Fenomena
maraknya informasi berbau keagamaan di internet tidak lepas dari karakter umum
dunia dewasa ini. Teknologi komunikasi telah memungkin melakukan
terobosan-terobosan dalam berkomunikasi dari tradisional ke modern. Internet
salahsatu anak kandung dari kemajuan teknologi informasi menjadi salah satu
jembatan penting dalam memediasi perkembangan berkomunikasi, termasuk dalam
informasi keagamaan.
Crabtree (e, 2013) dalam The Internet and Religion
mengungkapkan beberapa poin penting mengenai relasi internet dengan agama. Pertama,
menurutnya internet memiliki sisi negatif bagi agama. Menurutnya internet
membuka peluang penghancuran agama yang diakibatkan dari adanya kompetisi
abnormal dalam klaim kebenaran dari beberapa pihak. Melemahnya hubungan guru
murid (ketersambungan jalur informasi yang terlembaga) membuat siapapun dapat
mengakses informasi dan melakukan interpretasi secara mandiri dari setiap
informasi kemudian menjadi dasar kebenaran yang dianutnya. Dalam keadaan
demikian, tidak sedikit justru organisasi-organisasi keagamaan yang besar dan mapan
ketika ia memiliki keterbatasan akses dengan internet justru akan kalah
bersaing dengan kelompok kecil yang memiliki akses ke internet. Dengan demikian, tidak ada lagi monopoli
informasi keagamaan oleh sekelompok pihak yang memiliki kuasa atas saluran
informasi [konvensional] yang resmi.
Kedua, Internet juga memiliki sisi kebaikan bagi
agama. (a) para pencari informasi agama dapat memperolehnya secara online.
Sesuai dengan karakternya siapapun dapat mencari informasi tanpa terbatas oleh
waktu maupun jarak sepanjang memiliki akses ke jaringan. (b) informasi
keagamaan dari berbagai ajaran dan keyakinan memiliki ruang terbuka untuk
menunjukkan eksistensi dirinya. Setiap “iman” kini tidak lagi dipengaruhi oleh
jumlah pemeluk, namun lebih kepada kemampuan untuk mengeloa informasi secara online
untuk menunjukkan keberadaan dirinya. Sehingga setiap orang dapat mengetahui
keberadaanya dan melakukan kajian secara lebih terbuka. (c) internet telah
menjadi semacam “pasar” bagi agama-agama untuk menyebarkan dan memperluas akses
setiap orang yang ingin lebih memiliki informasi mengenai sebuah “iman”.
Sehingga siapapun dalam proses pencarian “kebenaran” dapat mencoba memulanya
dari internet sampai menemukan” iman yang sesuai dengannya.
Ketiga, Sensor dan kebebasan berbicara. Poin ini
menemukan momentumnya di Indonesia dengan adanya upaya untuk melakukan
pembatasan informasi keagamaan yang disinyalir memberikan dampak buruk terutama
ketika tendensius radikal baik aspek pemikiran maupun gerakan. Tentu saja hal
ini disaat yaang sama dianggap bertolak belakang dengan semangat hukum yang
memberi ruang bagi siapapun untuk secara bebas berbicara termasuk melalui media
internet. Menurut Crabtree (2015) kondisi upaya sensor dari pemerintah justru
lahir dari negara yang beragama sekalipun bukan negara agama. Menurutnya
semakin renggang relasi aktif antara negara dengan keyakinan semakin kecil
tindakan sensor dalam internet, dan berlaku sebaliknya.
Keempat, Internet sebagai media suci. Kemajuan media
komunikasi bukannya tidak memberikan ruang polemik. Ketika teks-teks suci
beralih dari tradisi konvensional ke bahasa mesin yang semuanya murni pekerjaan
tangan manusia dan dorongan industrialisasi, maka sikap agamawan niscaya
terbelah. Bagaimana kita menerima dan bersikap terhadap teks suci yang kemudian
muncul di internet? Teks yang semula sakral akankah berubah enjadi profan? Atau
ia tetap dalam kesakralannya? Lain dari itu, bagaimana memastikan bahwa
informasi yang diterima dan dikonsumsi bebas dari manipulasi kode teknologi
komunikasi. Bagaimana meyakini bahwa informasi tersebut valid dan sahih yang
dapat dijadikan sandaran normatif sebagai landasan etik beragama. Jika kita
perhatikan, tampaknya lebih banyak orang yang langsung percaya dan bukan hanya
percaya namun juga menjadi kebenaran
hakiki untuk setiap informasi keagamaan yang diperoleh dari mesin
pencari seperti google kemudian ia membagikannya tanpa ada upaya
penelaahan lebih kanjut mengenai validitas informasi.
Kelima,
Bagaimana Tuhan berbicara kepada seluruh umat jika tidak dengan website?
Ada suatu anggapan meski terkesan mengada-ada, bahwa website merupakan
keniscayaan primordial dari Tuhan dalam upaya penyebaran misi suci agama untuk
seluruh umat manusia. Meski kesannya demikian, namun faktanya memang
menunjukkan hal yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar