Kamis, 29 Januari 2015

AGAMA DAN INTERNET

Fenomena maraknya informasi berbau keagamaan di internet tidak lepas dari karakter umum dunia dewasa ini. Teknologi komunikasi telah memungkin melakukan terobosan-terobosan dalam berkomunikasi dari tradisional ke modern. Internet salahsatu anak kandung dari kemajuan teknologi informasi menjadi salah satu jembatan penting dalam memediasi perkembangan berkomunikasi, termasuk dalam informasi keagamaan.

Crabtree (e, 2013) dalam The Internet and Religion mengungkapkan beberapa poin penting mengenai relasi internet dengan agama. Pertama, menurutnya internet memiliki sisi negatif bagi agama. Menurutnya internet membuka peluang penghancuran agama yang diakibatkan dari adanya kompetisi abnormal dalam klaim kebenaran dari beberapa pihak. Melemahnya hubungan guru murid (ketersambungan jalur informasi yang terlembaga) membuat siapapun dapat mengakses informasi dan melakukan interpretasi secara mandiri dari setiap informasi kemudian menjadi dasar kebenaran yang dianutnya. Dalam keadaan demikian, tidak sedikit justru organisasi-organisasi keagamaan yang besar dan mapan ketika ia memiliki keterbatasan akses dengan internet justru akan kalah bersaing dengan kelompok kecil yang memiliki akses ke internet. Dengan demikian, tidak ada lagi monopoli informasi keagamaan oleh sekelompok pihak yang memiliki kuasa atas saluran informasi [konvensional] yang resmi.
Kedua, Internet juga memiliki sisi kebaikan bagi agama. (a) para pencari informasi agama dapat memperolehnya secara online. Sesuai dengan karakternya siapapun dapat mencari informasi tanpa terbatas oleh waktu maupun jarak sepanjang memiliki akses ke jaringan. (b) informasi keagamaan dari berbagai ajaran dan keyakinan memiliki ruang terbuka untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Setiap “iman” kini tidak lagi dipengaruhi oleh jumlah pemeluk, namun lebih kepada kemampuan untuk mengeloa informasi secara online untuk menunjukkan keberadaan dirinya. Sehingga setiap orang dapat mengetahui keberadaanya dan melakukan kajian secara lebih terbuka. (c) internet telah menjadi semacam “pasar” bagi agama-agama untuk menyebarkan dan memperluas akses setiap orang yang ingin lebih memiliki informasi mengenai sebuah “iman”. Sehingga siapapun dalam proses pencarian “kebenaran” dapat mencoba memulanya dari internet sampai menemukan” iman yang sesuai dengannya.
Ketiga, Sensor dan kebebasan berbicara. Poin ini menemukan momentumnya di Indonesia dengan adanya upaya untuk melakukan pembatasan informasi keagamaan yang disinyalir memberikan dampak buruk terutama ketika tendensius radikal baik aspek pemikiran maupun gerakan. Tentu saja hal ini disaat yaang sama dianggap bertolak belakang dengan semangat hukum yang memberi ruang bagi siapapun untuk secara bebas berbicara termasuk melalui media internet. Menurut Crabtree (2015) kondisi upaya sensor dari pemerintah justru lahir dari negara yang beragama sekalipun bukan negara agama. Menurutnya semakin renggang relasi aktif antara negara dengan keyakinan semakin kecil tindakan sensor dalam internet, dan berlaku sebaliknya.
Keempat, Internet sebagai media suci. Kemajuan media komunikasi bukannya tidak memberikan ruang polemik. Ketika teks-teks suci beralih dari tradisi konvensional ke bahasa mesin yang semuanya murni pekerjaan tangan manusia dan dorongan industrialisasi, maka sikap agamawan niscaya terbelah. Bagaimana kita menerima dan bersikap terhadap teks suci yang kemudian muncul di internet? Teks yang semula sakral akankah berubah enjadi profan? Atau ia tetap dalam kesakralannya? Lain dari itu, bagaimana memastikan bahwa informasi yang diterima dan dikonsumsi bebas dari manipulasi kode teknologi komunikasi. Bagaimana meyakini bahwa informasi tersebut valid dan sahih yang dapat dijadikan sandaran normatif sebagai landasan etik beragama. Jika kita perhatikan, tampaknya lebih banyak orang yang langsung percaya dan bukan hanya percaya namun juga menjadi kebenaran  hakiki untuk setiap informasi keagamaan yang diperoleh dari mesin pencari seperti google kemudian ia membagikannya tanpa ada upaya penelaahan lebih kanjut mengenai validitas informasi.
Kelima,  Bagaimana Tuhan berbicara kepada seluruh umat jika tidak dengan website? Ada suatu anggapan meski terkesan mengada-ada, bahwa website merupakan keniscayaan primordial dari Tuhan dalam upaya penyebaran misi suci agama untuk seluruh umat manusia. Meski kesannya demikian, namun faktanya memang menunjukkan hal yang sebenarnya.

Tidak ada komentar: