Minggu, 14 Maret 2010

Wawasan Multikultural dalam penyuluhan agama


Oleh Firman Nugraha

Latar Belakang: Tantangan Beragama Di Era Global
Ada kekhawatiran dan kecemasan bahwa dominasi arus budaya global saat ini yang dinilai cenderung negatif, tidak mengindahkan nilai-nilai suci agama dan nilai-nilai luhur spiritual, melanda berbagai tatanan kehidupan termasuk Indonesia. Kekhawatiran dan kecemasan itu cukup beralasan, dan telah terbukti dampak yang ditimbulkannya, antara lain pada ruang privat keagamaan. Walaupun secara lahiriah tampak adanya perkembangan, namun bobot spiritualitasnya (iman dan amal saleh) cenderung dilemahkan, “disilaukan” oleh gemerlap kesenangan duniawi yang disebarkan oleh arus budaya global.


Dampak ini tercermin pula pada ruang publik. Tayangan pada media massa (cetak dan elektronik), internet, penyebaran orientasi uang dan gaya hidup materialistik, mode show berbagai bentuk hiburan, penyebaran narkoba, judi, fornografi, pornoaksi, minuman keras, prostitusi, pergaulan bebas, serta berbagai kriminalitas dan penyakit sosial lainnya.
Apabila direnungkan sesungguhnya secara hakiki tidak ada yang baru dari perkembangan kebaikan dan keburukan/kejahatan di permukaan bumi ini. Yang ada hanyalah perkembangan variasinya yang semakin beraneka ragam karena kemajuan produk-produk teknologi. Dari dulu telah dipahami puncak kesenangan dunia yang dicirikan sebagai 3-ta (harta, tahta, wanita) yang dapat membawa nikmat atau laknat tergantung kepada kearifan atau ketidakarifan dalam menyikapi dan mengurusnya. Hal ini tetap berlaku sampai sekarang dan pada masa yang akan datang. Karena masalah 3-ta inilah muncul kompleksitas masalah di Indonesia seperti korupsi, persaingan tidak sehat, konflik, kerusuhan, kesenjangan sosial, penyakit sosial, dan berbagai bentuk kriminalitas. Orang kaya mengalami sakit (fisik dan mental), karena kelebihan makanan dan minuman yang mengendap dan menjadi penyakit, sedang si miskin mengalami sakit karena kekurangan makanan dan minuman. Padahal sekiranya si kaya tidak berlebihan, dan mau membagi makanan dan minumannya kepada si miskin, mereka semua sama-sama sehat, selamat dan sejahtera.
Apa yang diyakini oleh umat yang menganut ajaran suci agama, segala dominasi yang bersifat negatif, bukanlah merupakan sesuatu yang bersifat hakiki, dan bertentangan dengan hati nurani manusia yang murni. Oleh karena itu ia hanya bersifat sementara. Pada saatnya hati nurani umat manusia memperoleh kekuatan spiritualnya yang murni, maka kecenderungan positif yang penuh makna akan menyinari dan mencerahkan perkembangagn global secara signifikan.
Beranjak dari pandangan dan keyakinan ini, dan dengan berpegang teguh kepada identitas dan kemandirian bangsa Indonesia sesungguhnya berbagai permasalahan tersebut dapat ditanggulangi. Untuk itu, dan sekali lagi, syaratnya adalah semangat kebersamaan, kerukunan, musyawarah dan mufakat serta komitmen dan kesungguhan untuk melaksanakannya secara konsekuen, pada skala lokal, nasional dan internasional/global. Dan skap demikian terwadahi dalam semangat multikulturalisme yang ber keindonesiaan.

Multikulturalisme: Suatu Pemahaman Dasar
1. Pengertian Multikultralisme
Secara harfiah, akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian kebudayaan diantara para ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli atau ahli-ahli lainnya. Karena multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut dan karena itu melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Yang juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu operasional melalui pranata-pranata sosial.
Istilah multikulturalisme tidaklah memadai jika difahami secara harfiah “faham banyak budaya” semata. Untuk memudahkan pemahaman ada baiknya lebih dahulu diperhatikan pendapat Rob Reich yang membedakan di antara multi-kulturalisme deskriptif dengan multikulturalisme normatif. Multikulturalisme deskriptif adalah kenyataan sosial yang mencerminkan adanya kemajemukan (pluralistik). Multikulturalisme normatif berkaitan dengan dasar-dasar moral, yaitu adanya ikatan moral dari para warga dalam lingkup negara/bangsa untuk melakukan sesuatu yang menjadi kesepakatan bersama.
Multikulturalisme normatif itulah tampaknya yang kini dikembang-kan di Indonesia. Untuk memperoleh suatu pemahaman yang lebih jelas agaknya perlu diperhatikan pendapat H. M. Atho’ Muzhar bahwa multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat su-atu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggaan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut.
Gagasan multikulturalisme muncul pada beberapa negara yang berpen-duduk majemuk dari segi etnis, budaya dan agama, seperti misalnya di Amerika Serikat dan Eropa yang masyarakatnya lebih majemuk. Sebelum muncul teori multikulturalisme, di Amerika Serikat pernah dikembangkan teori “melting-pot” (“tempat melebur”) dan teori “salad-bowl” (tempat salada), namun kedua-duanya mempunyai kelemahan dan mengalami kegagalan.
Dengan teori Melting-pot diupayakan untuk menyatukan seluruh budaya yang ada dengan meleburkan seluruh budaya asal masing-masing. Dengan teori Salad bowl, masing-masing budaya asal tidak dihilangkan melainkan diakomodir dan memberikan kontribusi bagi budaya bangsa, namun interaksi kultural belum berkembang dengan baik. Maka Multikulturalisme mengoreksi kelemahan tersebut, antara lain dengan :
• Membagi pergerakan budaya menjadi dua. Pertama, ruang publik yang terbuka bagi seluruh etnis/kelompok/umat untuk mengekspresikan dirinya dalam suatu tatanan budaya bersama. Kedua, ruang privat, yang digunakan oleh masing-masing etnis/kelompok/umat mengekspresikan budayanya secara leluasa.
• Mengembangkan kebanggaan sebagai satu bangsa dan satu negara.
• Menghargai dan menghormati hak-hak sipil, termasuk hak-hak kelompok minoritas.

2. Multikulturalisme dalam perspektif agama Islam
Secara historis Islam sesungguhnya lahir dari masyarakat multikultural seperti yang terlihat pada masyarakat Madinah zaman Nabi Muhammad. Di Madinah ketika itu selain terdapat berbagai macam suku bangsa, semisal Aus dan Khazraj, juga terdapat pemeluk agama-agama selain Islam, seperti Yahudi dan Nasrani. Kesemua suku dan pemeluk agama tersebut hidup berdampingan secara damai. Nabi Muhammad sendiri selalu menekankan bahwa perbedaan itu bukanlah hal yang harus dihindari, tetapi malah harus disyukuri karena ia sesungguhnya dapat membawa rahmat (ikhtilaful umah rahmatun).
Dari segi teologis, prinsip-prinsip dasar ajaran Islam seperti yang terkandung dalam kitab sucinya pada hakikatnya sangat mendukung konsep multikulturalisme ini. Setidaknya ada tiga prinsip yang hendak diungkapkan di sini. Pertama, toleransi. Toleransi mengandung arti menghargai perbedaan pihak lain, karena perbedaan itu sesungguhnya merupakan sunnatullah. Firman Allah dalam Surah al-Hujurat (49): 13, menegaskan bahwa Allah telah menciptakan manusia dengan bermacam-macam suku bangsa agar manusia saling mengenal. Kata "saling mengenal" merupakan pintu masuk untuk menghargai perbedaan. Pada ayat sebelumnya di surah yang sama, Allah juga melarang manusia dari perbuatan mencela atau mengolok-olok kaum (baca: suku bangsa) lain. Sebab, belum tentu yang dicela itu lebih buruk daripada yang mencela. Ini artinya bahwa perbedaan tidak boleh menjadi ajang konflik, karenanya harus terus dihargai. Dengan saling mengenal dan tidak mencela antar satu suku dengan lainnya, maka jalan menuju kehidupan multikulturalis akan terbuka.
Kedua, perdamaian. Islam berasal dari akar kata "al-Salam" atau "al-Silmi" yang berarti perdamaian. Ini berarti Islam sejak awal sudah mengajak umatnya untuk melakukan dan menyebarkan perdamaian di muka bumi. Sebab, dengan perdamaianlah beragam suku bangsa beserta aneka macam karakteristiknya yang hidup bersama akan mendapatkan ketenangan dan keamanan. Ayat al-Qur'an, al-Baqarah (2): 208, "Udkhulu fi al-silmi kaffah" - yang selama ini acap diterjemahkan "masuklah ke dalam agama Islam secara kaffah"-menurut hemat penulis, terjemahannya yang tepat adalah "masuklah ke dalam perdamaian secara kaffah (total)". Berdamai secara kaffah artinya hendaklah hidup ini kita abdikan untuk perdamaian bukan hanya dengan kelompok sendiri, tetapi dengan segenap kelompok manusia di muka bumi, karena hanya dalam situasi damailah multikulturalisme akan bisa tumbuh.
Ketiga, keadilan. Yang ditekankan di sini adalah berlaku adil dalam memandang dan bersikap terhadap orang atau kelompok lain. Dalam Surat al-Maidah (5): 8, Allah berfirman, "Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil." Ayat ini mengajak kita untuk berlaku adil, sekalipun terhadap orang atau kelompok yang memusuhi kita. Berlaku adil terhadap orang atau kelompok yang memusuhi maksudnya adalah hendaklah kita tetap berlaku "obyektif" terhadap mereka. Jika mereka melakukan suatu kebaikan, maka mesti diapresiasi sebagai kebaikan. Jangan sampai kebaikan itu kita negasikan hanya karena kita membenci mereka. Jika ini bisa menjadi ruh kehidupan, maka multikulturalisme akan mudah terwujud.
Ketiga prinsip dasar di atas; toleransi, perdamaian dan keadilan, merupakan prasyarat mutlak bagi umat Islam Indonesia dewasa ini jika mereka hendak mewujudkan multikulturalisme di negeri ini. Sayangya, justru pada saat yang sama ketiga hal tersebut pada kenyataannya masih menjadi lip service atau belum mengejawantah di kalangan umat.
Dalam hal toleransi, misalnya, bahkan di kalangan intern umat Islam sendiri pun masih sering ditemukan perselisihan-perselisihan yang dalam derajat tentu acap menyulut konflik tajam. Dikotomi kelompok "modernis" dan "tradisionalis" yang senantiasa mewarnai konstelasi politik Indonesia ternyata tidak pernah selesai, bahkan seiring dengan semangat liberalisasi politik pasca jatuhnya Orde Baru, hal tersebut dalam sejumlah kasus kian mengental.
Demikian pula dalam hal perdamaian dan berlaku adil. Tampaknya budaya politik umat belum menemukan kematangan, sebaliknya masih diwarnai oleh emosionalitas yang cukup tinggi. Umat mudah sekali tersulut oleh hal-hal yang tampak di permukaan akan menyudutkan Islam, padahal belum tentu demikian. Pembelaan secara mati-matian bahkan dengan aksi pengrusakan hanya karena pemimpinnya dikritik pihak lain tanpa mengecek (tabayyun) terhadap kritik tersebut, merupakan bukti betapa tingkat emosionalitas umat masih sangat tinggi.
Oleh karena itu, ketiga prinsip di atas hendaklah dijadikan spirit bagi umat di dalam berusaha mewujudkan multikulturalisme di negeri ini. Mozaik kebudayaan sebagai representasi dari gambaran multikulturalisme di Indonesia sebagaimana yang telah disinggung di muka akan hidup tidak sekadar berdampingan secara damai, melainkan juga mampu merajut berbagai serpihan kebudayaan itu secara dinamis, saling menghargai dan pada gilirannya membangun kebersamaan tanpa mengeliminasi perbedaan. Inilah salah satu pekerjaan rumah yang cukup mendesak untuk diberikan perhatian secara serius oleh para tokoh di negeri kita ini.

Mengembangkan Multikulturalisme Dan Kerukunan Umat Beragama
1. Multikulturalisme dan arti pentingnya bagi Negara Indonesia
Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan Kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.
Dengan memperhatikan pokok-pokok tentang multikulturalisme dan dihubungkan dengan kondisi negara Indonesia saat ini, kiranya menjadi jelas bahwa multikulturalisme perlu dikembangkan di Indonesia, karena justru dengan kebijakan inilah kita dapat memaknai “Bhinneka Tunggal Ika” secara baik, seimbang dan proporsional. Dengan kebijakan ini pula kita dapat menerapkan “Persatuan Indonesia” dan mengembang-kan semangat nasionalisme sebagai-mana diharapkan.
Dari pengertian kerukunan umat beragama dan multikulturalisme seba-gaimana dikemukakan di atas kiranya menjadi jelas pula bahwa multikulturalisme merupakan pengayaan terhadap konsep kerukunan umat beragama yang dikem-bangkan secara nasional di Negara kita.
Lebih daripada itu, multikulturalisme perlu pula dikembangkan dalam kerangka hubungan internasional, mengingat bahwa dalam kondisi sekarang ini negara kita amat membutuhkan bantuan dan kerjasama dengan negara lain.

2. Syarat Mengembangkan wawasan multikulturalisme di Indonesia
Upaya membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat terwujud bila: (1) Konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya; (2) Kesamaan pemahaman diantara para ahli mengenai makna multikulturalisme dan bagunan konsep-konsep yang mendukungnya, dan (3) Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini.
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia tetapi bagi pada umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah adalah sebuah konsep asing. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme akan harus mau tidak mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-negara Eropah Barat maka sampai dengan Perang Dunia ke-2 masyarakat-masyarakat tersebut hanya mengenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Kulit Putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut digolongkan sebagai minoritas dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri. Di Amerika Serikat berbagai gejolak untuk persamaan hak bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir tahun 1950an. Puncaknya adalah pada tahun 1960an dengan dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam dan Berwarna di tempat-tempat umum, perjuangan Hak-Hak Sipil, dan dilanjutkannya perjuangan Hak-Hak Sipil ini secara lebih efektif melalui berbagai kegiatan affirmative action yang membantu mereka yang tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas untuk dapat mengejar ketinggalan mereka dari golongan Kulit Putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha (lihat Suparlan 1999).
Di tahun 1970an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam perbedaan mengalami berbagai hambatan, karena corak kebudayaan Kulit Putih yang Protestan dan dominan itu berbeda dari corak kebudayaan orang Kulit Hitam, orang Indian atau Pribumi Amerika, dan dari berbagai kebudayaan bangsa dan sukubangsa yang tergolong minoritas sebagaimana yang dikemukakan oleh Nieto (1992) dan tulisan-tulisan yang diedit oleh Reed (1997). Yang dilakukan oleh para cendekiawan dan pejabat pemerintah yang pro demokrasi dan HAM, dan yang anti rasisme dan diskriminasi adalah dengan cara menyebarluaskan konsep multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di sekolah-sekolah di tahun 1970an. Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan berbagai golongan sukubangsa lainnya dewasa ini dapat belajar dengan menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahap-tahap tertentu (Nieto 1992). Jadi kalau Glazer (1997) mengatakan bahwa 'we are all multiculturalists now' dia menyatakan apa yang sebenarnya terjadi pada masa sekarang ini di Amerika Serikat, dan gejala tersebut adalah produk dari serangkaian proses-proses pendidikan multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970an.
Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lannya, dan multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembang-luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002)..
Masalah yang dihadapi berkenaan dengan upaya menuju masyarakat Indonesia yang multikultural adalah sangat kompleks. Apakah kita para tenaga penyuluh agama sudah siap untuk itu? Tampaknya erlu untuk melakukan pengkajian secara cermat mengenai kesiapan tersebut. Pertama, apakah secara konseptual dan teoretikal kita cukup mampu untuk melakukan penelitian dan analisis atas gejala-gejala yang menjadi ciri-ciri dari masyarakat majemuk yang telah selama lebih dari 32 tahun kita jalani, dan apakah kita juga akan mampu untuk membuat semacam blueprint untuk merubahnya menjadi bercorak multikultural? Kalau belum mampu, sebaiknya mempersiapkan diri melalui berbagai kegiatan diskusi, seminar, atau lokakarya untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan kita dan mempertajam konsep-konsep dan metodologi yang relevan dalam kajian mengenai ungkapan-ungkapan masyarakat majemuk dan multikultural.
Kedua, apakah secara metodologi kita sudah siap untuk itu? Kajian-kajian etnografi yang teradisional, yang bercorak butterfly collecting sebagaimana yang selama ini mendominasi kegiatan-kegiatan penelitian mahasiswa untuk skripsi dan dosen, sebaiknya ditinjau kembali untuk dirubah sesuai dengan perkembangan antropologi dewasa ini dan sesuai dengan upaya pembangunan masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang multikultural. Penelitian etnografi yang bercorak penulisan jurnalisme juga sebaiknya dihindari dan diganti dengan penelitian etnografi yang terfokus dan mendalam, yang akan mampu mengungkap apa yang tersembunyi dibalik gejala-gejala yang dapat diamati dan didengarkan, dan yang akan mampu menghasilkan sebuah kesimpulan atau tesis yang sahih. Begitu juga kegiatan-kegiatan penelitian yang menggunakan kuesioner untuk mendapat respons dari respeonden atas sejumlah pertanyaan sebaiknya ditinggalkan dalam kajian untuk dan mengenai multikulturalisme ini. Karena, kajian seperti ini hanya akan mampu menghasilkan informasi mengenai kecenderungan gejala-gejala yang diteliti, bersifat superfisial, dan menyembunyikan bayak kebenaran yang seharusnya dapat diungkapan melalui dan dalam kegiatan sesuatu penelitian. Pendekatan kualitatif dan etnografi, yang biasanya dianggap tidak ilmiah karena tidak ada angka-angka statistiknya, sebaiknya digunakan dengan menggunakan metode-metode yang baku sebagaimana yang ada dalam buku yang diedit oleh Denzin dan Lincoln (2000), karena justru pendekatan kualitatif inilah yang ilmiah dan obyektif dalam konteks-konteks masyarakat atau gejala-gejala dan masalah yang ditelitinya. Untuk itu perlu juga diperiksa tulisan Guba dan tulisan-tulisan dari sejumlah penulis yang di-editnya (1990) yang menunjukkan kelemahan dari filsafat positivisme yang menjadi landasan utama dari metodologi kualitatif.
Ketiga, ada baiknya jika berbagai upaya untuk melakukan kajian multikulturalisme dan masyarakat mulitikultural yang telah dilakukan oleh ahli-ahli antropologi juga dapat menstimuli dan melibatkan ahli-ahli sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan bisnis, ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu kepolisian, dan ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya untuk secara bersama-sama melihat, mengembangkan dan memantapkan serta menciptakan model-model penerapan multikutlralisme dalam masyarakat Indonesia, menurut perspektif dan keahlian akademik masing-masing. Sehingga secara bersama-sama tetapi melalui dan dengan menggunakan pendekatan masing-masing, upaya-upaya untuk menuju masyarakat Indonesia yang multikultural itu dapat dengan secara cepat dan efektif berhasil dilaksanakan.
Disamping bekerja sama dengan para ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan yang mempunyai perhatian terhadap masalah multikulturalisme, para tenaga penyuluh agama sebaiknya mulai memikirkan untuk memberikan informasi mengenai multikulturalisme kepada berbagai lembaga, badan, dan organisasi kemasyarakatan serta kepemerintahan yang dalam kebijaksanaan mereka langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah multikulturalisme. Selanjutnya, berbagai badan atau organisasi pemerintahan serta LSM diajak dalam berbagai kegiatan diskusi, seminar, dan lokakarya sebagai peserta aktif. Mereka ini adalah kekuatan sosial yang akan mendukung dan bahkan dapat memelopori terwujudnya cita-cita reformasi bila mereka memahami makna multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang berkaitan dengan itu, atau mereka itu dapat juga menentang multikulturalisme dan ide tentang masyarakat multikultural Indonesia bila mereka tidak memahaminya atau mereka merasa tidak berkepentingan untuk turut melakukan reformasi.

3. Penerapan Multikulturalisme dalam Pemeliharaan KUB
Ciri utama dari multikulturalisme adalah pengaturan mengenai ruang privat dan ruang publik, oleh karena itu dalam penerapannya hal ini perlu dipahami, disikapi dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Paparan berikut ini adalah khusus dalam konteks pemeliharaan kerukunan umat beragama di negara Indonesia yang kita cintai ini.
Pemahaman Mengenai Ruang Privat dan Ruang Publik
Dari paparan terdahulu kiranya jelas bahwa ruang privat mencerminkan ruang masing-masing “masyarakat khusus”(kelompok/etnis/budaya/agama) mengekspresikan dirinya. Sedangkan ruang publik mencerminkan ruang seluruh masyarakat khusus tersebut mengekspresikan diri dalam suatu tatanan bersama.
Dalam konteks agama, ada sejumlah ruang privat di Indonesia, seperti ruang privat umat Islam, ruang privat umat Kristen, ruang privat umat Katolik, ruang privat umat Hindu, ruang privat umat Buddha, ruang privat umat, dan ruang privat umat Konghucu.
Ekspresi umat beragama dalam ruang privat masing-masing antara lain tercermin pada :
  • Rumah tempat tinggal (yang bernuansa keagamaan, antara lain dengan simbol-simbol, hiasan, musik, dan ciri khas lainnya.
  • Rumah ibadat dengan ciri khas keagamaan, seperti masjid, gereja, kuil, vihara dan lain-lain.
  • Kegiatan ibadat/seremonial yang spesifik.
  • Penyiaran agama masing-masing (khotbah, ceramah, dan lain-lain).
  • Peringatan Hari-hari Besar Keagamaan yang spesifik.
  • Pendidikan agama yang khas.
  • Interaksi internal masing-masing agama (dalam konteks kerukunan disebut : kerukunan intern agama) yang spesifik, misalnya dalam ucapan salam penyikapan dan tata cara lainnya.
  • Majelis agama masing-masing.
  • Ormas keagamaan masing-masing.
  • Tradisi keagamaan yang khas.
  • Literatur keagamaan yang khas.
  • Simbol-simbol keagamaan yang spesifik.
  • Seni budaya religius.
  • Faham keagamaan/theologi yang spesifik.
  • Perasaan keagamaan yang khas.
  • Penyikapan keagamaan/iman/kepercayaan yang khas.
  • Pengamalan keagamaan masing-masing, misalnya menyangkut dengan tingkah laku, makanan, minuman, kebersihan, pergaulan, dan sebagainya.
Namun perlu dicatat bahwa di samping berbagai ekspresi yang spesifik dari masing-masing umat beragama, ada “benang merah” yang menghubungkan agama-agama, yaitu pada nilai-nilai universal yang diajarkan antara lain kebenaran, kejujuran, keadilan, kebajikan, kesucian, ketulusan, kasih sayang, tolong-menolong kerukunan, kedamaian, kesela-matan, kesejahteraan dan kebahagiaan yang hakiki dan abadi.
Adapun ruang publik Indonesia yang mencerminkan ruang seluruh masyarakat khusus (seluruh umat beragama) mengekspresikan diri dalam suatu tatanan bersama, meliputi seluruh ruang atau tempat umum yang ada di wilayah Negara Indonesia.Untuk membatasi uraian, berikut ini dikemukakan ruang publik yang di dalamnya sering terjadi interaksi masyarakat/umat beragama, yaitu:
  • Pasar (termasuk plaza, supermaket, kawasan pertokoan, tempat berjualan).
  • Rumah sakit (termasuk Puskesmas, Poliklinik, dan sebagainya).
  • Sekolah termasuk kampus.
  • Kantor lembaga/instansi kenegaraan (legislatif, eksekutif, yudikatif, mulai dari pusat sampai daerah).
  • Transportasi umum (darat, laut, udara) beserta prasarananya, stasiun, terminal, pelabuhan dan bandara.
  • Kawasan pemukiman termasuk jalan umum, taman, lapangan.
  • Hotel/penginapan.
  • Rumah makan (termasuk restaurant, cafĂ© dan sejenisnya).
  • Tempat hiburan.
  • Tempat olah raga.
  • Tempat rekreasi/wisata.
  • Tempat pertemuan.
  • Tempat bekerja.
  • Media massa (cetak dan elektronik).
  • Perpustakaan.
  • Museum.
  • Berbagai tempat pelayanan publik lainnya.
Berkenaan dengan ruang privat dan ruang publik seperti dikemukakan di atas, berikut ini perlu dijelaskan, beberapa hal atau beberapa contoh khusus, namun lazim dilaksanakan, antara lain:
  • Penyiaran agama masing-masing (butir 2 ruang privat) dilakukan di ruang publik: media massa (cetak dan elektronik), lapangan dan berbagai tempat lain yang dapat dijadikan tempat pertemuan bagi terselenggaranya penyiaran agama.
  • Dalam peringatan Hari-hari Besar Keagamaan (butir 5 ruang privat), lazim diundang dari agama lain, namun hanya dalam acara yang bersifat umum, di luar ibadat/ritual.
  • Literatur keagamaan dan karya seni yang mengandung simbol-simbol keagamaan (butir 11, 12 dan 13 ruang privat) lazim dipasarkan di ruang publik (toko buku, toko perhiasan, toko keramik, dan sebagainya).
  • Selain itu, ada pula ruang publik yang dikelola oleh kalangan agama/etnis tertentu yang mengandung muatan/ciri privat, antara lain :
  • Rumah Sakit yang dikelola oleh lembaga keagamaan.
  • Sekolah umum yang dikelola oleh lembaga keagamaan.
  • Rumah makan dengan ciri khusus misalnya: “rumah makan Islam”, rumah makan BPK (Babi Panggang Karo), restaurant Tionghoa yang menyediakan babi dan sebagainya.

Penyikapan Mengenai Ruang Privat dan Ruang Publik
Memperhatikan pokok-pokok pikiran yang dikemukakan terdahulu, penyikapan yang berdasarkan wawasan multikultural mengenai kemajemukan ruang privat adalah sebagai berikut :
  • Menerima adanya kemajemukan umat beragama di tanah air.
  • Toleran terhadap umat beragama mengekspresikan diri dalam ruang privat masing-masing.
  • Tenggang rasa dalam mengekspresikan diri sehingga tidak mengganggu ruang privat lain dan tidak mengganggu ruang publik.
  • Hormat menghormati dan menjalin hubungan baik serta bekerja sama intern dan antar ruang privat, dengan kata lain menjalin kerukunan umat beragama.
  • Bersungguh-sungguh memaknai kemajemukan dan kekayaan religius dalam upaya mengisi nilai-nilai dasar dan nilai-nilai luhur bangsa dan negara Indonesia yang dapat dibanggakan di tengah-tengah pergaulan internasional.
Selanjutnya penyikapan mengenai ruang publik adalah mengembangkan kebanggaan sebagai satu bangsa dan satu negara sesuai tatanan yang disepakati bersama. Hal ini tercermin dalam berbagai kesepakatan dasar dan penjabarannya yang dihasilkan sepanjang perjalanan bangsa dan negara Indonesia hingga saat ini, antara lain:
  • Sumpah Pemuda.
  • Pancasila.
  • UUD 1945.
  • Bhinneka Tunggal Ika.
  • Nilai-nilai universal ajaran agama yang diterima bersama.
  • Nilai-nilai luhur bangsa yang diterima bersama.
  • Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penataan Ruang Privat dan Ruang Publik
Seperti dimaklumi bahwa unsur yang mengisi ruang privat dan ruang publik dalam konteks negara Indonesia adalah unsur masyarakat (warga negara) dan unsur pemerintah (penyelenggara negara, yang juga adalah warga negara). Maka, untuk penataan yang baik diperlukan kerja sama pemerintah dengan masyarakat. Dalam rangka inilah diperlukan regulasi (peraturan/tata tertib) agar ruang privat dan ruang publik tertata dengan baik dan agar kegiatan di dalamnya dapat berlangsung dengan baik pula.
Berikut ini dikemukakan beberapa contoh penataan (regulasi) ruang privat agama:
  • Pendirian rumah ibadat (PBM 2006).
  • Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara (PBM 2006).
  • Penyiaran agama (Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1/BER/MDN-Mab/1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia).
  • Penyelenggaraan hari-hari besar keagamaan (Surat Edaran Menteri Agama Nomor MA/432/1981 tentang Penyelenggaraan Hari-hari besar Keagamaan).
