, dan perguruan
tinggi di lingkungan Kementerian agama, kemudian menyampaikannya kepada balai diklat.
e. Pusdiklat bekerjasama dengan Biro Kepegawaian
dan unit organisasi di Pusat dan Daerah, menyusun peta kebutuhan diklat tenaga
teknis untuk periode 1 tahun hingga lima tahun kedepan, berdasarkan masukan
dari kanwil dan perguruan tinggi di lingkungan Kementerian Agama.
f. Pusdiklat menyusun prioritas program diklat
untuk masing-masing rumpun dan jenis diklat berdasarkan peta kebutuhan dan data base pegawai
menurut jabatan fungsional dan teknis keagamaan.
g. Balai diklat keagamaan menyusun skala
prioritas program diklat teknis untuk masing-masing jenis dan rumpun diklat
berdasarkan peta kebutuhan diklat dan data base pegawai menurut jabatan
fungsional dan teknis keagamaan.
h. Pusdiklat dan Balai Diklat keagamaan melakukan
koordinasi untuk menyusun rencana program diklat pusat dan daerah untuk jangka
waktu lima tahun yang disebut Program Diklat lima Tahunan (Prolita Diklat),
yang kemudian dirinci ke dalam program diklat
tahunan yang memuat program-program diklat untuk jenis dan rumpun diklat teknis
yang dibutuhkan.
i.
Pusdiklat bekerjasama dengan unit terkait melengkapi
sarana/fasilitas yang dibutuhkan oleh setiap pelatihan.
Mekanisme AKD yang dimuat pada Surat Keputusan
tersebut, lebih menekankan pada kebutuhan program diklat berdasarkan proporsi
jumlah pegawai yang ada. Jika hal ini dijadikan harga mati, maka program diklat
baru menjawab pemenuhan pemerataan kesempatan pegawai mengikuti diklat. Sementara diklat itu seharusnya tidak hanya pemerataan
semata melainkan dapat meningkatkan kompentensi sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya.
Berbeda dengan konsep yang ditawarkan Goldstein,
AKD dilakukan untuk melihat kesenjangan (diskrepansi) antara
ketrampilan yang dimiliki pegawai saat ini dengan tuntutan kompetensi yang
seharusnya. Ada tiga analisis kebutuhan diklat yang harus diterapkan menurut
Goldstein yaitu :
Pertama, dimulai dengan melihat tujuan organisasi jangka pendek
dan jangka panjang sebuah organisasi. Analisis organisasional yang tidak
sempurna dapat menyebabkan masalah bagi lembaga. Kaitannya dengan AKD yang
dilaksanakan di lingkungan diklat Kementerian Agama analisis organisasional
dapat dimulai dari tingkat pusat.
Hal pertama yang dijadikan rujukan adalah visi
dan misi Kementerian Agama. Setelah itu kemudian menganalisis visi dan misi
tiap satuan kerja yang ada di lingkungan Kementerian Agama. Aktivitas ini sebagai upaya untuk melakukan penyesuaian
antara tujuan global organisasi serta tantangan yang dihadapi saat ini.
Langkah kedua dari penaksiran kebutuhan adalah melaksanakan analisis
tugas untuk menentukan persyaratan kerja yang membutuhkan pelatihan. Hal
ini dimulai dengan menggabungkan pembagian kerja pada tugas-tugas pemegang
jabatan dan syarat tertentu pada pekerjaan itu (Goldstein, I. L. 1993),
sebagaimana halnya spesifikasi tugas yang diperlukan.
Merujuk pada pendapat Goldstein di atas,
analisis tugas dalam AKD dimaksudkan untuk memperoleh gambaran proporsi beban
kerja pada tiap jabatan di setiap satuan kerja yang ada di lingkungan
Kementerian Agama. Diketahuinya beban kerja
setiap jabatan akan melahirkan persyaratan teknis maupun kompetensi
dasar yang harus dimiliki oleh setiap pegawai yang mendudukinya. Di Kementerian
Agama, misalnya, terdapat jabatan fungsional penyuluh Agama. Analisis tugas
dilakukan untuk melihat beban kerja jabatan fungsional penyuluh agama tersebut.
Jika telah diketahui maka akan diperoleh gambaran siapa yang seharusnya
menduduki jabatan tersebut terkait dengan Pengetahuan dan keterampilan apa yang
harus dimiliki orang yang menduduki jabatan penyuluh agama itu.
Menurut Goldstein, semua informasi yang terkumpul sangat
diperlukan untuk memastikan bahwa program pelatihan memang berguna dan
berorientasi pada jenis pekerjaan tertentu. Sebuah analisis personal
dapat dilakukan dalam dua cara: (1) membandingkan evaluasi kemampuan pegawai
pada masing-masing dimensi keterampilan dengan tingkat kemampuan yang
diperlukan untuk masing-masing keterampilan, atau (2) membandingkan kinerja
sesungguhnya dengan standar minimum kinerja yang diterima. Cara pertama dapat
digunakan untuk mengidentifikasi perkembangan kebutuhan untuk
pekerjaan-pekerjaan di masa depan, sementara cara yang kedua adalah untuk
menentukan perlunya pelatihan untuk pekerjaan yang ada karena ia didasarkan
pada bagaimana kinerja pegawai sesungguhnya dalam melaksanakan pekerjaannya.
Selain dengan metode tersebut, Goldstein juga menawarkan
metode lain yaitu dengan penaksiran diri dan survey sikap. Penaksiran
diri lebih mendasarkan pada kesadaran pegawai terhadap kelemahannya sendiri.
Tekniknya melalui survey sikap. Survey ini memberikan informasi kepada pimpinan
tentang pelayanan yang dibutuhkan; juga bisa mengungkapkan kekurangan pekerja.
Meskipun membantu menunjukkan masalah tetapi tidak menganjurkan pemecahan.
Satu hal terpenting yang dapat diadopsi dari pemikiran
Goldstein, manakala kebutuhan pelatihan telah jelas, tujuan khusus harus
dirumuskan. Tujuan pelatihan menurutnya dapat ditetapkan
dalam term perilaku atau operasional:
a.
Tujuan perilaku merupakan tindakan, gerakan, atau
perilaku yang dapat diamati dan dapat diukur. Kaitannya dengan diklat di
lingkungan Kementerian Agama, tujuan perilaku ini adalah capaian kompetensi
pegawai yang harus dipenuhi melalui diklat.
b.
Tujuan operasional adalah hasil yang diharapkan. Pada
diklat di lingkungan Kementerian Agama, tujuan operasional merupakan desimenasi
visi misi dan tujuan organisasi yang harus diketahui bersama dan menjadi target
capaian bersama bagi setiap pegawai.
Proses Pelaksanaan Diklat
Proses pelaksanaan diklat yang terjadi sejauh ini
dilakukan untuk mengimplementasikan kursil dan desain program dari pusdiklat.
Sementara, sebagaimana diketahui, kursil dan desain program tersebut
penyusunannya baru mengandalkan dari pola hubungan koordinasi lintas satuan
kerja dan disusun menjadi kursil berdasarkan informasi yang dibawa oleh peserta
rakor.
Kondisi ini sesungguhnya menyisakan tanda Tanya
tersendiri, mampukah kursil demikian untuk menjawab kebutuhan calon peserta
yang sesungguhnya? Jika mengikuti SK Kepala badan tersebut di atas, model rakor
memang merupakan salah satu medium untuk melakukan AKD. Namun jika merujuk apa
yang disarankan oleh Goldstein, maka kelihatan adanya kesenjangan yang cukup
ekstrim pada masing-masing model pelaksanaan.
Goldstein menganjurkan desain instruksional atau dalam
bahasa diklat di lingkungan Kementerian Agama lebih dikenal dengan kursil dan
desain program disusun berdasarkan tujuan baik dari aspek perilaku maupun
operasional. Kursil model Goldstein ini disusun melalui AKD dengan objek
pegawai secara langsung. Berangkat dari kursil ini kemudian dijabarkan menjadi
bahan ajar yang refresentatif bagi pemenuhan kebutuhan peserta diklat.
Secara sederhana, apa yang dipikirkan Goldstein tentang
alur transformasi dari AKD menjadi kursil kemudian menjadi bahan ajar dapat
dilihat pada skema berikut:
Contoh model analisis tugas sebagai proses AKD menjadi
bahan ajar
Gambar Alur proses dari AKD menjadi Bahan Ajar
Teori Goldstein mengemukakan bahwa rekrutmen peserta
sangat dipengaruhi oleh faktor kesadaran diri dari calon peserta. Mereka telah
melakukan estimasi terhadap tingkat kemampuannya sendiri. Jelas sekali bahwa
motivasi memainkan peran dalam pelatihan, cita-cita dianggap sebagai bagian
penting motivasi, atas teori bahwa cita-cita atau kesadaran menguasai perilaku
individu. Untuk mencapai perilaku yang diinginkan, tujuan harus ditetapkan
dengan jelas, ringkas, dan dalam waktu yang spesifik. Sementara itu, yang
terjadi di lapangan dewasa ini, peserta ditentukan oleh instansi pengirim masih
banyak dipengaruhi oleh konsepsi like and
dislike, atau siapa yang rumahnya paling dekat dengan kantor kankemenag.
Dengan kondisi demikian maka niscaya predikat peserta spesialis peserta diklat
akan tetap sering ditemukan pada setiap penyelenggaraan diklat. Akhirnya tujuan pemerataan maupun peningkatan mutu
pegawai melalui diklat terhambat tercapainya.
Proses pembelajaran pada diklat di Kementerian Agama,
masih didominasi oleh widyaiswara. Sehingga harapan-harapan peserta hampir
belum tersentuh. Pada tataran ini, Goldstein menawarkan pemikiran bahawa selama
proses pembelajaran, peserta diberikan gambaran mengenai tujuan-tujuan yang
akan dicapai bersama. Tujuan-tujuan harus menantang dan sulit namun dapat
dicapai jika para peserta pelatihan memang memiliki kepuasan personal. Sulit,
namun dapat dicapai. Orang-orang akan menerima dan bekerja keras untuk mendapat
tujuan yang sulit dengan batas kemampuan mereka. Jika tujuan terlalu sulit,
mereka akan menolak dengan sendirinya.
Goldstein
tampaknya memadukan antara metode andragogi dengan konsep stimulus Skinner
dalam proses pembelajaran. Selama pelatihan, setiap bagian akhir, banyak
menggunakan kuis untuk mengevaluasi keberhasilan peserta dalam mencapai tujuan
pelatihan. Widyaiswara dituntut untuk mampu memenuhi harapan peserta agar
memotivasi semangat belajar mereka dan melahirkan kinerja yang lebih baik.
Melalui andragogi para peserta juga dapat mengamati orang lain melalui model
perilaku yang sukses. Widyaiswara juga harus mampu mengkespresikan sikap
positif dan terbuka pada pujian agar mendorong peserta untuk bertindak sesuai
dengan tujuan pelatihan.
Konsep materi
dalam pelatihan yang ditawarkan Goldstein menyarankan untuk bergerak dari yang
sederhana hingga yang sulit, menggunakan pengulangan untuk memberikan semangat.
Menggunakan beberapa model lebih dari satu karena orang belajar dengan
cara-cara yang berbeda. Untuk memaksimalkan proses pembelajaran dengan membuat
bahan-bahan ini berguna, instruktur harus memulai dengan membuat ulasan.
Kemudian, bahan ini harus dipresentasikan dengan menggunakan beberapa contoh,
istilah dan konsep. Poin kunci pembelajaran harus diperkuat. Rancangan
pelatihan itu sendiri harus mengidentifikasi semua komponen penting dari tugas
yang dimaksud jika perilaku yang diinginkan itu tercapai. Penting pula untuk
memastikan bahwa tugas-tugas terselesaikan. Jadi inti dari pemikiran Goldstein
dalam pelatihan adalah latihan itu sendiri dan umpan balik. [FN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar