Selasa, 20 Oktober 2009

Masjid dan Dakwah

oleh Firman Nugraha

PENDAHULUAN
A. Islam Agama Dakwah
Islam adalah agama dakwah[1], dan karena dakwah pula maka pada masa keemasan klasik Islam telah menunjukan prestasi yang gemilang untuk dapat menyebar ke seantero pelosok bumi yang hanya dalam tempo yang singkat untuk ukuran peradaban manusia di muka bumi
[2]. Pertanyaan sederhana yang muncul adalah, apa yang mendukung keberhasilan dakwah islam dewasa itu? Ismail R. Al Faruqi[3] menjelaskan adanya beberapa faktor penting yang mendasarinya. Pertama, Umat Islam saat itu (masa rasul, sahabat maupun tabi’in) meyakini bahwa dakwah adalah perintah Allah (kewajiban agama). 


Dalam konteks ini pula maka sejalan dengan kenyataan bahwa Islam merupakan agama dakwah karena Allah menjadikan Muhammad sang Nabi menjadi rahmat bagi seantero Alam. Maka dengan demikian semangat dakwah menjadi pilar penting untuk mewujudkan keberadaan Islam sebagai ajaran yang direstui Allah dan rasulnya untuk memberikan kontribusi positif (rahmatan lil ‘alamin) kepada semua makhluk di muka bumi.
Kedua, Dakwah diyakini sebagai sedekah terbesar bagi umat islam yang melakukannya. Mengapa demikian? Karena dengan melakukannya berarti telah menjadikan dirinya menjadi obor bagi orang lain. Islam mengajarkan bahwa sebaik-baiknya umat adalah mereka yang memberikan manfaat positif seluas-luasnya bagi orang lain.[4] Sedekah dalam islam tidak berbatas kepada hal-hal yang bersifat materi semata, sedekah dalam islam bahkan menjangkau kepada hal-hal yang sederhana seperti tersenyum sekalipun[5]. Sementara dakwah esensinya adalah mengajak kepada kebaikan yang diridhai-Nya dan mencegah dari perbuatan munkar, maka dengan demikian tepatlah yang diungkapkan al Faruqi bahwa dakwah merupakan sedekah terbesar bagi umat islam.
Ketiga, Kenyataan bahwa dakwah adalah kebutuhan agama, atau kebutuhan manusia atas agama. Hal ini terutama berkenaan dengan hakikat dakwah sebagai proses proses pembebasan dan kebebasan manusia atas anasir-anasir negatif dalam kehidupannya. Kemudian nilai-nilai rasionalitas kemanusiaan dan universalisme kebenaran bagi umat manusia. Kebebasan adalah fitrah manusia untuk memperoleh kesejatian kebenaran yang sesungguhnya terhadap ajaran agama maupun keyakinan terhadap kebenarannya itu sendiri. Kebebasan ini ditopang oleh prinsip rasionalitas yang niscaya menjadi bagian dari tolok ukur kebenaran yang empirik dan logik sebagai kebenaran ilmiah disamping kebanaran atas nama iman. Sebagai sebuah kebenaran sejati, tentu ia akan membumi dan dapat diterima dan dibuktikan di manapun dan kapan pun. Itulah Islam, dengan prinsip universalisme kebenarannya sebagai sebuah keyakinan agama.
Disokong oleh tiga alasan tersebut, maka Islam mampu menyebar dan menjadi agama yang dipeluk oleh umat manusia dari berbagai lapisan sosial, ras, dan karakteristik lainnya.
B. Hijrah dan peranannya terhadap Dakwah
Disamping alasan-alasan tersebut diatas,[6] tentu terdapat perangkat pendukung yang tidak kalah pentingnya selama proses dakwah itu berlangsung.[7] Kenyataan sejarah menunjukan bahwa Islam mampu menyebar secara lebih pesat paska nabi Muhammad hijrah ke Yatsrib, yang kemudian disebut Madinah.[8] Di madinah, nabi membangun kekuatan politik melalui pemerintahan islam[9] yang dipusatkan kegiatannya di masjid Nabawi sebagai pusat kegiatan umat islam dewasa itu.[10] Dengan kekuatan politik tersebut, maka nabi mulai menyurati beberapa pemimpin negara (kerajaan) saat itu termasuk ke dua imperium besar yaitu persia dan Byzantium. Surat-surat dakwah Nabi ini memperoleh beragam reaksi mulai dari yang membenarkan kenabiannya sampai yang menolak sedemikian rupa sebagaimana yang diperlihatkan oleh Kisra dari Persia.
Aneka ragam reaksi tersebut, tidaklah menyurutkan langkah nabi untuk terus berdakwah sampai pada puncak keberhasilannya yang ditandai dengan futuhat Mekah. Peristiwa ini juga menjadi tanda berakhirnya masa beliau, yang kemudian akan dilanjutkan oleh para sahabat-sahabatnya dengan naiknya Abu Bakar sebagai pengganti Rasul dalam pemerintahan.[11]
Peristiwa hijrah itu sendiri bukanlah suatu hal yang kebetulan atau atas pertimbangan sosiologis semata, ketika umat islam mekah disaat itu mendapat tekanan yang begitu hebat dari musyrikin mekah. Lebih dari itu, peristiwa ini merupakan peristiwa agama dalam artian di baliknya terdapat perintah Allah sebagaimana yang ditunggu nabi ketika beliau telah terlebih dahulu memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk pindah ke Yatsrib.[12] Dari pertimbangan ini, maka peranan hijrah dalam dakwah memang seakan sudah menjadi kehendak Allah untuk menunjukan kepada umat manusia bahwa Islam memang sudah seharusnya tersebar dan menebarkan kebenarannya dilandasi sikap sayang menyayangi antar sesama umat.


PERAN MASJID DALAM DAKWAH ISLAM
A. Mesjid : Makna Arkeologis[13]
Masjid dari aspek bahasa terambil dari akar kata sajada-sujud, yang kisaran maknanya adalah patuh, taat, tunduk dengan segala hormat dan takdzim, demikian Quraish Shihab.[14] Pemaknaan ini sejalan dengan fungsi utama masjid sebagai tempat bersujud (yaitu dalam sholat) yang dilakukan oleh umat islam. Sementara itu Al Faruqi[15] menegaskan bahwa masjid bagaimanapun ukurannya, ornamennya, termasuk di manapun lokasinya secara fungsi sama saja yaitu untuk beribadah. Dan dari aspek kepemilikannya, begitu masjid tersebut didirikannya maka sekaligus bukan milik manusia, sebagaimana makna harfiahnya sebagai ”rumah Allah” bukan saja dianggap benar dalam makna kiasnya melainkan juga dari aspek hukum.[16]
Dari pemaknaan ini, maka siapapun umat islam, darimanapun asalnya mereka sama-sama berhak untuk memanfaatkan masjid sebagai tempatnya untuk melaksanakan ketundukan dan kepatuhannya kepada Allah berupa pelaksanaan ibadah mahdloh. [17]
 
B. Beberapa Fungsi Masjid
Berkenaan dengan peran dan fungsi masjid dalam sejarah peradaban umat Islam, diantaranya disebutkan berfungsi sebagai sarana ibadah umat islam. Konsep ibadah dalam pengertian ini ialah melipuiti segenap aspek yang mungkin dilekatkan kepadanya sebagai bentuk penghambaan diri kepada Allah. Ini berarti meliputi aspek ibadah mahdloh dan ghayr mahdloh.[18] Ibadah mahdloh jelas meliputi aktifitas shalat berjamaah baik yang fardlu maupun yang sunnah. Sementara aspek ghayr mahdloh meliputi seluruh aktifitas muslim dalam kegiatan keberagamaannya seperti aktifitas dakwah dan pendidikan, pembinaan ekonomi dan politik serta lainnya.[19]
Jika boleh disederhanakan, keseluruhan aktifitas transosial umat islam di masjid pada dasarnya merupakan aktifitas dakwah. Hal ini terutama merujuk kepada makna dakwah sebagai keseluruhan aktifitas menuju upaya perbaikan kualitas hidup manusia dengan dilandasi nilai-nilai tauhid.[20] Fungsi masjid dalam dakwah merupakan fungsi yang sangat penting. Dengannya, peradaban umat manusia (Muslimun) dibentuk dan tumbuh dengan semangat keimanan dan menebarkan hakikat nilai kemanusiaan seutuhnya sesuai dengan fitrah Allah atasnya.
Kenyatan histotris menunjukan bahwa peradaban islam pada berbagai generasinya menitikberatkan masjid sebaga pusat kegiatan keagamaan. Di masa Nabi dan Khulafa ’u rasyidun, Nabawi menjadi sentral kegiatan umat islam masa itu. Di masa Daulah Umayyah meskipun pusat pemerintahan sudah pindah, namun dapat dipastikan pertumbuhan fungsi masjid dalam aktifitas Dakwah dan Tarbiyah menunjukan peran penting. Diantaranya bahkan menjadi cikal bakal tempat pendidikan dan pembelajaran kajian keilmuan baik agama maupun eksakta. Di masa ini salah satu tempat yang istimewa adalah bayt al hikmah.
Salah satu artefak sejarah peninggalan masa keemasan klasik Islam yang hingga kini dikenal dan dijadikan rujukan penting sebagai sumber perkembangan kajian keislaman di timur tengah adalah Al Azhar di Mesir.[21] Al Azhar telah berhasil mendudukan bukti sejarah atas prestasi yang dicapai umat islam baik untuk masa awalnya maupun masa kini. Banyak alumnusnya yang berasal dari Indonesia dan menjadi tokoh penting dalam pentas Nasional dan diakui keilmuannya dalam kajian agama Islam.[22]
Beberapa fungsi masjid tersebut, pengalaman Indonesia, menunjukan adanya perubahan yang seiring dengan perubahan konstalasi masyarakat islam Indonesia. Fungsi pendidikan telah beralih, atau setidaknya secara formal, menjadi tanggungjawab madrasah. Dengan demikian, praktis masjid lebih mengarah kepada hal-hal yang sifatnya formalisme kegiatan ritual keagamaan plus aktifitas dakwah melalui jalur tabligh atau halaqah-halaqah. Adanya perubahan peran ini bukan berarti mengecilkan arti masjid secara keseluruhan. Pada beberapa daerah, seperti di pedesaan, fungsi pendidikan masjid masih berperan terutama dalam bidang pembelajaran al Quran bagi anak-anak maupun dewasa.
Seiring dengan peran dan fungsinya tersebut, masjid secara institusional memerlukan suatu konsep pengelolaan yang relatif modern dan akuntabel. Di Indonesia, pola pengelolaan masjid banyak ditangani oleh suatu kepengurusan yang disebut Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) atau sejenis. Sementara anak-anak remajapun tidak ketinggalan untuk turut ambil bagian dalam pemakmura masjid dengan mendirikan organisasi Ikatan Remaja Masjid (Irmas) atau sejenis yang secara khusus membidangi keseluruhan kegiatan remaja berbasis kemasjidan, baik untuk aspek dakwah, pendidikan atau lainnya.
Terlepas dari banyaknya peran dan fungsi masjid tersebut, perlu diperhatikan bahwa peranan dakwah pada masjid secara umum memperlihatkan pertumbuhan dan perkembangan yang signifikan, terutama dakwah melalui jalur tabligh. Dewasa ini hampir dapat dipastikan setiap masjid memiliki jadwal kegiatan khusus untuk melaksanakan aktifitas tabligh baik kelompok laki-laki deawas maupun anak-anak dan remaja maupun kelompok wanita muslimnya. Semaraknya aktifitas dakwah melalui tabligh ini pada satu sisi memperlihatkan tingkat kesadaran masyarakat islam terhadap dakwah meningkat, disamping keran hubungan pemerintah dengan kalangan agama yang terbuka secara positif[23]. Di sisi lain, perlu juga mendapat perhatian, ketika masjid dan aktifitas dakwahnya semarak, sementara nilai-nilai moralitas dan etika masyarakat seakan terperosok ke jurang degredasi yang sedemikian dalam. Negeri ini tidak pernah lekang dari catatan kriminal baik di jalanan maupun kalangan elit masyarakat (politik) dengan korupsinya. Demikian pula menjamurnya aktifitas porno aksi dan kasus pornografi serta tindak kejahatan lainnya. Ini artinya belum menunjukan dampak lurus antara meningkatnya aktifitas tabligh dengan perbaikan kualitas anak bangsa secara umumnya.
Memperhatikan ketimpangan-ketimpangan tersebut, maka tampaknya perlu adanya suatu upaya serius dalam menyikapi dan menanggapi melalui ketimbangan yang lebih komprehensif dalam proses dakwah. Terutama pada sisi pemilihan metode yang lebih dapat diterima umat dan memberikan dampak yang lebih baik lagi.
C. Pengembangan Metode Dakwah
Mengapa perlu pembacaan terhadap metode dakwah yang selama ini digunakan oleh para juru dakwah? Hal utama dan terpenting ialah ketika peranan dakwah dipertanyakan kontribusinya untuk menjawab eskalasi peroblem umat yang kian hari kian beragam. Problem-problem tersebut secara lahiri menampakan diri dalam bentuk aksi-aksi amoral dan asosial yang boleh jadi dalam perspektif agama hal ini terjadi akibat kehampaan spiritual anggota masyarakatnya. Dampak langsung dari kehampaan spiritual ini ialah semakin menguatnya hegemoni materialisme dalam etalase budaya bangsa. Jauhnya rujukan nilai-nilai spiritualisme agama dari kehidupan masyarakat melahirkan suatu generasi masyarakat yang serba permisif dan serba boleh atas nama tuntutan kebutuhan duniawi.[24] Dari itulah maka dinilai perlu untuk merumuskan suatu paradigma keilmuan dan aksinya mengenai konsep dakwah yang lebih mampu menjawab problem kemanusiaan tersebut. [25]
Salahsatu rujukan utama mengenai metode dakwah perspektif Quran adalah Quran Surat Fushilat ayat 33
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"
Dalam perspektif ayat ini hal yang paling mendasar sebagai suatu metode dalam dakwah terdapat pada dua aktivitas, yaitu lisan dan perilaku. Dengan demikian, dakwah pada akhirnya akan merujuk pada kesatuan wujud antara lisan dan amal. Maka tepatlah gambaran Allah mengenai pribadi Muhammad bahwa dalam pribadainya terdapat teladan yang baik. Bukankah Muhammad telah –seakan—dipersiapkan untuk menjadi pendakwah yang baik ketika ia mendapat gelar al Amin (sebagai orang yang jujur/dapat dipercaya) semua itu adalah perwujudan dari kesatuan lisan adan amal. Demikian pulalah hendaknya umat islam saat ini dalam aktifitas dakwah bukan hanya mengejar keterampilan retoris di mimbar-mimbar, tetapi juga dalam amal.
Sebagai renungan, perlu di kutip disini ungkapan Prof. Sholahudin yang menyatakan bahwa belumlah lengkap seorang pendakwah jika hanya berbicara di mimbar tanpa aksi penyelamatan umat dalam amal.[26] Dalam konteks inilah maka tampaknya secara keilmuan dakwah di fakultas-fakultas Dakwah di seluruh UIN dan atau IAIN, serta STAIN membaginya ke dalam beberapa departemen yang secara umum menggambarkan kesatuan lisan dan amal. Sebagai perwakilan aktivitas lisan dakwah dilakukan dengan tabligh (ceramah), dan irsyad (bimbingan). Sedangkan perwakilan aktivitas amal dakwah dikembangkan pada tadbir (manajemen Dakwah–social engineering) dan tathwir (pengembangan masyarakat Islam—sosiologis). 
1. Dakwah bi al Lisaan
Konsep dakwah sebagai aktivitas lisan ini secara teknis akan memerlukan ilmu-ilmu lain semisal ilmu komunikasi, maka wajar jika sementara pendapat menyatakan bahwa dakwah merupakan komunikasi Islam an sich, meskipun menurut hemat penulis hal ini belum sepenuhnya benar. Sedangkan jika dipertautkan kembali dengan ayat-ayat lain dalam Quran untuk menemukan suatu bentuk yang relatif tepat dalam aplikasinya kita temukan Q.S. An Nahl. 125 berikut kutipannya:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[27]dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Berdasarkan kutipan ayat tersebut, dapat dijelaskan bahwa dalam pelaksanaan dakwah bi lisan setidaknya meliputi tiga metode. Pertama bil hikmah (dengan hikmah), kedua dengan maudzah hasanah (pelajaran yang baik), dan mujadalah (bantahan yang baik). Sebagai rujukan, dalam tataran aplikasinya tentu memerlukan suatu pemahaman yang lebih lengkap mengenai tiga konsep metode qurani tersebut.
a. Metode Bil Hikmah
Hikmah pada berbagai derivasinya dalam al Quran ditemukan terulang sebanyak 210 kali yang tersebar dalam 57 dan dalam 205 ayat. [28] sedangkan dalam bentuk nakiroh maupun ma’rifah, hikmah ditemukan terulang sebanyak 20 kali. Kisaran makna inti hikmah ini antara lain ilmu, ’adil, quran wa sunnah, qadla atau ketetapan. Yang pada dasarnya diartikan bahwa siapa saja yang memperoleh hikmah maka ia berarti memiliki pengetauhan yang benar yang dengannya mampu membedakan perbuatan baik dan buruk.[29]
Ketika hikmah dikorelasikan dengan dakwah, maka berarti dalam aktivitas dakwah menghendaki persiapan yang matang pada sisi da’i dengan segenap bekal pengetahuan yang benar sehingga ia mampu menempatkan suatu peristiwa keagamaan pada mad’u secara benar dan dapat diterima oleh mereka. Hikmah dalam dakwah perspektif M. Natsir adalah pengetahuan yang sehat dan benar serta mudah dicernakan dalam aplikasinya sehingga mudah dilakukan untuk mad’u.[30]
Lebih jauh, M. Natsir mengungkapkan dalam risalahnya tersebut, bahwa seorang da’i yang memahami hikmah dalam berdakwah maka ia akan memiliki pengetahuan mengenai mad’u-nya, dan dengannya akan mampu memilih dan memilah kondisi serta hakikat pesan yang akan disampaikan. Begitu juga ia akan tahu bila harus diam dan bilamana harus bicara, hikmah juga menghendaki sikap toleran dengan tidak kehilangan shibgoh, hikmah pun mengajarkan cara berpisah yang tepat bukan sekedar memilih kata yang tepat, serta hikmah adalah suatu perilaku teladanan yang baik serta lisaan al haal. Demikan M. Natsir.
b. Metode Al Mauidzah hasanah
Mauidzah diartikan sebagai nasihat, bimbingan, pendidikan atau peringatan.[31] sementara hasanah dianggap lawan kata dari syaiah, atau keburukan. Maka secara bahasa prase ini dapat diartikan sebagai nasihat yang baik. Dalam konteks dakwah, mauidzah hasanah ini biasa dilekatkan dengan peristiwa tabligh yang acara intinya adalah pemberian mauidzah ini. Demikian Yunan.[32]
Sebagai sebuah metode, mauidzah dilaksanakan dengan memberikan nasihat atau wasiat. Nasihat dan wasiat dimaksud sebagaimana diamanatkan Allah dalam Q.S Al Asr 1-3.
1. Demi masa.
2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Demikianlah Allah mewajibkan kita untuk saling menasihati dalam hal kebaikan. Adapun isi dari nasihat tersebut dapat berupa janji maupun ancaman. Janji positif bagi mereka yang mengerjakan segala kebajikan dan amal saleh sebagaimana dikehendaki Allah dalam agamaNya atau ancaman bagi mereka yang lalai dalam melaksanakan segala kewajiban serta tidak menghindar dari segala dosa.
Secara keseluruhan, penerapan metode ini diharapkan untuk mad’u dengan kemampuan terbatas, dalam artian kalangan awam yang pada umumnya lebih mudah menerima sesuatu produk apa adanya tanpa harus mempertimbangkan proses hukumnya. Tentu saja bukan berarti menganggap secara keseluruhan mad’u tersebut tidak memiliki potensi untuk mampu berfikir dan menimbang sendiri segala isi dari nasihat atau wasiat yang disampaikan.
c. Metode Al Mujadalah
Sebagai bagian dari pelaksanaan dakwah secara lisan, mujadalah dilakukan ketika berhadapan dengan mad’u yang mencoba menghadirkan alasan-alasan logik untuk membantah agama ini atau mengajukan alasan-alasan lain ketika mempertanyakan kebenaran agama Islam. Meskipun dalam suasana perdebatan, namun Islam menganjurkan perdebatan yang baik (al mujadalatu bi al lati hiya ahsan). Sebagai sebuah metode, tentu muncul pertanyaan praktis, kapan dan dimana mujadalah itu dilakukan? Mujadalah dilakukan sesuai dengan kondisinya yaitu dalam ruang-ruang diskusi, atau dialog. Dengan demikian kondisi ini menyiratkan keterbatasan mad’u yang dihadapi. Hal ini akan berbeda dengan metode mauidzah dalam tabligh ketika da’i berhadapan dengan sejumlah mad’u yang relatif lebih banyak dan terbuka.
Sesungguhnya kalau boleh dirangking, urutan mana dewasa ini yang dinilai lebih efektif untuk dilakukan ketika melaksanakan dakwah bi lisan, maka mujadalah relatif lebih cocok. Namun untuk efesiensi memang tabligh di ruang-ruang terbuka lebih efesien. Menurut M. Natsir, kedua metode terakhir ini sesungguhnya dijiwai oleh hikmah yang pertama kita bahas. Dengan hikmah seorang da’i akan mengetahui kapan dan dimana mauidzah dilakukan dan kapan serta dimana mujadalah digunakan.[33]
2. Dakwah bi al hal
Memperhatikan lontaran pemikiran Sholahudin di muka, maka sejatinya dakwah tanpa gerakan aktual akan hambar. Hanya menyampaikan suatu kebenaran secara verbal tanpa tindakan nyata belum memberikan hasil yang signifikan dengan tugas utama yang dikehendaki oleh Allah dalam Q.S. Ali Imran 104. Sebagai berikut.
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Implementasi dakwah secara action ini atau dakwah bi al hal dilakukan dengan pendekatan kelompok dan manjemen bukan sekedar pemikiran belaka. Demikian Quraish Shihab.[34] Ini artinya ketika menyatakan suatu perbuatan itu buruk dan harus ditinggalkan maka di sisi lain disediakan alternatif kegiatan yang relevan dengan tuntutan agama Allah. Persis seperti yang diungkapkan Sholahudin di atas, menyatakan prostitusi bertolak belakang dengan tuntutan agama, maka dakwah bi al hal-nya ialah meyediakan lapangan pekerjaan yang relevan dengan syariat. Dengan ini maka dapat disimpulkan gerakan dakwah tidak hanya berhubungan dengan tuntutan agama belaka melainkan juga dengan problem-problem kemasyarakatan pada umumnya. Toh, islam sebagai agama didesain memang sesuai dengan fitrah manusia dan kemanusiaan.
Lalu apa korelasinya dengan masjid selaku pranata islam? Meningkatkan kesadaran religius masyarakat pada berbaga aspeknya sesungguhnya juga merupakan agenda pemerintah. Dalam hl ini Departemen Agama senantiasa menggiatkan hal tersebut melalui unsur-unsur pemerintahannya. Secara sistemik ini diwujudkan dengan menyediakan soft ware maupun hard ware untuk itu. Soft ware antara lain meliputi program dan alat atau pelaksana program. Sementara hard ware dengan mendorong untuk menumbuhkembangkan aktifitas kagamaan di masyarakat terutama berbasis kemesjidan. Pelaksana tugas pembinaan peningkatan nilai-nilai keagamaan umat diantaranya penyuluh agama, atau para pembina pengelola kemasjidan. Dua unsur ini seyogianya bersatu padu dan saling mengisi ruang kosong masing-masing sub sistem sebagai bagian dari sistem keseluruhan yang ada pada Departemen Agama.
Menilik konsep peningkatan kualitas keagamaan dan dimensi-dimensi lainnya dalam kehidupan yang juga merupakan bagian penting dari tugas Pemerintah dalam hal ini Departemen Agama, maka hal ini merupakan repleksi dari konsep dakwah bi al hal tersebut. Ketika dakwah dilakukan secara sistematis terarah dan memiliki poin tujuan yang jelas dan terukur, maka secara perhitungan sederhana keberhasilan pencapaian tujuan sudah di tangan. Namun demikian, mewujudkan konsep inipun bukanlah semudah membalikan telapak tangan. Segala perangkat pendukung tersebut di atas, baik muatan soft ware maupun hard ware-nya mesti tersedia dan memiliki daya guna yang baik (usefully).
a. Dakwah bil 'amal: Dimensi Aksiologis.
Kelemahan utama umat islam Indonesia dewasa ini—kalau dapat dikataan demikian—adalah tidak terikatnya dalam suatu tujuan yang serupa serta rincian pencapaian tujuan tersebut. Kalaupun ada satu tujuan makro yakni mencapai ridla Allah, maka dalam tataran implementasinya masing-masng pihak menampilan wajah yang berbeda satu sama lainnya. Persoalan ini sesungguhnya pada satu sisi berdampak buruk terhadap konsep jamaah umat islam itu sendiri. Namun apa dikata, perbedaan itu sendiri merupakan kewajaran alamiah.
Lepas dari kondisi demikian, tetap saja sebagai umat islam, dituntut untuk merujuk kepada teks suci dengan pembacaan yang umum untuk kebaikan bersama. Maka mewujudkan pencapaian tujuan kebaikan bersama ini diperlukan kerjasama yang harmonis. Kerjasama itu ada dalam ruang dakwah bi 'amal dengan memanfaatkan rumah-rumah Allah yang demikian menjamur di Indonesia.
Ketika masjid diyakini sebagai basis terakhir dan sekaligus menjadi pusat kegiatan umat, maka seyogianya keseluruhan aktifitasnya memang dilakukan untuk memberikan pelayaan kepada umat pada berbagai lapisan dan dilakukan secara profesional. Problem umat Islam Indonesia yang secara mum dapat ditunjukan dengan term kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan secara mayoritas, harus menjadi bagian penting dari program masjid. Sementara itu dengan tidak menafikan keberadaan para aghniya yang mereka memerlukan suatu lembaga unuk menyalurkan setiap peluang amalnya melalui harta maka masjidpun mesti untuk menjadi penyelengaranya. Jika konsep ini mulai diberlakukan, maka sejatinya masjid dapat menjadi jembatan penghubung antara si kaya dengan si miskin. Dan jika hal ini terwujud sesungguhnya umat islam akan bangkit dan menunjukan peran sejatinya sebagai agama yang mampu menjawab problem-problem kemanusaiaan dari berbagai aspeknya.
Suatu hal yan paradoks memang jka kita rujuk kepada beberapa fenomena semangat untuk memakmurkan masjid masih berputar sebatas kemakmuran lahiriyah dan mewah. Sementara di sisi-sisi masjid bergelimpangan para gelandangan dan anak terlantar. Membumikan konsep ini ialah dengan membangun sistem yang kuat dalam pengelolaan masjid serta dilakukan secara terintegrasi antara setiap program pada setiap lini strukur masjid di samping adanya jalinan kerjasama dengan pengelola masjid lain, sehingga apda akhirnya tampaklah apa yang disebut dengan jamaah/ummah dalam Q.S Ali Imran : 104 tersebut.
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Memaknai ayat di atas degan perspektif kultural dapat dipahami bahwa bagi setiap orang memiliki kewajiban untuk menegakan kebajikan dan mencegah perbuatan munkar. Orang kaya dengan segala kelebihannya dapat menunaikan hal tersebut dengan hartanya yang dikelola dengan benar melalui masjid dan sebaliknya orang miskin tercukupi dan dapat menunaikan kebajikan dengan tenaga dan doa.
Mengapa kajian menjadi penting? Bagaimana tidak, dewasa ini umat islam seakan silau dengan perlombaan untuk membangun masjid yang sedemikian rupa mewahnya lengkap dengan segala ornamen seni dan arsitektur yang menawan, namun di balik itu, tampak belum menyentuh secara esensial kepada fungsi yang sesungguhnya. Masjid dibangun baik atas nama pribadi, bagi mereka yang mampu, atau secara gotong royong disertai sokongan pemerintah dengan segala kemewahan. Kita baru bangga jika memiliki masjid yang diakui termewah, terluas, termahal atau bahkan berlais emas, sementara saudara kita berelimangan kemiskinan yang memang terbentuk oleh struktur dan kultur. Pada sisi ini maka peran dan fungsi masjid yang sesungguhnya menjadi tanggungjawab pengelola untuk mampu tampil sebagai pembela kaum mustad’afin.
Menjembatani keadaan ini maka peran masjid sebagai pembinaan ekonomi isamping pembinaan mental moral dan semangat keagamaan mahdloh perlu dilakukan. Masjid dapat menampung harta orang kaya melalui dan ZIS dalam lembaga BMT atau koperasi Syariah. Dewasa ini BMT banyak bertumbuhan karena diyakini mampu stabil dan tahan terhadap situasi kondisi perekonomian secara makro, namun sekali lagi perlu dicatat, hendaknya BMT buka hanya bangga jika saldonya terus meningkat namun juga harus lebih bangga lagi jika secara nyata mampu mengangkat perekonomian umat islam yang dhuafa.
Kemiskinan yang melanda bangsa Inondesia (umat Islam) memang tampak sekali dampak dari struktur dan kultur. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi karena mereka tidak diberi kesempatan untuk memperoleh penghidupan yang layak baik melalui pemerataan perolehan pekerjaan maupun modal dasar untuk mengembangkan usaha. Sedangkan kemiskinan kultural adalah kemiskinan karena pilihan hidup yang terbatas, mereka miskin, mereka bodoh dan tidak memiliki peluang memperoleh pendidikan yang layak, maka masjid harus tampil untuk mereka dengan format yang lebih membumi dan manusiawi.
b. Gerakan Ekonomi Ummat berbasis Masjid
Suatu upaya terpadu untuk mengembangkan salah satu fungsi masjid disamping sebagai aktualisasi dakwah bil hal ialah menjadikan masjid sebagai pusat pebinaan ekonomi umat. Semua umat islam dari segala lapisan ekonomi dapat berkiprah di dalamnya. Menarik sekali konsep penguatan ekonomi bebrbasis masjid yang akan dikembangkan di JIC,[35] MERCI[36] atau semacam DPU DT di Bandung.[37]
Contoh di atas mungkin baru sebagian kecil yang telah diupayakan oleh umat Islam dalam rangka dakwah bil hal (aksi nyata), namun demikian, hemat penulis hal-hal yang diupayakan tersebut, masih belum memadai pada beberapa aspek. Misalnya bagi masjid besar, kadang permodalan bukan hal yang terlalu sulit apalagi jika ada link dengan pihak tertentu baik sektor swasta maupun merintah yang siap untuk manyuplai dana. Permasalahnnya ialah jika hal ini tidak disertai dengan kesungguhan untuk mengelola dana tersebut, maka dikhawatirkan akan terjadi penguapan akibat tidak disertai dengan rasa pemilikan kolektif atas asset modal tersebut. Yang dimaksud dengan rasa pemilikan kolektif ini ialah kesadaran bersama untuk memelihara dan mengembangkan bersama modal yang ada sebab semuanya bermula dari kesadaran bersama, untuk saling membantu dan membangun perekonomian ummat berbasis masjid.
Tantangan berikutnya bagi kaum modal yang kuat, kadang lebih tertarik untuk meraup keutugan material daripada keinginan untuk benar-benar membantu kaun dhuafa dalam wujud yang real.[38] Kaum dhuafa menurut hemat penulis tidak selalu tepat jika diberkan modal produktif selama mereka cara berpikir dan kebutuhan konsumtifnya masih tinggi, maka untuk hal semacam ini diperlukan upaya ganda. Isamping mereka diberikan modal konsumtif (qard al hasan) maka secara perlahan mereka diberi modal produktif serta dampingan proses maupun pengembangannya.
Menghadapi dilema demikian, ada baiknya upaya penguatan ekonomi ummat berbasis mesjid lebih bertimbang kepada kesadaran kolektif terlebih dahulu dan dalam skala yang lebih sederhana dan kecil artinya masing-masing pengelola masjid menghimpun dana umat dari wilayah internal dan dikembangkan untuk wilayah internal terlebih dahulu. Sementara itu tetap berupaya melakukan hubungan kerjasama dengan pihak luar baik masjid yang lain dengan skala lebih besar atau pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan usaha yang dikembangkan.[39]
Dasar pemikiran ini sederhana sekali. Diyakini bahwa pada kelompok-kelompok umat yang terkena masalah sosial baik bertentangan dengan legitimasi agama maupun moral negara, mereka pasti berangkat dari wilayah yang disitu ada masjid. Artinya jika kesadaran kolektif untuk saling membantu antar seama (kesalehan sosial) telah terbentuk dan terwujud dalam aksi nyata maka pebinaannya relatif lebih mudah. Dan hal ini terus di uayakan pada masjid-masjid yang lain sehingga permasalahan umat sekarang terkepung atau berada dalam lingkaran masjid yang memiliki kesadaran kolektif ankarya nyata. Jadi membalikan situasi yang semula masjid terlingkupi oleh problem kemanusiaan maka dengan gerakan ini terjadi sebaliknya.
Upaya inipun pada dasarya merupakan upaya memutus mata rantai masalah kemanusiaan tersebut. Dan aset utama umat islam saat ini yang masih mungin untuk dikembangkan kembali fungsinya adalah masjid.

PENUTUP
Dakwah adalah segala usaha untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan pada berbagai aspeknya, aspek spiritual (vertikal) maupun sosial (horizontal). Dalam tataran praktik, dakwah dilakukan dengan lisan dan lebih dari itu melalui aksi nyata. Dakwah dengan lisan ini mengambil tiga bentuk dasar, yaitu bil hikmah, mauidzah hasanah dan mujadalah. Sementara dakwah bil hal dilakukan dengan program-program yang terukur dan baik. Persoalan umat yang beragam menuntut dakwah bil hal lebih membumi dan mengenai sasaran problem kemanusiaan. Aplikasi lebih lanjut dari itu, ialah dengan menjadikan masjid sebagai basis dakwah yang sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah, Muhammad saw.
Masjid yang dibangun harus mecerminkan peran dan fungsi untuk menjadi mediator antara kaum kaya dan kaum dhuafa. Muslim yang kaya dapat percaya untuk menitipkan dana ZIS, maupun wakafnya kepada Masjid dalam hal ini para pengelolanya, sementara kaum dhuafa hendaknya merasa tentram sebab mereka ada yang mengayomi yaitu masjid untuk kepentingan hidup mereka. Jika upaya ini dilakukan atas nama iman dan kerja profesional, maka tidak akan ada lagi anak-anak yang mengais rizqi melalui jalanan sementara mereka semestinya menuntut ilmu, tidak ada lagi para peminta-minta di jalanan sekalipun mereka miskin namun mereka meyakini tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.


Daftar Pustaka
1. Ali dan Adang Afandi. 1995. Studi Sejarah Islam. Jakarta: Binacipta.
2. Asmuni Syukir, 1983, Dasar-dasar Dakwah Islam, Surabaya: Al Ikhlas.
3. Faruqi, Ismail. R dan Lamya. 1998. Atlas Budaya Islam (terjemahan dari The Cultural Atlas of Islam). Bandung: Mizan.
4. Harun Nasution. 2000. Islam Rasional. Bandung: Mizan.
5. Ibn Taymiah, 1999, Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Jakarta: Aras Pustaka.
6. Konsorsium Bidang Ilmu UIN SGD. 2006. Transformasi IAIN Menjadi UIN Menuju Research University. Bandung: Gunung Djati Press.
7. M.E. Ayub. 1996. Manajemen Masjid Petunjuk Praktis Bagi Pengurus. Jakarta: Gema Insani Press.
8. Moch. Fachrurozy, 2005, Manajemen Masjid, Bandung: Benang Merah Press.
9. Munzier dan Harjani. 2003. Metode Dakwah. Jakarta : Prenada Media.
10. Muhammad Husein Haykal. 1999. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera Antar Nusa
11. _______________. 1999. Umar Al Faruq. Jakarta: Litera Antar Nusa.
12. Muhamnmad Fuad Abd. Al Baqi, 1987.Al Mu.jam Mufakhros li fazh al Quran al Kariim. Beirut : Dar Al Fikr.
13. M. Natsir. 2000. Fiqhud Da’wah, Jakarta: Media Dakwah.
14. M. Quraih Shihab. 2000. Wawasan Al Quran. Bandung: Mizan
15. _______________, 2000. Tafsir Al Misbah Jilid III. Jakarta: Lentera Hati.
16. Nana Rukmana. 2002. Masjid dan Dakwah. Jakarta: Al Mawardi Primayasa
17. Supardi dan Teuku Amarudin. 2001. Manajemen Masjid dalam Pembangunan: Optimalisasi Peran dan Fungsi Masjid. Yogyakarta: UII Press.
18. Sidi Gazalba. 1994. Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Alhusna.
19. Siagian, Sondang P. 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
20. Syukriadi Sambas. 1999. Sembilan Fasal Pokok-pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.
21. Thomas. W. Arnold. 1981. Sejarah Dakwah. Jakarta: Widjaja.
22. Zaini Muchtarom. 1996. Dasar-dasar Manajemen Dakwah. Yogyakarta: Al Amin dan Kaifa.

[1]Pernyataan ini bukan hanya di tegaskan dalam Quran sebagai mana tercantum dalam Q.S Alu Imran ayat 104 berikut :Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Ma’ruf, disini dipahami sebagai segala perbuatan menuju kebaikan nilai dalam pandangan Allah, sedangkan munkar sebagai perbuatan yang tidak diridhai-Nya, dan sesungguhnya itulah esensi dakwah (penjelasan lebih lanjut dapat dilihat dalam Ibnu Taymiah, Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. Jakarta: Aras Pustaka). Orientalis sekalipun seumpama T.W. Arnold, dalam bukunya the Preaching of Islam, mengakui bahwa Islam merupakan salah satu agama dakwah dalam rumpun agama semitik (Islam, Nasrani dan Yahudi)
[2]Penjelasan lebih jauh dapat dilihat pada T. W. Arnold. The Praching of Islam (Sejarah Dakwah) terj. Nawawi Rambe, Jakarta : Pustaka Widjaja.
[3]Dalam Atlas Khazanah Budaya Islam. Bandung: Mizan hal. 219 – 221.
[4]Hadits Nabi menyebutkan bahawa salah satu kriteria umat islam adalah mereka yang menyelamatkan orang lain dari kejahatan yang mungkin timbul dari lisannya, atau perbuatan fisiknya.
[5]Dalam pengertian memberikan ketenangan, kegembiraan dan kedamaian bagi orang lain sudah merupakan sedekah.
[6]Tiga alasan yang dikemukakan oleh Al Faruqi tersebut, lebih menitik beratkan kepada hakikat dakwah itu sendiri. Disamping itu tentu ada alasan lain sebagai pendukung yang signifikan terhadap proses dakwah.
[7]Dakwah bukan kegiatan yang berbatas. Dakwah adalah suatu proses yang tiada henti, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti, dakwah sebagai suatu aktifitas akan berperan dalam beberapa level dan aspek-aspeknya.
[8]Peristiwa hijrah ini terjadi pada tahun ke sepuluh kenabian Muhammad dimulai dari perjanjian aqobah satu dan dua (622 M) antara Nabi dengan beberapa suku anggota masyarakat Yatsrib ketika Nabi semkin mendapat tekanan fisik, ekonomi dan politik dari para pejabat Musyrikin Quraisy di Mekkah. Peristiwa Hijrah inipun menjadi pertimbangan utama Khalifah Umar di masanya untuk menentukan kalender islam. Pertimbangan ini lebih didasari atas penilaian bahwa Hijrah adalah momentum tepat sebagai peristiwa pembebasan manusia atas berhala-berhala fisik maupun keyakinan terhadap kultus individu sebagaimana umat lain terhadap peradaban manusia. Untuk lebih jelasnya dapat merujuk langsung kepada buku Sejarah Nabi Muhammad dan Umar al Faruq karya Muhamad Husen Haikal penerbit Litera Antar Nusa.
[9]Istilah ini bukan berarti memihak kepada kelompok umat islam yang menyatakan bahwa khilafah atau daulah islamiyah adalah kewajiban agama agar Islam mampu berjaya di muka bumi. Pemerintahan islam disini lebih menunjuk kepada keadaan bahwa saat itu nabi berperan ganda antara sebagai rasul Allah yang bertugas menyebarkan Islam, juga secara politis di daulat oleh masyarakat Madinah yang merupakan gabungan antara kaum muhajirin, Anshar, serta umat Kristen dan Yahudi Madinah untuk menjadi pemimpin secara politis bagi mereka yang dikukuhkan dalam perjanjian Madinah. Dengan diangkatnya Nabi Muhammad sebagai pemimpin, dan beliau adalah juga Nabi dan rasul Allah untuk menyebarkan Islam, maka prinsip-prinsip kepemimpinan beliau dalam pemerintahan Madinah bersendikan kepada pertimbangan hukum pada Kitab Allah. Rujuklah kepada buku Studi Sejarah Islam karya K. Ali MA penerbit Jakarta Binacipta.
[10]Mesjid ini dibangun bertepatan dengan peristiwa hijrah, yaitu ketika nabi tiba dan semau orang mengelukannya termasuk beberapa sahabat menawari tempattinggal baginya, namun nabi lebih memilih untuk memnuhi usulan agar nabi sendiri yang menentukan dan berdasarkan tempat berhentinya unta yang beliau tunggangi. Disitulah kemudian didirikan masjid yang berfungsi untuk pusat kegiatan umat islam sekaligus dipinggirnya dibangunkan rumah untuk nabi tinggal bersama istri-istri dan keluarganya.
[11]Peristiwa di baiatnya Abu Bakar menjadi Khalifah Rasul merupakan peristiwa yang bersejarah sebagai ciklal bakal berdirinya imperium islam di bawah kepemimpinan khulafa u rasyidun, dan peristiwa ini bukanlah kejadian yang tanpa kritik. Setidaknya terjadi pembicaraan serius (bahkan mendekati pertikaian di antara kalangan sahabat) untuk menentukan siapa pengganti pemimpin Madinah dan kaum beriman paska nabi, sementara jenazah Nabi masih belum dikebumikan. Kejadian ini menurut sebagain fakar menandakan penggantian kepemimpinan lebih penting atau dianggap lebih penting dibanding mengurus jenazah. Terlepas dari penilaian demikian, namun kejadian tersebut menjadi catatan khsusus bagi ahlul bait untuk selanjutnya. Bagaimanapun peristiwa tersebut lebih merupakan peristiwa politik namun sangat erat kepentingannya dengan kelangsungan dakwah selanjutnya.
[12]Demikian Haikal mencatat dalam Sejarah Hidup Muhammad pada halaman 179
[13]Judul Topik ini diambil dari Buku Manajemen Masjid karya Bachrun Rifai dan Moch. Fakhrurozy terbitan Bandung: Benang Merah Press. 2005.
[14]Dalam Wawasan Al Quran terbitan Bandung : Mizan. Hal 459.
[15]Dalam Atlas Budaya Islam. Hal 185.
[16]Penjelasan ini sesuai dengan Q.S. Jinn ayat 18 berikut :Dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.
[17]Islam menggariskan bahwa melaksanakan sholat lima waktu secara berjamaah di masjid pahalanya 27 derajat lebih baik ketimbang melaksanakan sholat yang sama secara sendiri-sendiri di rumah masing-masing.
[18]Atau dapat pula dipahami sebagai pengejawantahan ibadah transendental (vertikal) dan dan transosial (horizontal)
[19]Harun Nasution dalam Islam Rasional. 2000: 248 menjelaskan bahwa di masa awal perjalanan sejarah Islam, mesjid oleh Nabi Muhammad dan umat Islam digunakan untuk melakukan ibadah shalat, tempat tinggal ahl al shuffah, juga tempat tinggal Nabi Muhammad dan keluarga. Dan seiring perkembangan umat Islam, maka fungsi mesjid di Madinah bertambah sebagai tempat Nabi Muhammad mengatur strategi dalam ketatanegaraan dan pemerintahan, menyampaikan pidato-pidato, juga memutuskan perkara peradilan. Sementara itu Quraish Shihab dalam Wawasan Al Quran 2000: 462 merinci fungsi-fungsi mesjid di masa Nabi Muhammad sebagai berikut:
· Tempat ibadah (shalat, zikir).
· Tempat konsultasi dan komunikasi persoalan ekonomi, sosial dan budaya.
· Tempat melangsungkan kegiatan pendidikan umat.
· Tempat melakukan santunan terhadap fakir miskin (sosial).
· Tempat latihan militer serta mempersiapkan perlengkapannya.
· Tempat pengobatan korban peperangan.
· Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa.
· Aula dan tempat menerima tamu.
· Tempat menawan tahanan, dan
· Pusat penerangan dan pembelaan agama.
[20] Rujuklah ke Atlas Budaya Islam hal…..
[21]Universitas Al Azhar ini pada mulanya adalah masjid yang dibangun di masa Dinasti Fatimiyah di Mesir.
[22]Salah satunya adalah Ustadz Quraish Shihab yang diakui otoritasnya dalam bidang Tafsir Quran baik untuk nasional maupun Internasional.
[23]Mengenai hubungan kalangan agama dengan pemerintah pada masa orde baru pernah terganggu akibat adanya pengaruh politik yang sedemikian rupa sehingga melahirkan beragam isu yang merugikan terhadap aktifitas keagamaan.
[24]Dampak lain kehampaan spiritual ini ialah sebagain masyarakat beragama (Islam) mencari sendiri bentuk jawaban atas kegersangan jiwanya dari sentuhan KeTuhanan dalam hidupnya. Akibatnya banyak yang dianggap menyimpang dari mainstream agama Islam pada umumnya. Pada akhirnya keadaan ini malhirkan kekeliruan yang berakibat negatif dan dalam baik bagi dirinya maupun harmoni komuikasi yang terganggu satu sama lainnya sehingga melahirkan kembali lapis kelam dalam sejarah islam ketika sauatu kelompok mengkafirkan kelompok lain dan sebaliknya.
[25]Lebih jauh, lihat Yunan Yusuf dalam Pengantar buku Metode Dakwah, Jakarta : Rahmat Semesta.
[26]Beliau adalah salah satu mantan Rektor IAIN Bandung, ungkapan lengkapnya sebagai berkut ini :
“Saya bertanya apa bedanya dakwah dengan Tarbiyah? Jika Zaenudin MZ bicara di tabligh akbar bahwa zina iru haram, secara umum tanpa merujuk pada suatu kasus, menurut saya itu tarbiyah dalam bentuk ta’lim yang mengikuti sarana tabligh. Akan tetapi jika Dia turun ke Saritem lalu bertemu WTS dan bertanya mengapa kamu jadi WTS ? itu haram nanti masuk neraka, mari ikut saya ke Majelis Ulama sudah ada pekerjaan untukmu, itu baru dakwah, jadi dakwah itu identik dengan tadbir (social engineering).” dalam Transformasi IAIN menjadi UIN menuju research university. Bandung: Gunung Djati Press, 2006.
[27]Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
[28]Muhamnmad Fuad Abd. Al Baqi, Al Mu.jam Mufakhros li fazh al Quran al Kariim. Beirut : Dar Al Fikr. 1987. Hal. 268-273.
[29] Untuk lebih jelasnya mengenai makna hikmah dapat dilihat pada laporan penelitian penulis ”Makna Hikmah dalam Al Quran suatu Pendekatan Semantik.” Bandung 2007.
[30]Lihat M. Natsir. Fiqhud Dakwah. Jakarta : Media Dakwah , 2000. yang sejatinya beliau kutip dari M. Abduh dalam Al Manar. Juz. III.
[31]Ibnu Mandzur, Lisan al Arab, jilid VI. Beirut Dar al Fikr. 1990 hal. 466.
[32] Dalam Pengantar Metode Dakwah Ed. Munzier Suparta. Jakarta : Rahmat Semesta.
[33] Dalam Fiqhud Dakwah hal. 161 - 228
[34] Rujuklah ke Tafsir Al Misbah jilid II. Q.S. Alu Imran.
[35]JIC atau Jakarta Islamic Centre, berupaya untuk merubah situasi Kramat Tunggak dari nuansa negative menjadi nuansa positif. Salahsatu agenda terbesarnya ialah menjadi pusat pembinaan sekaligus aktifitas perekenomian skala Internasional. Namun dengan tidak bermaksud untuk mengeclkan arti tujuan mulyanya tersebut, penulis belum menangkap esensi penguatan ekonomi ummat yang akan dikembangkan di JIC berorientasi untuk berpihak kepada kaum dhuafa.
[36]Sebagaimana halnya JIC, Merci atau Mesjid Raya Ciromed di Sumedang pun demikian, sebagai upaya pencitraan baru yang lebih positif dari identitas semula di wilayah ini. Merci mengembangkan konsep BMT untuk membantu kalangan ummat islam kalangan ekonomi kecil dan menengah di wilayah ini. Sampai 2004 ketika penulis melakukan penelitian kegiatan ini masih terus berlangsung.
[37]DPU, Dompet Peduli Umat Daarut Tauhid mengembangkan konsep MISYKAT, Mikro Syariah berbasis Masyarakat suatu upaya pemberian Damingan Ekonomi kepada kelompok binaan yang permodalannya di berikan dari dana DPU yang dikumpulkan dari Umat.
[38] Ekonomi syariah kadang diwujudkan berupa bank, atau BMT simpan pinjam dengan ketentuan yang hampir sama ketatnya dengan bank konvensional, sehingga kaum kecil yang tidak memiliki jaminan rungguhan atas pinjamannya tetap akan kesulitan untuk memperoleh dana pinajamn tersebut. Dan akhirnya kemiskinan akan tetap membelit mereka. Maka sangan menarik konsep pengembangan ekonomi untuk kaun kecil sebagaimana yang digagas dan dikembangkan oleh Mahmud Yunus di Bangladesh dengan hanya bersandarkan kepada Trust. Bukankah Islam menganjurkan untuk saling mempercayai. Jika kaum modal kesulitan untuk mempercayai kaum kecil maka sesungguhnya kesejatian iman mereka berada dalam ambang pertanyaan yang mengkhawatirkan.
[39] Kita bisa saja megembangkan pemaknaan ekonomi berbasis masjid ini bukan mesti dari atau oleh masjid pelaksanaannya, namun juga bentuk lain dengan semangat keberpihakan kepada kaum kecil dengan titik start dari pembinaan komitmen dari masjid. Hal ini sebagaimana yang dikembangkan oleh RUZAK atau Rumah Zakat Indonesia yang terus melakukan inovasi untuk menjangkau seluruh pelosok dengan komitmen membantu kaum dhuafa. Sangat terasa keberadaannya dengan karya-karya dan ide-ide yang sensitif sesuai kebutuhan ummat. Demikian pula halnya yang dikembangkan DDR atau Dompet Dhuafa Republika.

3 komentar:

DKM Al Mubarak Pangranggo mengatakan...

Assalamualaikum wr wb damang pk ust? punten tiasa copas teu? htr nhn

DKM Al Mubarak Pangranggo mengatakan...

assalamualaikum wr wb punten pk ust ngiring copas na. htr nhn

Firman Nugraha mengatakan...

Mohan maaf say abaru buka lagi blog ini. Prinsipnya silahkan, semoga bermanfaat.