  • Penggunaan Pengeras Suara (Instruksi Direktur Jenderal Bimas Islam Nomor Kep/D/101/78 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Mesjid dan Musholla).
  • Labelisasi halal terhadap makanan dan minuman (berdasarkan pemeriksaan dan keputusan MUI)
Apabila diperhatikan kondisi obyektif lapangan, tampak bahwa berbagai masyarakat khusus (budaya/etnis/agama) lazim pula mengadakan musyawarah dan mufakat serta menghasilkan bentuk-bentuk penataan masyarakat masing-masing. Contohnya adalah adat istiadat dari masing-masing etnis, pola hidup jamaah di kalangan umat beragama dan lain-lain. Selama seluruh ruang privat tersebut mempunyai makna sebagai kekayaan bangsa, dan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, perlu dikelola dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya, sehingga tidak terjadi benturan antar ruang privat, atau saling mendominasi ruang privat, atau berupaya menginter-vensi ruang privat orang lain. Untuk inilah amat diperlukan pertemuan, dialog, silaturrahim, musyawarah antar ruang privat, dalam arti antar etnis, antar agama, dan antar budaya. Mudah-mudahan upaya-upaya ini telah semakin sering diadakan.
Selanjutnya ruang publik Indonesia yang demikian luas cakupannya memerlukan penataan (regulasi) yang cukup banyak. Di sini tidak dipaparkan satu persatu. Untuk sekedar melihat permasalahan, khususnya di daerah perkota-an, masalah tata ruang, penggunaan sarana/tempat umum dan lingkungan hidup, tampaknya semakin kompleks dengan semakin bertambahnya penduduk dan mobilitas yang tinggi.
Sebagai contoh sederhana, parit adalah seyogianya digunakan untuk aliran air/limbah cair, trotoar untuk lalu lintas pejalan kaki, jalan untuk lalu lintas kendaraan. Demikian menurut penataan (regulasi)-nya. Akan tetapi masih banyak masyarakat yang membuang sampah/limbah padat ke parit, berjualan/ berusaha di trotoar, bahkan sampai ke jalan. Akibatnya lingkungan hidup terganggu, lalu lintas terganggu, dan dampak negatif lainnya.
Tampaknya di antara unsur petugas penertiban dengan masyarakat yang ditertibkan terjadi semacam “kucing-kucingan”, ketika sedang penertiban, kondisi tertib sementara, namun ketika unsur penertiban telah meninggalkan tempat atau upaya penertiban turun intensitasnya, kondisi kembali tidak tertib.
Bila dihubungkan dengan konsep kerukunan umat beragama, khususnya dengan upaya-upaya pencerahan, penyadaran dan penguatan dapat diyakini bahwa masalah-masalah tersebut dapat diatasi dengan baik. Namun untuk itu diperlukan kerja sama dari semua pihak, perlu duduk bersama dalam suasana silaturrahim, musyawarah dan mufakat, mencari solusi terbaik untuk dapat berlangsungnya kegiatan privat dan kegiatan publik secara baik sebagaimana diharapkan bersama.

4. Kekuatan dan Kelemahan Multikulturalisme
Mengenai kekuatan multikulturalisme agaknya cukup jelas tercermin pada pokok-pokok yang telah dikemukakan. Hal yang perlu dijelaskan lebih lanjut mengenai kelemahan multikulturalisme. Untuk itu perlu kita hubungkan dengan posisi negara Indonesia sebagai negara religius yang berdasarkan Pancasila.
Hal pertama yang harus dikatakan adalah bahwa negara Indone-sia tidak membenarkan dan tidak mentolerir adanya faham, budaya dan orang-orang yang atheis (anti agama/anti Tuhan). Negara Indonesia juga tidak membenarkan dan tidak mentolerir berbagai upaya yang ingin memisahkan agama dari negara (kecenderungan sekularistik). Kedua hal ini dapat ditolerir pada negara-negara asal multikulturalisme seperti Amerika Serikat. Inilah antara lain yang dapat dipandang sebagai kelemahan multikulturalisme.
Oleh karena itu multikulturalisme yang diterapkan di Indonesia perlu diberi ciri khas, yaitu religiusitas. Dengan kata lain, yang kita kembangkan adalah multikulturalisme religius. Multikulturalisme yang meniscayakan adanya perbedaan itu sesungguhnya mengusung semangat untuk hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) dalam perbedaan kultur yang ada. Menurut Parsudi Suparlan dalam seminar Menuju Indonesi Baru: Dari Masyarakat Majemuk ke Masyarakat Multikultural di Yogyakarta pada Agustus 2001 (Kompas, 3 September 2001), fokus multikulturalisme adalah pada pemahaman dan hidup dengan perbedaan sosial dan budaya, baik secara individual maupun secara kelompok dan masyarakat. Individu dalam hal ini dilihat sebagai refleksi dari kesatuan sosial dan budaya di mana mereka menjadi bagian darinya.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa perbedaan dalam perspektif multikulturalisme bukanlah sesuatu yang bersifat negatif, tetapi justru karena adanya perbedaan itulah manusia bisa saling memberikan warna satu sama lain dalam kehidupan mereka. Tanpa perbedaan, hidup akan terasa hambar.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, benih-benih multikulturalisme sesungguhnya telah ada sejak dahulu, sebab negeri ini terdiri dari beraneka ragam suku bangsa sebagaimana terangkum dalam semboyan "Bhineka Tunggal Ika". Suku-suku bangsa tersebut bagaikan sebuah mozaik yang hidup berdampingan dengan damai. Masing-masing suku mempunyai corak budaya sendiri-sendiri yang sangat jelas dan belum tercampur oleh warna budaya dari suku lain. Tentu saja mozaik kebudayaan diharapkan akan tetap seperti itu, bahkan kalau bisa lebih dari sekadar hidup berdampingan secara damai.

Penutup
Kesadaran multikultur sebenarnya sudah muncul sejak negara Republik Indonesia terbentuk. Pada masa Orde Baru, kesadaran tersebut dipendam atas nama kesatuan dan persatuan. Paham monokulturalisme kemudian ditekankan. Alhasil sampai saat ini, wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. Hal itu terungkap dalam diskusi "Multikulturalisme dan Penguatan Civil Society di Indonesia" yang diselenggarakan oleh Indonesian Institute for Civil Society (INCIS) di Jakarta baru-baru ini.
Ada juga pemahaman yang memandang multikultur sebagai eksklusivitas. Multikultur justru disalahartikan yang mempertegas batas identitas antarindividu. Bahkan ada yang juga mempersoalkan masalah asli atau tidak asli. Multikultur, adalah wacana yang mengandung berbagai macam kepentingan hubungan kekuasaan. Wacana tersebut kemudian dikembangkan dan didukung oleh media.
Multikultur baru muncul pada tahun 1980-an yang awalnya mengkritik penerapan demokrasi. Pada penerapannya, demokrasi ternyata hanya berlaku pada kelompok tertentu. Wacana demokrasi itu ternyata bertentangan dengan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat.Di negara-negara yang menerapkan sistem demokrasi, tuntutan multikultur justru muncul dari lapisan bawah. Hak-hak minoritas diharapkan dapat sejajar dengan hak-hak mayoritas. Setiap anggota masyarakat mempunyai hak untuk mengelola identitasnya. Jadi, paham multikultur lebih akomodatif terhadap kelompok dominan, maupun pada kelompok yang minoritas.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rivai Harahap, Multikulturalisme dan penerapannya dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincolns (eds), 2000, Handbook of Qualitative Research. Second Edition. London: Sage.
Fay, Brian, 1996, Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural Approach. Oxford: Blackwell
Glazer, Nathan, 1997, We Are All Multiculturalists Now. Cambridge, Mass.:Harvard University Press.
Guba, Egon G. (ed.), The Paradigm Dialog. London: Sage.
Iding Rosyidin, Menebar Multikulturalisme di tengah ummat.
Jary, David dan Julia Jary, 1991, "Multiculturalism". Hal.319. Dictionary of Sociology. New York: Harper.
Magnis-Suseno, 1987, Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius.
Nieto, Sonia, 1992, Affirming Diversity: The Sociopolitical Context of Multicultural Education. New York: Longman.
Reed, Ishmed (ed.), Multi America: Essays on Culture Wars and Peace. Pinguin.
Rex, John, 1985, "The Concept of Multicultural Society". Occassional Paper in Ethnic Relations, No. 3. Centre for Research in Ethnic Relations (CRER).
Suparlan, Parsudi, 1999, "Kemajemukan Amerika: Dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme". Jurnal Studi Amerika, vol.5 Agustus, hal. 35-42.
_________ ,2001a, "Bhinneka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan? makalah disampaikan dalam SeminarMenuju Indonesia Baru". Perhimpunan Indonesia Baru - Asosiasi Antropologi Indonesia. Yogyakarta, 16 Agustus 2001.
_________ , 2001b, "Indonesia Baru Dalam Perspektif Multikulturalisme". Harian Media Indonesia, 10 Desember 2001.
_________ , 2002a, "Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia". Jurnal Antropologi Indonesia, no. 6,
hal. 1-12.
_________ , 2002b, Konflik Antar-Sukubangsa dan Upaya Mengatasinya. Temu Tokoh. "Dengan Keberagaman Etnis Kita Perkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Rangka Menuju Integrasi Bangsa". Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya - Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKNST) Pontianak. Singkawang, 12-14 Juni 2002.
__________ , Menuju Masyarakat multikultural, Simposium Internasional Bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002
Watson, C.W., 2000, Multiculturalism. Buckingham-Philadelphia: Open University Press.

Tidak ada komentar: