Senin, 04 April 2011

Dialog Islam dengan karifan lokal di Pasundan

oleh Firman Nugraha

Selalu ada yang menarik untuk diperhatikan tentang bagaimana mengimplentasikan jargon bahwa Islam shalih li kulli jaman wa al makan (islam selalu relevan dan aktual untuk setiap ruang waktu dan tampat) atau wa ma arsalnaka rahmatan lil ‘alamin (tidaklah aku diutus melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam). Jargon-jargon ini menegaskan sisi universalitas Islam sebagai sebuah doktrin agama tentunya yang keberlakuannya melintasi batas-batas waktu serta teritorial, tentu yang dimaksud bukan hanya relevan untuk tanah kelahiran Islam itu sendiri yakni Arab tapi juga dimanapun dan kapanpun. Inilah salah satu makna yang dapat ditarik bahwa islam sebagai agama yang diperuntukan untuk semuanya.


            Berkenaan dengan jargon-jargon tersebut, setidaknya ada dua wajah yang ditampilkan oleh umat islam dalam memaknai dan mengejawantahkannya dalam kehidupan kesehariannya. Pertama mereka yang memandang bahwa universalitas Islam berarti juga keseluruhan doktrin dan wajah islam masa Nabi ‘harus’ mampu diwujudkan dimana saja, dengan tidak melihat adanya celah perbedaan-perbedaan pada tataran lokalitas budaya tempat Islam kemudian mendatanginya. Secara teologis, pandangan ini mendasarkan bahwa kewajiban setiap orang yang menyatakan keberislamannya untuk masuk kepada islam dengan penuh totalitas (kaffah). Wajah islam yang seperti ini dalam bahasa Gusdur lebih dikenal sebagai Arabisasi dibanding islamisasi itu sendiri. Dan patut dipertimbangkan bahwa dalam term Gusdur, Arabisasi sama bahayanya dengan Westernisasi bagi kelangsungan peradaban manusia tingkat lokal? Pandangan pertama ini secara tegas menegasikan adanya peluang pecapaian pengetahuan yang mendekati tataran semangat nilai yang dibawa Islam itu sendiri pada tingkat lokal.
            Berbeda dengan perwajahan Islam yang pertama tersebut, pemaknaan yang kedua dari universalitas Islam bersamaan dengan penerimaan kemungkinan untuk mengadopsi perkembangan kultur lokal yang dinilai tidak bertentangan dengan semangat Islam yang prinsipil. Islam dipandang sebagai seperangkat tataran nilai yang yang dalam hal-hal partikular tentu saja memberi peluang kepada kultur lokal untuk tetap hidup dan tumbuh kembang dengan semangat islam yang menyertainya. Pemaknaan ini persis dengan sabda nabi sendiri yang menyatakan bahwa umat manusia lebih memahami dalam hal tataran operasional keduniawian, dan pernyataan lain yang menegaskan kehadiran Rasul dengan Islam dalam rangka menyempurnakan akhlak manusia itu sendiri.
            Tulisan ini tentu saja bukan dalam kapasitas untuk menyatakan bahwa salahsatu pihak dari pemaknaan islam tersebut adalah salah, namun lebih sebagai alat bedah untuk mengidentifikasi tema besar yang diangkat yaitu keberagamaan “Urang”  Jampang.
            “Urang” Jampang adalah orang sunda yang mendiami suatu wilayah yang secara geografis disebut dengan tatar Jampang. Wilayah ini ada pada bagian selatan dari dua kabupaten di Jawa Barat yakni Sukabumi dan Cianjur. Dalam terminologi orang Jampang, Cianjur Selatan diidentifikasikan sebagai Jampang Wetan dengan batas sebelah baratnya adalah bentangan Sungai Cibuni yang bermuara ke laut selatan. Sementara di Sukabumi selatan, Jampang dibagi dua yaitu Jampang Tengah dan jampang Kulon yang dibatasi oleh Sungai Cikaso, yang juga bermuara ke Laut Selatan. Jampang Tengah adalah wilayah yang ada antara bentangan sungai Cibuni tersebut dengan bentangan sungai Cikaso di baratnya. Dan Jampang Kulon wialayah yang ada antara bentangan sungai Cikaso dan laut selatan bagian barat yang bersambung sampai ke Pelabuhan Ratu.
            Sebagai bagian dari orang Sunda pada umumnya, urang Jampang ada dalam lingkup budaya Sunda sebagai “indung” dari budaya-budaya khas lokal lainnya. Bahasa pengantar menggunakan bahasa Sunda dialek Jampang, dan patut diketahui antara tiap wilayah Jampang tersebut memiliki cara pelafalan (lentong) yang berbeda satu sama lainnya. Sebagai komunitas feriferial, urang jampang dapat diidentifikasikan sebagai komunitas yang terikat oleh  budaya bertani (agrikultur). Dan sebelum adanya pengaruh Mataram di Pasundan, urang Jampang dalam bertani sama dengan wilayah Sunda pegunungan lainnya yaitu berhuma, kecuali sekarang, sudah banyak bahkan dominan pertanian lahan basah (sawah). Bertani dalam pandangan urang Jampang ada dalam ikatan kosmologi Luluhur yakni adanya hubungan yang harmonis antara Dunia Langit, Dunia Tengah dan Dunia Bawah. Dan dalam pandangan urang Jampang (Juga orang Sunda umumnya) simbol pusat dari ketiga dunia tersebut adalah Hyang Ambu (Feninin?) yang ada di dunia langit, dan dalam dunia tengah telah diwakili oleh sosok Nyi Pohaci Sanghyang Sri Dangdayang Tresnawati (padi?). konsep-konsep kosmologi ini sepintas terkesan ada pengaruh dari kebudayaan Hindu klasik yang pada masanya pernah berkuasa. Namun juga sesungguhnya memiliki kekhasan tersendiri sebagai bentuk kebudayaan lokal yang mandiri meskipun sulit menghindari adanya campuran pengaruh lain termasuk Hindu. Dalam hal ini adalah wajar terjadi mengingat bukankah kebudayaan manusia itu terus tumbuh dan berkembang seiring dengan pengelolanya sendiri?
            Kosmologi Sunda ini tetap ada dalam kehidupan urang Jampang, termasuk meskipun sekarang secara keseluruhan sudah ada dalam keyakinan baru yakni Islam. Memang sebagian pendapat (seperti yang diajukan Sosiolog, Dadang Kahmad) yang menyatakan bahwa proses pembentukan kebudayaan sunda paralel dengan perkembangan budaya Islam di tatar Pasundan itu sendiri, maka wajar pada level tertentu budaya sunda adalah budaya islam, atau sebaliknya. Karena itu dalam setiap upacara tradisional, mesti di dalamnya ada bacaan-bacaan yang bernuansa islam, atau ada maksud lain dari simbol-simbol lokal yang diidentifikasikan kepada nilai islam. Misalnya dalam pewayangan, pewayangan klasik otoritas tertinggi dalam susunan kekahyangan adalah Btara Guru atau Hyang Otipati, tetapi dalam dimensi Sunda Islam sekarang, Otoritas tertinggi adalah Hyang Tunggal—sebagai simbol ke-Esaan tuhan, (hanya memang sulit untuk menjelaskan ekuivalensi nilainya dengan Islam, sebab dalam Islam Tuhan tidak beranak dan atau diperanakan, sedangkan Hyang Tunggal diceritakan beranak yakni Hyang Ismaya, Hyang Togog dan Hyang Otipati). Demikian pula halnya dengan Urang Jampang, ada beberapa upacara tradisional yang sampai saat ini masih sering dilakukan, dan ini adalah warisan budaya leluhur, tentu awalnya bukan dari tradisi Islam.
            Sebagai komunitas yang memadukan erat antara sistem keyakinan dengan pola kehidpan sehari-hari, urang Jampang menilai pertanian bukan sekedar pemenuhan kebutuhan jasmani belaka, tetapi juga dalam rangka “ngigelkeun” pola hubungan tiga dimensi tersebut diatas, antara Dunia Atas yang sakral, Dunia Tengah yang profan dan Dunia Bawah yang mewakili spirit negatif. Berkenaan dengan ini Jacob Sumarjo telah membedahnya secara apik melalui pendekatan rasional dalam PR, Sabtu 29 Januari 2005. Misalnya, dalam kegiatan bertani ini terdapat beberapa upacara yang harus dilakukan. Pertama ketika menebar benih padi, kedua ketika menanam benih padi, ketiga ketika panen, keempat ketika mengangkut padi hasl panen, keempat ketika akan mengkonsumsi padi baru hasil panen.
            Masing-masing tahapan tersebut menyimbolkan adanya perhatian terhadap keseimbangan antara ketiga dimensi kosmologi tersebut. Tidak sembarang waktu dan alat yang digunakan untuk masing-masing upacara. Misalnya ketika upacara pertama akan dilakukan, persiapan yang harus ada antara lain: ada semacam tiang dari pokok pohon Bungur panjangnya semeter, dua ruas Bambu Tamiang masing-masing 15 cm yang masing-masing titancapkan menghapit Pokok Pohon Bungur sekitar 5 cm. Kemudian ada dupa. Nah upacara ini waktu pelaksanaannya harus megikuti “tunduk” yakni aturan waktu yang dibuat oleh para leluhur. Jika semua sudah siap maka upacara dimulai dengan bacaan:
            “Bismillahirrahmanirrahiim, bul kukus ti Gusti Rosul, kumpul putih, kentel putih, sarat ngaula ka Pohaci Sanghyang Sri Dangdayang Tresnawati, kang sinua rasa, kang sinua rasi, alaikum. Bul kukus jadi menyan turu jadi menyan kajayaan pang nepikeun kanu sakti pang datangkeun kanu seda, ka Nyi Pohaci Sanghyang Sri Dangdayang Tresnawati, ka Nyi Pohaci enci Larang, Ka Nyi Pohaci Inten Larang, pangasih ing buah tetel buah andel buah ruhruy buah gintung...”
            Setelah membaca “Parancah” tersebut pelaksanaan menanam padi bisa dimulai. Dan tanaman pertam membaca bacaan berikut:
“Teguh nu tangtu ciri nu pasti, sukma nu nancebkeun sukma nu ditancebkeun sukma langgeng di awaking tetep langgeng sajenengna...”
             Dari aspek ritual, sesungguhnya merupakan lebih dari sekedar keyakinan budaya yang diwarisi, tetapi juga keyakinan agama yang menghendaki adanya ketundukan dari setiap peristiwa profan terhadap peristiwa sakral. Tahapan-tahapan tersebut menggambarkan urang Sunda Jampang meyakini setiap perbuatan ada dalam ketentuan yang Maha Kuasa. Bacaan yang dilantunkan nampak telah mengalami akulturasi dari keyakinan lokal dengan keyakinan Islam. Apakah kegiatan ini suatu sinkretis bagi Urang Jampang? Tampaknya tidak, sinkretisme hanya ada dalam kamus antropolog atau sosiolog agama yang mencoba untuk mengidentifikasi suatu fenomena masyarakat. Bagi urang Jampang itulah salah satu wujud beragama. Dan mereka menolak jika perbuatan ini disebut sebagai bid`ah atau syirik dalam term agama, atau sinkretik.
            Upacara dan bacaan yang dilantunkan dalam setiap peristiwa keseharian ini tujuannya adalah untuk keberkahan, keselamatan, dan penghormatan terhadap keteraturan tiga dimensi kosmologi sunda. Pada akhirnya dalam terminologi Sunda berislam tidak mesti tercerabut dari kultur lokal. Cag.

Tidak ada komentar: